BNPB dan Pakar Ingatkan soal Tsunami Krakatau, Penting

Jumat, 27 Agustus 2021 – 02:10 WIB
Foto Anak Gunung Krakatau dari satelit Landsat 8 milik NASA. Foto: NASA

jpnn.com, JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan tsunami di kawasan Gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883 dan 2018 menjadi pembelajaran penting tentang perlunya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana geologi ke depan.

Hal itu disampaikan Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam webinar edukasi kebencanaan Pusdatinkom BNPB yang dipantau dari Jakarta, Kamis (26/8).

BACA JUGA: Ada Bunyi Sirene Tsunami di Pantai Palabuhanratu dan Cisolok Sukabumi, Begini Kata BPBD

"Kesiapsiagaan menjadi penting terus disuarakan dan edukasikan kepada masyarakat. Tentu kita harus menyiapkan perangkat yang bisa mendeteksi tsunami atau penjalaran, meskipun kita tidak memiliki gempa atau letusan gunung yang bisa kita indikasikan sebagai pembangkit tsunami," kata Abdul Muhari.

Dalam webinar bertema 'Tsunami Krakatau 1883 dan 2018: Fenomena, Pembelajaran dan Mitigasi ke Depan' itu dihadiri empat peneliti yang menjabarkan pentingnya mempreservasi pesan kebencanaan hingga fenomena terbentuknya tsunami Krakatau.

BACA JUGA: HNW Khawatir Muhammad Kece Gangguan Jiwa, Ini Analisis Bang Reza

Peneliti dari GNS Science New Zealand Dr Aditya Gusman menerangkan kejadian tsunami 1883 menyisakan sejumlah barang bukti peninggalan yang ditemukan di masa kini. Misalnya, batu besar koral, sisa-sisa pondasi mercusuar lama yang sampai saat ini ditemukan di Sungai Cianyer, Banten.

Dalam pemaparan tersebut, Aditya menekankan pentingnya untuk meneruskan informasi tentang peninggalan tersebut kepada masyarakat, kemudian mempreservasi, menyampaikan pesan kebencanaan dan apa yang terjadi dulu untuk kesiapsiagaan.

BACA JUGA: Sebut Bakal Ada Tsunami Besar di Jakarta, Denny Darko: Ingat Angka 20

Sementara itu, peneliti dari Brunel University London Assoc Prof Mohammad Heidarzadeh menjelaskan pembelajaran penting dari kejadian tsunami akibat Gunung Krakatau 2018. Misalnya, hampir semua bangunan dalam jarak 100 meter dari bibir pantai hancur akibat terjangan tsunami.

Menurut Muhammad, kejadian itu hampir mirip dengan kasus tsunami Palu, yang harus diperhatikan peringatan dininya. Selain itu, dalam memahami potensi bencana geologi, masih diperlukan data-data lainnya yang lebih baik untuk pengkajiannya.

Lalu, peneliti dari Chuo University Japan Prof Taro Arikawa menjelaskan perlunya penggunaan model evakuasi untuk menyusun alur evakuasi sesuai waktu yang ada dan pilihan tempat evakuasi yang menyesuaikan tersedia sebelum tsunami datang.

Selain itu belajar dari evakuasi tsunami di Jepang, perlu adanya peran dari elevated road, yang tidak hanya mengurangi potensi kerusakan akibat tsunami, tetapi juga memberikan waktu untuk masyarakat melakukan evakuasi diri.

Bicara fenomena tsunami, peneliti dari British Geological Survey United Kingdom Prof David Tappin menyebut pemicu tsunami Krakatau terjadi dari adanya bagian badan gunung yang kolaps dan masuk ke badan air dan menjadikan tinggi muka air gelombang pertama sekitar 100-150 meter. Sementara pulau kecil di sekitar Krakatau ada yang memiliki tinggi sekitar 60-85 meter.

Namun, dia meyakini tsunami terjadi bukan dari aktivitas letusan gunung yang menyebabkan adanya kolaps, melainkan pembentukan gunung oleh material vulkanik yang berjalan puluhan tahun membentuk bagian tidak stabil sehingga bisa kolaps, bahkan ketika tidak ada letusannya.

"Ada beragam perangkat pendeteksi tsunami yang bisa kita siapkan. Tentunya, pemerintah bersama lembaga riset akan bergerak ke sana," ujar Abdul Muhari, menambahkan (antara/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler