Lebih setahun setelah pandemi, bisnis di Australia yang semula menggantungkan diri pada wisatawan dan mahasiswa internasional masih berjuang tanpa ada kejelasan kapan akan membaik.
Di sebuah kantor kecil di bangunan yang terlihat tua di Campsie di Sydney Barat Laut, Jenny Yang sedang memikirkan apakah akan pensiun atau tetap terus bekerja.
BACA JUGA: Australia Baru Buka Perbatasan 2022, Pengusaha Restoran Mengeluh Kekurangan Pekerja
Perempuan asal Tiongkok berusia 61 tahun tersebut sudah bekerja di industri pariwisata selama lebih dari 20 tahun sebelum pandemi COVID-19 dan penutupan perbatasan internasional menghancurkan bisnis yang selama ini dibangunnya.
"Bisnis saya berkurang hampir 95 persen," katanya kepada ABC.
BACA JUGA: Pandemi Covid-19 Membuat Anak Muda di Muara Gembong jadi Seperti Ini, Membanggakan
"Tidak ada pendapatan. Saya tidak memiliki bisnis lagi.
"Penerbangan internasional hampir tidak ada karena warga Australia dan pemegang visa permanen (PR) dilarang bepergian.
BACA JUGA: Kisah Korban KDRT di Australia: 40 Tahun Hidup Bersama Suami Posesif, Tiada Hari tanpa Pelecehan
"Industri kami telah lumpuh."
Banyak pelanggan tetap yang dibantu Jenny Yang bepergian ke berbagai bagian dunia selama bertahun-tahun sampai pandemi mulai terjadi tahun lalu.
"Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan di masa depan," katanya.
"Saya mengatakan kepada teman saya, mungkin sudah waktunya untuk pensiun." "Saya juga korban"
Dibandingkan negara-negara lain, Australia sejauh ini lebih baik dalam penanganan COVID-19. Perekonomian dalam negeri Australia juga sudah hampir kembali pulih di beberapa sektor.
Namun bisnis seperti yang dilakukan Jenny Yang yang mengandalkan pada wisatawan internasional dan mahasiswa asing, masih kewalahan tanpa ada kejelasan mengenai masa depannya.
Jenny Yang mengatakan, tahun lalu dia harus berulang kali menangani pembatalan penerbangan dan penggantian rencana perjalanan.
"Sebelum Agustus, hampir semuanya soal ganti tiket atau pengembalian uang, hal yang membuat saya kelelahan.
"Saya kehilangan pendapatan dan bukannya mendapatkan pendapatan baru," katanya.
"Dengan adanya bantuan ekonomi seperti program JopKeeper dari pemerintah Australia, kami menerima bantuan. Kalau tidak, saya mungkin sudah harus menggantungkan diri pada tunjangan sosial atau mencari pekerjaan lain."
Namun program JobKeeper tersebut sudah berakhir awal April lalu.
Jenny Yang mengatakan bahwa agen lain seperti dirinya harus berhenti beroperasi, atau mengurangi staf, atau menghentikan sewa ruangan dan bekerja dari rumah, guna menghemat biaya.
Di akhir Januari, Jenny Yang dan 150 agen perjalanan lain mengirim petisi ke Parlemen di Canberra, menyerukan agar program JobKeeper diperpanjang bagi mereka yang bergerak di bidang perjalanan dan pariwisata, namun petisi itu tidak membuahkan hasil.
Dia berharap pemerintah Australia mau memperhatikan situasi yang menyedihkan bagi dirinya dan para koleganya dalam keputusan angggaran belanja negara yang akan diumumkan hari Selasa (11/05) dengan memperpanjang lagi program JobKeeper.
"Saya sudah kehilangan semua staf saya, sekarang tinggal saya dan suami saya saja," katanya.
"Saya mengerti ini adalah hal yang sulit bagi pemerintah, namun (maskapai penerbangan) Qantas mendapat dana khusus sampai bulan Oktober.
"Saya juga korban di dunia industri pariwisata.
"Saya berharap pemerintah federal memberikan perhatian khusus kepada kami."
Pemerintah Federal Australia sudah memberikan bantuan A$258 juta kepada agen perjalanan, operator perjalanan di dalam negeri dan agen yang menjual dalam paket besar, lewat Program Bantuan Perjalanan Konsumen COVID-19. 'Belum ada cahaya di ujung terowongan"
RAPBN Australia yang biasanya diumumkan setiap tahun di minggu pertama bulan Mei selalu ditunggu oleh berbagai industri karena akan menjadi petunjuk ke mana arah pertumbuhan ekonomi paling tidak selama setahun ke depan.
Sama seperti mereka yang bergerak di industri pendidikan internasional, Kirk Yan juga akan memperrhatikan anggaran dengan seksama.
Dia memiliki agensi imigrasi dan pendidikan Newstars di Melbourne yang juga sangat terpengaruh karena penutupan perbatasan internasional yang dilakukan Australia.
"Saya mengikuti pidato anggaran negara hampir sepanjang karir saya karena beberapa tahun lalu, pemerintah selalu mengkaitkan kuota migrasi dengan anggaran negara," kata pria berusia 36 tahun tersebut kepada ABC.
"Tingkat migrasi yang diumumkan bagi tahun anggaran baru akan berpengaruh besar pada bisnis saya, karena banyak mahasiswa asing yang tertarik pada kemungkinan tinggal di sini setelah lulus."
Kirk yan mengatakan bisnisnya di bidang pelayanan migrasi dan pendidikan berkurang 50 persen karena tidak adanya mahasiswa asing yang datang.
Dan yang mengkhawatirkannya sekarang adalah jumlah klien yang akan terus berkurang karena banyak mahasiswa yang sudah di Australia memutuskan pulang permanen ke negara mereka masing-masing.
"Saya sekarang saya mendapat surat dari klien saya hampir tiap minggu, kalau tidak setiap hari, yang isinya berpamitan," katanya.
"Selama setahun terakhir sudah menjadi masa-masa sulit bagi para mahasiswa internasional yang berada di Australia.
"Mereka harus belajar online, berjuang untuk mendapatkan pekerjaan paruh waktu dan hampir tidak ada bantuan keuangan sama sekali.
"Kebanyakan dari mereka tidak merasa dihargai. Mereka mengatakan kepada saya merasa seperti menjadi sapi perahan."
Kirk Yan mengatakan pengetatan kebijakan imigrasi bagi migran trampil juga menjadi faktor lainnya.
Dalam anggaran tahun lalu, kuota migrasi trampil (skilled migration) diturunkan sebanyak 20 persen, dari 100.682 di tahun keuangan 2019-2020 menjadi 79.600 di tahun 2020-2021, sementara kuota migrasi keluarga dinaikkan.
"Dalam beberapa kategori seperti 'imigrasi trampil independen' (skilled independent) dan kategori 'sponsor negara bagian' jumlahnya turun sebanyak 50 persen selama tahun lalu, bahkan 'visa sponsor perusahaan' juga dikurangi sebanyak 25 persen.
"Banyak orang yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini, memiliki pekerjaan, bisa berbahasa Inggris dengan baik namun tetap tidak bisa mendapatkan visa permanen, karena kebijakan imigrasi yang ketat."
Kirk Yan mengatakan dia berharap pemerintah Australia akan mengembalikan kuota untuk migran trampil ke jumlah sebelum pandemi, dan membuka lebih banyak kategori migrasi untuk bisa masuk ke Australia.
"Mungkin di industri lain mereka sudah melihat cahaya di ujung terowongan," katanya.
"Industri kami jelas masih berada di dalam terowongan, dan tidak ada cahaya di ujungnya."
Permintaan pengurangan pajak
Di sekitar kampus Monash University di Clayton, banyak bisnis menjadi lesu karena kurangnya mahasiswa asing dan beberapa toko dan restoran masih tutup.
Flora Lu yang memiliki cafe di salah satu pusat studi di kampus mengatakan meski sudah ada mahasiswa yang kembali ke kampus sejak bulan Februari, namun dia mengatakan yang datang ke cafenya masih terbatas.
Flora Lu mengatakan biaya untuk menjalankan bisnisnya meningkat setelah lockdown dicabut namun pendapatan warga masih tetap sama atau bahkan menurun.
"Jadi mereka berhati-hati dengan pengeluaran dan karenanya saya tidak menaikkan harga sesuai dengan inflasi," katanya kepada ABC.
"Kami agak stress jika berhubungan dengan soal pajak. Kalau masih bisa mendapatkan pengurangan pajak dari pemerintah, ini akan sangat membantu."
Flora Lu mengatakan dia berharap pengurangan pajak bagi bisnis kecil akan diumumkan dalam anggaran baru.
Frank Gocotta presiden Asosiasi Pedagang Clayton, yang terletak sekitar 23 km dari pusat kota Melbourne mengatakan pemerintah Australia harus mengerti situasi yang dialami pebisnis kecil selama pandemi ketika merancang anggaran.
"Yang harus disadari oleh pemerintah adalah bisnis kecil belum bisa pulih selama 12 bulan terakhir." kata Frank Gocotta.
"Kami dipaksa tutup selama 7 bulan, untuk bisnis layanan ini merupakan waktu yang lama.
"Walau kami sekarang sudah beroperasi lagi tidak berarti semuanya sudah normal lagi."
"Saya kira kalau kita bisa mendorong mahasiswa internasional kembali lagi, pasti akan sangat membantu Clayton, dan untuk mencoba mengerti bahwa diperlukan waktu dua atau tiga tahun lagi bagi kami untuk kembali ke keadaan serupa."
Simon Chan, Presiden Kamar Dagang Haymarket di Sydney juga menginginkan mahasiswa asing kembali lagi ke Australia.
Organisasinya mewakili ratusan pebisnis di kawasan Haymarket di Sydney CBD dimaa Tiongkoktown berada.
"Kegiatan sudah berjalan lagi dan semakin banyak orang mendatangi pusat kota namun bisnis di seputar Tiongkoktown masih sangat menderita," kata Simon Chan.
"Sekitar 70-80 persen bisnis mereka dari wisatawan internasional dan mahasiswa asing dan saya kira bisnis di Tiongkoktown tidak akan pulih sepenuhnya sampai perbatasan internasional dibuka."
Baik Frank Gocotta dan Simon Chan setuju bahwa program JobKeeper sudah banyak membantu bisnis untuk bertahan, namun sudah waktunya bagi pemerintah untuk mencari solusi lain.
"Saya ingin program JobKeeper diperpanjang dan menyasar industri yang menggantungkan diri pada pembukaan perbatasan internasional," kata Simon Chan.
"Akan bagus sekali kalau ada semacam perkiraan karena banyak bisnis yang harus melakukan perencanaan ke depan.. jadi ada informasi terbaru mengenai program vaksinasi dan kapan perbatasan internasional dibuka."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari
BACA ARTIKEL LAINNYA... Permintaan Terakhir Rhys