BPHN Lakukan Evaluasi atas UU P3H dan UU Kehutanan

Agar Penanganan Tindak Pidana Kehutanan Terintegrasi

Senin, 21 Agustus 2017 – 14:14 WIB
Focus group discussion dalam rangka penyelamatan dan pengelolaan kawasan hutan yang digelar di kantor BPHN Kemenkumham, Jakarta, Kamis (10/8). Foto: Kemenkumham Focus group discussion Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam R

jpnn.com, JAKARTA - Badan Pembinaan Hukum Nasional  (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sedang mengevaluasi Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) serta UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Evaluasi itu terkait adanya tarik-menarik antara UU P3H dengan UU Kehutanan.
 
“Karena kedua UU memiliki kesamaan objek dan politik hukum. Ditambah UU P3H tidak mengakomodasi semua ketentuan Pasal 50 di UU Kehutanan,” tutur Kepala Sub Bidang Pengembangan Penyuluhan Hukum BPHN Rachmat Abdillah, Senin (21/8).

Sebelumnya Pusat Evaluasi dan Analisis Hukum Nasional BPHN telah menggelar focus group discussion (FGD) Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penyelamatan dan Pengelolaan Kawasan Hutan. Diskusi itu digelar di kantor BPHN, Jakarta, Kamis (10/8).

BACA JUGA: Dirjen AHU: Akuntan Pemerintah Harus Memiliki Prinsip 5 P

FGD itu diikuti 15 perserta dari berbagai kementerian dan lembaga. Antara lain Sekretariat Kabinet, Kementerian PPN/Bappenas, Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK), Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung RI dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).

Selain itu, ada pula peserta dari Kementerian Keuangan, Kementerian ATR/BPN, Badan Restorasi Gambut, Bareskrim Polri, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

BACA JUGA: Kemenkumham Terbitkan Hak Cipta untuk Buku Pantun Gubernur Sumbar

BPHN melakukan evaluasi penerapan UU P3H dan UU Kehutanan untuk meminimalisasi regulasi yang tumpang-tindih dalam pengaturan penyelamatan dan pengelolaan kawasan hutan. Dengan demikian sistem pengawasan kehutanan berlaku sevara partisipatif.
 
“FGD ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada Pokja dalam memperkaya dan menajamkan analisis, baik dari sisi peraturan perundang-undangnnya dalam arti substansi hukum maupuan untuk pelaksanaannya,” ujar Rachmat menjelaskan.
 
Rachmat mengharapkan evaluasi atas kedua UU tersebut dapat diintegrasikan bersama sejumlah kementerian/lembaga terkait dalam rangka penyelamatan dan pengelolaan kawasan hutan. Dengan demikian proses hukum atas tindak pidana kehutanan lebih ideal dan berjalan lebih baik.

Dia mencontohkan, Pasal 112 dalam  UU P3H menyebutkan bahwa Ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k. Dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

BACA JUGA: Menteri Yasonna Langsung Pakai Sepeda Pemberian Presiden Jokowi untuk Lomba

“Bahkan penegak hukum dari kejaksaan juga mengemukakan beberapa kelemahan dalam ketentuan pasal mengenai sanksi dan penyidikan dalam UU P3H,” ujarnya menambahkan.

Rachmat lantas menjelaskan alasan tentang perlunya pengintegrasian kedua UU itu. Ada masukan dari dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Budi Riyanto kepada BPHN bahwa penerapan UU P3H sudah melenceng dari tujuan awalnya. Karena itu banyak kekurangan dan ketidakefektifan dalam pelaksanaan UU tersebut.

Budi juga menyarankan kepada pemerintah agar melihat masalah penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam dengan merujuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa negara menguasai sumber daya alam termasuk hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan adanya campur tangan pemerintah dalam menguasai sumber daya alam termasuk hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka hal itu menunjukan Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan (welfare state). Untuk itu pula, pelaksanannya perlu dipayungi hukum ataupun undang-undang yang tidak tarik-menarik.

“Sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih yang dapat menyebabkan kekacauan,” ucap Budi ditirukan oleh Rachmat.

BPHN juga mendapat masukan dari Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Didik Suharjito mengenai penyelamatan dan pengelolaan kawasan hutan melalui pendekatan ekosistem dalam pembangunan yang berkembang sejak tahun 1990-an.

Yaitu menekankan tiga pilar utama yang slaing terkait. Yakni ekologi (ecologically sound), ekonomi (economically viable) dan sosial (socially acceptable).(adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Yasonna Pastikan Remisi untuk Gayus dan Nazaruddin Sesuai Aturan


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler