jpnn.com, JAKARTA - Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memberikan penjelasan mengenai adanya isu defisit sebesar Rp 317,36 miliar.
Anggota Badan Pelaksana BPKH Bidang Keuangan Amri Yusuf mengatakan bahwa selama pandemi covid-19, BPKH mencatat surplus aset netto dari akumulasi nilai manfaat yang tidak digunakan akibat pembatalan ibadah haji selama dua tahun.
BACA JUGA: Fatwa MUI Haramkan Setoran Awal Dana Haji Dipakai Membiayai Jemaah Lain, Ini Reaksi BPKH
Rasio-rasio keuangan utama seperti likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas masih cukup solid dan stabil serta berada di atas standar yang ditetapkan. Hal itu menunjukkan bahwa dana haji tetap dikelola dengan baik.
“Rasio likuiditas wajib BPKH berada pada level dua kali lipat dari BPIH sebagaimana yang digariskan undang-undang, menunjukkan kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek,” ucap Amir di kantor BPKH, Kuningan, pada Kamis (1/8).
BACA JUGA: Mahasiswa Laporkan Gus Yaqut ke KPK terkait Kuota Haji 2024
Dengan rasio solvabilitas di atas 100 persen, BPKH disebut tetap mampu mengatasi tantangan masa depan. Rasio YOI rata-rata 6,71 persen dan menjaga efisiensi dengan CIR 3,32 persen atau di bawah 5 persen.
Untuk defisit 2023, merupakan dampak kebijakan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (Bipih) yang dinamis dalam beberapa tahun terakhir akibat pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Gus Jazil: Tudingan Pansus Haji Demi Kepentingan Pribadi Melecehkan Paripurna
“Kebijakan tersebut bertujuan meringankan beban jemaah, terutama jemaah lunas tunda,” kata dia.
Sumber pembiayaan untuk jemaah lunas tunda diambil dari aset neto berupa akumulasi Nilai Manfaat yang tidak digunakan pada musim haji 2020 dan 2021. Serta pada 2022 kuota keberangkatan jemaah hanya sebesar 50 persen.
“Dengan kata lain, defisit yang dialami bukan karena pengelolaan keuangan yang kurang baik, tetapi efek dari keputusan pemerintah dan DPR untuk mendukung jemaah lunas tunda 2020 dan 2022, yang secara akuntansi dicatatkan sebagai beban berjalan 2023,” jelasnya.
Pada 2023, BPKH mengelola tiga skema Bipih untuk memastikan bahwa beban jemaah dapat diminimalkan, yaitu jemaah lunas tunda tahun 2020, tanpa ada tambahan Bipih (84.609 jemaah).
Jemaah lunas tunda 2022 (sebanyak 9.864 jemaah) yang tidak berangkat karena pandemi hanya dikenakan Bipih 40 persen dari BPIH, sementara jemaah 2023 (106.590 jemaah) membayar 55 persen dari BPIH.
Jemaah lunas tunda 2022 dikenakan Bipih 40 persen dari total BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) yang artinya mendapatkan subsidi nilai manfaat sebesar 60 persen.
“Sementara jemaah haji 2023 dikenakan Bipih 55 persen dari BPIH dengan subsidi nilai manfaat sebesar 45 persen. Sementara jemaah 2020 tidak dikenakan tambahan Bipih," tutur Amir.
Dia menyebutkan BPKH bersama pemerintah dan DPR berupaya untuk meringankan beban jemaah yang tertunda akibat pandemi covid-19, sebagai wujud tanggung jawab BPKH untuk terus mendukung umat. (mcr4/jpnn)
Redaktur : Elfany Kurniawan
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi