Bromocorah

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 30 Agustus 2021 – 11:24 WIB
Ilustrasi. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - Pagebluk Covid-19 memunculkan banyak kosa kata baru yang memperkaya bahasa Indonesia. Selain berbagai akronim yang bermunculan, ada istilah-istilah baru yang sebelumnya hanya dipahami oleh kalangan medis, tetapi sekarang sudah menjadi kosa kata umum.

Orang akan dengan fasih berbicara mengenai protokol kesehatan, komorbid, plasma konvalesen, dan badai sitokin.

BACA JUGA: Sembuh dari COVID-19, Penyintas Harus Perhatikan Hal Berikut

Kosa kata itu khas medis, yang seharusnya penuh dengan muatan teoretis. Namun, sekarang istilah itu menjadi kosa kata yang dipahami publik secara luas. Ada yang memahaminya dengan benar, dan banyak yang memahaminya secara salah kaprah.

Salah satu kosa kata yang juga ikut populer bersamaan dengan munculnya pagebluk Covid-19 adalah penyintas.

BACA JUGA: 3 Tersangka Korupsi DLHP Ambon Ditahan, Salah Satunya Kepala Dinas

Beda dengan kosa-kosa kata lain yang diambil dari istilah medis, penyintas bukan istilah khas medik, tetapi kemudian diadopsi menjadi istilah medis untuk menggambarkan seseorang yang tertulari Covid-19 dan kemudian selamat.

Penyintas adalah istilah yang biasanya dipakai di kalangan para pencinta petualangan seperti pendaki gunung atau penjelajah hutan.

BACA JUGA: Proses Penangkapan Buron Kasus Korupsi Bank Jatim Sungguh Unik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara harfiah penyintas berarti pertahanan hidup--dalam Bahasa Inggris survival--yaitu kemampuan untuk bertahan hidup di dalam suatu kondisi atau keadaan tertentu, yang biasanya sulit dan bisa mengancam keselamatan nyawa.

Penyintasan juga bisa diartikan sebagai teknik atau ilmu dalam menghadapi berbagai ancaman terhadap keselamatan diri. Di kalangan para petualang alam bebas, upaya bertahan hidup disebut sebagai ‘’survival art’’.

Artinya, teknik bertahan terhadap kondisi yang membahayakan kelangsungan hidup di alam bebas terbuka, dengan memanfaatkan perlengkapan seadanya. Mereka yang lolos dari kesulitan itu disebut sebagai penyintas atau survivor.

Istilah ini dalam teori bahasa disebut sebagai esoterik, yaitu istilah yang hanya dipahami di lingkungan terbatas dalam komunitas-komunitas khusus. Bahasa esoterik juga sering bersifat sandi dan rahasia. Namun, ketika kemudian diadopsi oleh media menjadi istilah umum, publik pun memakainya secara luas.

Karena bahasa esoterik bersifat sangat khusus maka seringkali ketika diadopsi menjadi istilah umum terjadi salah kaprah, atau salah dalam penerapan.

Istilah ‘’86’’ adalah istilah yang dipakai oleh polisi yang berarti membatalkan atau membubarkan sesuatu. Istilah itu juga bisa berarti menghalangi, atau memberikan layanan lebih lanjut kepada seseorang. Bahkan 86 juga bisa berarti tindakan untuk membunuh.

Namun, sekarang istilah itu dipakai secara luas oleh publik dalam percakapan umum atau dalam chatting WhatsApp. Setiap kali akan mengungkapkan persetujuan, seseorang memakai istilah 86, tanpa melihat konteksnya yang benar.

Istilah penyintas pun diadopsi oleh kalangan medis untuk menggambarkan seseorang yang survive, atau bertahan hidup, dari serangan Covid 19. Seseorang yang tertular dan berhasil selamat akan disebut sebagai ‘’penyintas Covid 19’’.

Meskipun tidak sepenuhnya benar, tetapi adopsi istilah ini diterima secara luas dan menjadi kosa kata baru yang asosiatif dengan Covid-19. Setiap kali orang menyebut penyintas, hampir selalu dikaitkan dengan Covid-19.

Istilah penyintas jarang dipakai untuk menggambarkan seseorang yang selamat setelah terjebak dalam reruntuhan selama beberapa hari akibat gempa bumi. Istilah ‘’penyintas gempa bumi’’ tidak pernah dipakai di media. Begitu juga ‘’penyintas bencana banjir’’ atau ‘’penyintas kecelakaan pesawat’’ hampir tidak pernah dipakai di media.

Beberapa hari belakangan ini publik heboh gegara seorang pejabat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) membuat istilah ‘’penyintas korupsi’’.

Publik kontan bertanya-tanya apa maksud istilah baru ini. Ternyata yang dimaksud penyintas korupsi adalah narapidana korupsi yang sudah selesai menjalani masa hukumannya.

Entah karena latah, salah kaprah, tidak paham etimologi, atau memang sengaja melakukan penggelapan bahasa, KPK menyatakan akan mengubah istilah koruptor dengan penyintas korupsi.

Menilik pada definisi resmi KBBI mengenai penyintas, maka penyintas korupsi adalah seseorang yang berhasil lolos dan selamat dalam perjuangannya melawan korupsi.

Para maling pencuri ayam atau penjambret HP yang melakukan tindak pidana kecil disebut sebagai petite criminal.

Mereka yang melakukan kejahatan di jalanan, seperti begal disebut sebagai ‘’street criminal’’. Mereka adalah pelaku ‘’ordinary crime’’, kejahatan umum, yang dampak perbuatannya dirasakan oleh korban saja.

Namun, korupsi adalah ‘’extra-ordinary crime’’, tindakan kriminal luar biasa, yang dampaknya dirasakan oleh publik secara luas. Kalau pelaku korupsi yang sudah selesai dihukum disebut sebagai ‘’penyintas korupsi’’, maka pelaku jambret yang sudah dihukum disebut sebagai ‘’penyintas jambret’’.

Pelaku pencurian ayam disebut sebagai ‘’penyintas maling ayam’’, pelaku begal disebut ‘’penyintas begal’’, dan pelaku begal payudara disebut sebagai ‘’penyintas begal payudara’’. Bagaimana dengan pelaku perkosaan?

Bahasa Indonesia sudah menyediakan istilah yang cukup halus untuk menggambarkan para pelaku kejahatan yang dipenjara. Mereka disebut sebagai ‘’narapidana’’, yaitu orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana.

Kalau mau memberi efek jera kepada pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi, istilah yang ditempelkan kepada mereka seharusnya diperberat, bukan malah dihaluskan. Kalau maling ayam dan jambret HP disebut sebagai ‘’narapidana’’, maka koruptor penggarong uang rakyat disebut sebagai ‘’maha-narapidana’’.

Sekadar analogi, siswa dipakai untuk menyebut pelajar di tingkat bawah dan menengah. Untuk pelajar di tingkat tinggi disebut mahasiswa. Narapidana adalah sebutan untuk kriminal kelas bawah dan menengah. Untuk pencuri level dewa harus disebut sebagai ‘’maha-narapidana’’.

Dalam dunia kedokteran, penyakit yang dialami seseorang berulang kali disebut sebagai penyakit kambuhan. Di dunia kriminal, para pelaku kriminal, yang melakukan tindak pidana berulangkali, disebut sebagai penjahat kambuhan atau residivis.

Publik menjulukinya dengan sebutan bromocorah (bramacorah) yang lebih sangar.

Kalau koruptor penyintas korupsi dijadikan tim penyuluh untuk sosialisasi anti-korupsi, nanti para jambret senior, para pakar maling ayam, dan para jago begal, juga akan diangkat menjadi penyuluh sosialisasi antijambret, antimaling, dan antibegal. Para penyintas perkosaan juga akan menjadi penyuluh sosialisasi anti-pemerkosaan.

Karena mendapat protes keras dari masyarakat, KPK buru-buru melakukan klarifikasi dan mengakui bahwa pemakaian istilah penyintas tidak tepat. KPK minta kontroversi diakhiri. Mengakhiri polemik tentu mudah.

Namun, persoalannya bukan sekadar mengakhiri polemik atau mengakhiri kontroversi. Yang menjadi persoalan adalah perubahan mindset KPK dalam melihat tindak pidana korupsi.

Munculnya gagasan penyintas korupsi menunjukkan bahwa KPK berlaku lembek terhadap koruptor. Kalau ini dibiarkan, bisa-bisa nanti muncul peraturan koruptor tidak harus dihukum,tapi cukup direhabilitasi seperti pelaku narkoba. Yang menjadi instruktur rehabilitasi adalah para penyintas korupsi alumnus Sukamiskin.

Penyanyi Iwan Fals menggambarkan kisah bromocorah bernama ‘’Man Rambo’’ dalam lagu gubahannya. Dalam lagu itu Man Rambo adalah bromocorah yang benar-benar tobat. Bekas luka di tubuhnya menjadi saksi kejahatannya di masa lalu.

Mungkin Iwan Fals harus menggubah lagu baru dengan judul ‘’Penyintas Bramacorah’’. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler