Booster

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 06 Juli 2022 – 18:45 WIB
Warga mengikuti vaksin Covid-19 dosis ketiga atau booster. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Orang-orang sudah lupa mengenai pandemi. Jalan-jalan sudah penuh sesak, tempat-tempat umum sudah dijejali oleh banyak orang. 

Kewajiban memakai masker sudah dicabut oleh Preisden Joko Widodo. 

BACA JUGA: Vaksin Booster Jadi Syarat Mobilitas Lagi, Irwan Curiga

Masih terlihat beberapa orang yang memakai masker, tetapi jaga jarak sudah tidak ada lagi. 

Orang sudah kembali hidup normal, atau menjalani kehidupan normal baru secara normal.

BACA JUGA: Luhut Binsar Sebut Vaksin Booster akan Jadi Syarat Mobilitas Masyarakat

Tiba-tiba pemerintah mengumumkan bahwa program vaksinasi diberlakukan lagi. 

Kali ini, semua pelaku perjalanan, baik darat, laut, dan udara diwajibkan sudah menjalani booster

BACA JUGA: Kasus Covid Meninggi, Vaksinasi Booster Rendah, Nama Siapa yang Jokowi Singgung Pertama Kali

Mereka yang sudah dua kali menjalani vaksinasi harus menambah satu kali lagi sebagai syarat perjalanan.

Pemerintah rupanya masih mencari-cari kesempatan untuk memaksakan booster. 

Pada Lebaran yang lalu, para pemudik diwajibkan untuk booster sebagai syarat wajib mudik. 

Jumlah pemudik Lebaran kali ini memecahkan rekor dari tahun-tahun sebelumnya. 

Lebaran Idulfitri menjadi momen bahagia setelah dua tahun sebelumnya harus dilewatkan tanpa mudik dan tetap harus tinggal di rumah. 

Ledakan jumlah pemudik tidak terhindarkan. 

Macet selama mudik dan balik menjadi fenomena yang meluas di mana-mana. 

Kendati begitu target perolehan booster tidak terlalu signifikan. 

Sampai sekarang tercatat hanya 24 persen warga yang sudah menjalani vaksinasi booster.

Momentum untuk mendorong program booster yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. 

Varian baru Covid-19 bermunculan di berbagai negara dunia. 

Negara tetangga Singapura mengalami peningkatan yang sangat signifikan. 

Kabar terbaru, Presiden Singapura Halimah binti Jacob terserang virus Covid varian terbaru.

Varian Omicron bermunculan. Setelah Omicron BA.4 dan Ba.5 kini subvarian omicron pendahulunya muncul kembali, Omicron BA.2.75. 

Subvarian omicron BA 2.75 ini disebut-sebut jadi biang kerok dari lonjakan kasus Covid-19 di beberapa negara.  

Para ahli epidemiologi sudah mulai pasang kuda-kuda menghadapi serangan varian baru ini. 

Langkah-langkah antisipasi sudah dilakukan di berbagai negara dunia. 

Kasus ini muncul di setidaknya lima negara, dengan yang paling diidentifikasi di India. 

Kasus juga telah ditemukan di Inggris, dengan lima kasus, dan di Jerman, Selandia Baru dan Kanada.

Diberi nama Omicron BA.2.75, karena merupakan generasi kedua dari varian BA.2 yang menyebabkan gelombang peningkatan pasien di Inggris pada akhir Maret.

Varian baru ini bisa berkembang dan berubah dengan cepat. 

Para epidemiolog menemukan varian baru covid yang diturunkan dari Omicron yang memiliki sembilan mutasi yang tidak biasa pada proteinnya. 

Varian baru ini juga sudah telah menyebar ke negara-negara di seluruh dunia dengan cepat.

Varian baru, diidentifikasi sebagai BA.2.75, pertama kali ditemukan dalam urutan yang diambil di India pada awal Juni.

Sejak itu, varian tersebut telah terlihat di Australia, Kanada, Jepang, Jerman, Selandia Baru, Inggris, dan AS. 

Hanya dalam hitungan minggu, varian tersebut telah terdeteksi di lebih dari 80 rangkaian di seluruh dunia.

Kendati demikian masih terlalu dini untuk bisa mengatakan apakah ini akan jadi varian dominan berikutnya di dunia atau tidak. 

Epidemiolog melihat tren varian berdasarkan garis keturunan Omicron dengan mutasi di bagian S1 dari protein lonjakan dan secara khusus di bagian protein lonjakan yang digunakan virus untuk terhubung dan masuk ke dalam sel.

Laporan dari Bloom Lab di lembaga penelitian Fred Hutch menyatakan bahwa varian ini layak dilacak dengan lebih serius  karena perubahan antigenik yang cukup besar dibandingkan dengan induknya, BA.2. 

Laboratorium menunjuk dua mutasi sebagai kunci yaitu G446S dan R493Q.

G446S adalah mutasi yang dapat membantu virus lolos dari antibodi yang ditimbulkan oleh vaksin saat ini yang masih efektif melawan BA.2. 

Kendati demikian, ada sisi positif yaitu mereka yang telah terinfeksi BA.1 tidak akan berisiko terinfeksi kembali oleh BA.2.75.Mutasi R493Q, sementara itu, tampaknya meningkatkan kemampuan virus untuk menempel pada ACE2, protein yang digunakan virus corona untuk memasuki sel.

Varian baru ini memang menimbulkan  kekhawatiran baru. 

Akan tetapi, di berbagai negara belum ada tindakan drastis yang diambil. 

Karena itu, keputusan Pemerintah Indonesia untuk mewajibkan booster dianggap prematur. 

Banyak kalangan yang menyebut keharusan booster ini merepotkan masyarakat dan akan mengganggu mobilitas yang pada akhirnya memengaruhi recovery ekonomi yang sudah mulai merambat.

Indonesia sudah membuktikan munculnya herd immunity atau kekebalan kelompok yang makin kuat. 

Momen Lebaran yang lalu diperkirakan bisa menjadi penyebab munculnya ‘’superspreader’’ karena terjadinya kerumunan di mana-mana. 

Karena itu, pemerintah kemudian mewajibkan booster bagi pemudik.

Akan tetapi, terbukti kemudian bahwa superspreader tidak terjadi dan perkembangan virus tetap landai pasca-Lebaran. 

Itulah salah satu indikasi bahwa kekebalan kelompok sudah terjadi. 

Hal itu kemudian mendorong Presiden Jokowi untuk mengeluarkan kebijakan pelonggaran pemakaian masker di luar ruangan.

Tindakan darurat yang seharusnya diambil pemerintah adalah menangani penyakit mulut dan kaki (PMK) yang melanda hewan ternak, terutama sapi. 

Ketika para peternak sedang bersiap-siap menghadapi booming pasar menjelang Iduladha, ternyata muncul penyakit PMK yang membuat masyarakat waswas untuk mengonsumsi daging sapi.

Pengumuman wajib booster oleh pemerintah ini memunculkan banyak praduga. 

Salah satu yang paling santer adalah motif dagang karena stok vaksin yang masih melimpah. 

Pabrik-pabrik farmasi global kelebihan stok sehingga butuh alasan untuk mendistribusikannya. 

Untuk itu ‘’hantu pandemi’’ tetap dihidupkan.

Ahli ekonomi dari Amerika Serikat, Prof Joseph E. Stiglitz, melihat motif buruk perusahaan farmasi internasional dalam memanfaatkan pandemi untuk kepentingan dagang.

Kasus AIDS yang sampai sekarang tidak bisa ditemukan obatnya merupakan salah satu contoh kasus konkret.

Stiglitz  tidak percaya bahwa perusahaan farmasi Amerika dan Eropa yang canggih tidak bisa menemukan obat AIDS. 

Dia curiga ada konspirasi di balik penyakit ini. 

Stiglitz menduga bahwa obat sudah ditemukan, tetapi patennya tetap dikuasai oleh perusahaan farmasi besar. 

Selama paten itu tidak dilepas ke publik maka produk obatnya akan berharga sangat mahal dan tidak terjangkau oleh publik.

Itulah yang terjadi dengan obat AIDS. Obat sudah ditemukan tetapi dijual dengan harga sangat mahal yang mustahil dijangkau oleh rakyat Afrika yang mayoritas miskin. 

Karena itu, Afrika akan tetap menjadi pusat penularan AIDS sampai kapanpun.

Selalu ada yang menangguk untung besar di tengah penderitaan manusia. 

Dalam kasus pandemi Covid-19 ini pun hal yang sama terjadi. 

Perusahaan-perusahaan farmasi besar dunia menangguk untung karena bisa menciptakan vaksin yang kemudian menjadi komoditas dagang paling laris di dunia.

Kecuali Astra-Zeneca vaksin produk Inggris, vaksin-vaksin yang ada sekarang dijual mahal karena ada biaya hak paten yang harus dibayar kepada pemiliknya.

Dunia seharusnya sudah fokus untuk melakukan recovery pascapandemi. 

Hidup sudah mulai menggeliat dan ekonomi sudah mulai bergerak meskipun pelan-pelan. 

Akan tetapi, kemudian terjadi perang Rusia vs Ukraina yang membuat ekonomi dunia rontok.

Kemunculan varian baru Omicron--dan antisipasi pemerintah yang tergesa-gesa--malah akan membuat situasi tidak menentu dan ketenangan masyarakat terganggu. (*)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler