jpnn.com - ”SENJATA” itu tidak pernah lepas dari Agil Hananta. Ke mana pun pergi, pemuda 25 tahun tersebut selalu ditemani senjata tersebut. Senjata itu adalah kamera Nikon D700 dan lensa Nikkor fisheye 16mm f/2.8. ”Saya memang mencintai fotografi,” katanya.
Kecintaan itu bermula ketika dia iseng-iseng mengikuti unit kegiatan mahasiswa fotografi di kampusnya, Universitas Airlangga (Unair), pada 2009. Meski iseng, Agil tetap serius belajar memotret.
BACA JUGA: Wahyu, 11 Tahun Terbaring dengan Batok Kepala Membelah
Lambat laun proses belajar tersebut membuatnya jatuh hati kepada dunia potret-memotret. Apalagi, memotret juga mengharuskannya hunting segala realitas kehidupan dan alam. Situasi itu pada akhirnya mempertemukannya dengan banyak orang dan tempat-tempat menarik.
Rasa cinta tersebut kemudian membuatnya begitu lengket dengan kamera dan lensa. Setiap pergi keluar rumah, senjata itu tidak pernah alpa dibawanya. Dengan begitu, kalau ada sesuatu yang bagus, dia bakal mengabadikannya lewat jepretan kamera.
BACA JUGA: Berdiri Memohon sebagai Perlambang Kehilangan Hal Besar dalam Hidup
Jepretan itu tidak sekadar dinikmati sendiri. Sering Agil mengikutkannya dalam lomba foto. ”Saya ikut lomba sejak 2009 itu juga,” ujarnya.
Dari perlombaan demi perlombaan foto, Agil bertemu dengan orang-orang yang seperti dirinya. Maksud yang seperti dirinya adalah orang-orang yang suka mengikuti lomba foto sekaligus berburu hadiah.
BACA JUGA: Margaretha Solang, Memanfaatkan Kerang Darah untuk Pacu Pertumbuhan
Mereka kemudian berkoloni dalam membangun komunitas fotografer pemburu hadiah lomba foto. Namanya Bounty Hunter. Penggagasnya Ahmad Nafik Mundzir. Jumlahnya 18 pencinta fotografi yang kesemuannya arek Surabaya.
”Semua itu berawal dari pertemuan kami di lomba-lomba foto. Saya lalu mengumpulkan mereka pada 2012. Sasaran kami adalah lomba on the spot,” terang Mumun, sapaan Ahmad Nafik Mundzir. Namun, Mumun beberapa waktu lalu memilih jalan sendiri. ”Tapi, kami tetap bertemu dan masih akrab,” imbuhnya.
Mereka berteman untuk saling berbagi info lomba foto. Sebab, bisa jadi satu orang mengetahui info lomba foto di suatu tempat, sedangkan teman-teman lainnya tidak mengetahuinya. Atau sebaliknya.
Karena itu, mereka bersepakat untuk berbagi info dengan membangun kelompok. Toh, mereka awalnya mengikuti lomba foto juga lebih karena iseng-iseng dan untuk menguji kemampuan memotret.
Meskipun, pada akhirnya mereka ternyata malah sering memenangi lomba. Kemenangan tersebut kemudian membuat mereka semakin asyik mengikuti lomba foto dan berburu hadiah.
”Kami tidak peduli besaran hadiah. Mau itu hadiahnya Rp 500 ribu atau jutaan, yang penting ikut memburunya karena ternyata cukup seru,” ungkap Budi Wiratmo, pemburu hadiah lomba foto lainnya yang tergabung dalam Bounty Hunter.
Lebih-lebih jika lomba foto itu diadakan di Surabaya atau Sidoarjo. Bisa dipastikan para pemburu tersebut tidak bakal absen. Bahkan, mereka selalu berada di baris depan. Dalam setahun mereka bisa ikut 30–60 lomba foto.
Tapi, Budi buru-buru menggarisbawahi. Pria 39 tahun itu menyebut bahwa berburu hadiah tersebut adalah pekerjaan sampingan atau efek samping. ”Yang utama itu kami ingin mengukur hasil foto kami. Tapi, tidak bisa dimungkiri kalau hadiah juga menarik sebagai penghasilan sampingan,” katanya, kemudian diikuti tawa.
Bukan hanya itu. Hadiah juga menjadi tolok ukur hasil jepretan. Jika menang dan mendapat hadiah, berarti foto mereka memang cukup apik. Apalagi, juri-juri lomba foto merupakan orang-orang yang kompeten di bidang fotografi.
Karena itu pula, hadiah juga menjadikan mereka semakin bersemangat berburu hadiah lomba foto. Bahkan, mereka semakin total setiap kali mengikuti perlombaan.
Arek-arek Bounty Hunter tidak asal datang memotret atau menyetor foto. Yudistira misalnya. Setiap mengikuti lomba pemotretan model, dia datang dengan asisten. Bisa sampai tiga orang. Asisten tersebut bertugas untuk memasang dan memegangi lighting. ”Dia benar-benar total. Karena itu, Yudistira sering tampil menjadi pemenang,” jelas Agil.
Pada 2013 saja Yudistira memenangi 50 lomba. Jadi, hampir setiap pekan dia menang lomba. Sayang, Yudistira tidak bisa ditemui. ”Saat ini dia sedang berlibur sembari hunting foto di Karimun Jawa (Jepara, Jawa Tengah),” terang Agil.
Selain Yudistira, Budi kerap tampil sebagai pemenang. Pada 2013 pria yang sehari-hari bekerja di konter handphone tersebut memenangi tak kurang dari 30 lomba. Itu berarti, dalam sebulan Budi minimal memenangi dua lomba. Untuk tahun ini fotografer yang bersenjata kamera Sony Alpha A77 plus lensa kit SAK 16-105 f/3.5-5.6 tersebut sudah menang di enam lomba.
Agil juga sering memboyong hadiah. Tahun lalu dia menang 19 kali. Tahun ini Agil sudah empat kali menang lomba. Kemenangan dan keasyikan berburu foto itu membuat Agil begitu larut.
Saking larutnya, dia sampai belum sempat mencari pekerjaan. Hal tersebut membuat ibunya menegur dia agar segera mencari pekerjaan. ”Ceritanya memang seperti itu. Tapi, ini memang mengasyikkan. Apalagi, uangnya juga lumayan,” ungkapnya.
Bounty Hunter memiliki tradisi makan-makan bersama setiap kali ada yang menang lomba. Tidak peduli berapa pun hadiah yang disabet, mereka tetap pergi makan-makan. Tempat favorit mereka adalah warung Gubeng Pojok.
”Makan-makan itu untuk semakin mempererat pertemanan. Toh, teman-teman juga yang men-support info lombanya. Kan tidak semua lomba kita ketahui sendiri,” kata Budi. (Miftakhul F.S/c10/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bawa Buku sejak Ditahan, Deg-degan Tunggu Pengumuman
Redaktur : Tim Redaksi