jpnn.com - BATAM - Polemik pemberlakuan tarif baru uang wajib tahunan otorita (UTWO) di kota Batam, Kepulauan Riau, baru saja mereda.
Itu setelah Menko Perekonomian Darmin Nasution memutuskan menunda penerapan kebijakan menunggu evaluasi secara keseluruhan.
BACA JUGA: Pekerja Ini Tertimpa Baja 1 Ton, Kepalanya sampai Remuk, Ngeri Betul...
Namun, belum lama polemik itu mereda, muncul persoalan baru. Yakni, ketika Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil menegaskan, status lahan di Batam semua HPL (hak pengelolaan lahan).
Artinya, semua lahan di Batam yang kini berdiri maupun belum ada propertinya notabene milik negara, sehingga tak ada istilah sertifikat hak milik (SHM).
BACA JUGA: Boleh Dicek Lho, Kakak! Ini Jumlah Polisi yang Terlibat Pungli
Yang ada hanya sewa atau hak pakai.
Itu sebabnya, warga Batam dikenakan kewajiban membayar uang wajib tahunan Otorita atau lebih dikenal dengan singkatan UWTO.
BACA JUGA: Miris! Mereka Calon Penerus Bangsa, Tapi Belajar di Bawah Tenda
Namun, ternyata di Batam ada sejumlah lahan baik yang sudah ada propertinya maupun belum telah memiliki sertifikat hak milik.
Kondisi ini bertentangan dengan aturan yang menyebutkan bahwa Batam adalah HPL.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batam berjanji akan mengusut status hak milik tanah yang dimiliki beberapa warga Batam.
Bagaimana bisa keluar sertifikat hak milik di atas lahan yang berstatus HPL.
“Sesuai aturannya, memang tak ada hak milik di sini,” kata Kepala BPN Kota Batam, Asnaedi kepada Batam Pos seperti diberitakan batampos (Jawa Pos Group) hari ini.
Ia membenarkan pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang yang juga Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil.
Oleh sebab itu, pihaknya akan melakukan pengusutan atas keluarnya dokumen tersebut. Nantinya juga akan dipetakan, daerah mana saja yang memiliki dokumen hak milik.
“Kami akan lakukan peninjaun ulang, hasilnya kita belum bisa tentukan, mau seperti apa lahan lahan yang telah memiliki hak milik nantinya,” tuturnya.
Asnaedi yang baru saja satu bulan berkantor di Batam tersebut, juga mempertanyakan bisa keluarnya dokumen itu. Namun hal ini akan dikajinya saat kembali lagi ke Batam. Sebab saat ini dirinya sedang menjalani rapat kerja nasional di Jakarta.
“Nanti yah, sekembali saya dari Rakernas,” ucapnya singkat.
Disinggung mengenai lokasi lahan yang telah memiliki status hak milik, Asnaedi mengaku belum tahu pasti lokasi tersebut.
“Belum tahu di mana saja lokasi lahan yang berstatus hak milik, nanti kita liat dulu,” sebut dia.
Sementara itu, jajaran pimpinan baru Badan Pengusahaan (BP) Batam juga bingung dengan hal ini. Pasalnya seluruh lahan di Batam adalah milik negara dengan status BP Batam sebagai pemegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973.
“Kalau dirunut sejarahnya kan HPL Batam dikeluarkan pada tahun 1973. Tiba-tiba tahun 2000, malah keluar SHM. Ya memang aneh bin ajaib,” jelas Deputi III BP Batam, Eko Santoso Budianto, Rabu (16/11).
Menurut Eko, hal ini sangat kontradiktif dengan Undang-Undang (UU) yang berlaku. Ia mengatakan BP Batam akan menyelidiki hal tersebut dengan menyerahkannya kepada biro hukum BP Batam.”Mungkin harus diselidiki,” imbuhnya.
Ketika disinggung apakah BP Batam akan meninjau ulang SHM yang terlanjut dikeluarkan tersebut, pria berambut putih ini enggan berkomentar. ”No Comment,” tutupnya. (cr17/leo/ray/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gereja Samarinda Dibom, Polda Kaltim Dirombak
Redaktur : Tim Redaksi