jpnn.com, TARAKAN - Kajian Universitas Borneo Tarakan (UBT) merekomendasikan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meninjau ulang penerapan Permen-KP Nomor 56 tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam dua kali aksi dalam Maret ini, nelayan mengeluhkan aktivitas mereka menangkap kepiting bertelur justru harus kucing-kucingan dengan aparat. Dalam beberapa kasus berakhir penyitaan. Nelayan pun merugi.
BACA JUGA: Ribuan Kepiting Bertelur Hasil Penyelundupan Dilepasliarkan di 2 Lokasi Berbeda
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalimantan Utara (Kaltara) mengungkap rumusan hasil kajian itu tengah disusun. Selanjutnya akan disampaikan oleh Gubernur Kaltara Dr. H. Irianto Lambrie melalui surat ke KKP.
“Atas kajian itu, Pak Gubernur akan menyurat ke KKP. Bahwa potensi sumber daya ikan khususnya kepiting masih cukup besar. Ada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 47/KEPMEN-KP/2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Kita masuk di WPPNRI-716, potensinya 2.670 ton setahun. Jumlah tangkapan yang dibolehkan 1.700 ton. Yang termanfaatkan baru 0,38 persen. Masih dimungkinkan dieksploitasi. Kalau di atas 5 persen, baru over fishing,” ungkap Kepala DKP Kaltara Ir. H. Amir Bakry, M.P, kepada Radar Tarakan (Jawa Pos Group).
BACA JUGA: Bu Susi: Semoga Tidak ada Lagi yang Melanggar
Dari kajian itu juga diketahui jika ada 128 pulau di Kaltara menjadi habitat kepiting bakau. “Ada mangrove-nya seluas 180 ribu hektare. Sementara 149 ribu hektare tambak. Tambak ini potensi budi daya. Sebagian besar yang ditangkap itu kan dari tambak. Secara alami, anakan kepiting masuk ke tambak, molting dan bertelur di tambak,” sebut Amir.
Apa yang dilakukan nelayan tambak selama ini? Kepiting bagi nelayan tambak merupakan hama. Di tengah budi daya udang, kepiting yang masuk harus dibersihkan dalam kurun waktu tertentu.
BACA JUGA: KKP Gagalkan Penyelundupan Kepiting Bertelur di Medan dan BalikpapanÂ
“Kalau pelihara udang, saat molting, udang itu mirip bangkai, lantas dimakan kepiting. Kepiting itu harus ditangkap. Selain itu juga membantu perekonomian nelayan tambak, karena ada nilai ekonominya,” ungkap Amir.
BACA JUGA: Teriak Guru Bersertifikasi: Ayo Sweeping, Kita Cari Wali Kota
Diakui, jika Permen-KP 56/2016 dan Kepmen-KP Nomor 47/2016 memiliki penafsiran berbeda. “Yang Permen mengatur pelarangan pengeluaran. Yang Kepmen justru mengatur mengenai JTB, atau tangkapan yang dibolehkan. Dari kajian UBT itu, Permen jangan diperlakukan umum seluruh Indonesia. Kaltara (kepiting) masih memungkinkan untuk dieksploitasi. Mungkin saja kajian Permen, tidak dilakukan di Kaltara. Tingkat pemanfaatannya juga masih kecil jika dilihat dari Kepmen itu. Tapi dikhawatirkan pemerintah pusat, kalau kepiting bertelur di-eksploitasi terus menerus, populasinya berkurang. Nah, itu harus dipertahankan hingga dinikmati anak cucu kita,” ujarnya.
Kajian UBT yang akan diteruskan ke KKP tentunya akan ditindaklanjuti dengan kajian. DKP Kaltara berharap, keputusan KKP nantinya dapat menjamin kelestarian kepiting sekaligus memberi jaminan kepada perekonomian nelayan di Kaltara.
“Di satu sisi, kelestarian. Di sisi lain, menyangkut ekonomi. Kalau DKP, mau dua-duanya. Tetap lestari dan ekonomi masyarakat bisa lebih baik. Barangkali nanti open season (masa jual kepiting bertelur) itu ditambah. Yang bermasalah kan cuma yang bertelur,” urainya lagi.
Lima tahun terakhir, produksi kepiting masih konstan. DKP juga mengakui jika pengeluaran masih terus dilakukan sejumlah nelayan. Kepiting bertelur dibawa ke Tawau, Malaysia.
“Apakah mau dibebaskan atau bagaimana? Aturan dari pusat. Ini dilarang, tapi jalan juga. Di sisi petugas, kalau tidak ditegakkan, dianggap melakukan pembiaran. Semua aparat di laut ikut Permen, menjalankan UU dan peraturan pemerintah. Kami juga berupaya membantu teman-teman (nelayan). Nanti kebijakannya dari Kementerian. Bukan dari Provinsi (Pemprov),” jelasnya.
Sementara Wali Kota Tarakan dr. Khairul, M.Kes, mengatakan, terkait aturan menteri, maka pemerintah daerah hanya dapat berkutat pada satu titik saja. Untuk itu, pihaknya akan mencari jalan keluar, misalnya dengan mendorong pembibitan, sehingga setiap petambak dapat mengambil kepiting yang berasal dari pembibitan.
“Kalau itu juga (ide pembibitan), masak dilarang? Karena itu sudah budi daya, jadi tidak dilarang. Yang dilarang itu dari alam untuk menjaga kesinambungan populasi kepiting,” bebernya.
Khairul menjelaskan, contoh hasil laut yang diambil dari lokasi pembibitan ialah udang. Setiap masyarakat yang ingin mengambil udang sampai ukuran ton pun tidak menjadi masalah, sebab udang berasal dari pembibitan. Tak hanya udang, namun ayam juga berasal dari pembibitan, sehingga setiap masyarakat dapat memotong ayam sebanyak-banyaknya.
“Jadi begitu juga kepiting nantinya. Kami sudah berkomunikasi dengan beberapa investor, nanti mereka kasih bibit gratis, sekaligus hasil kepitingnya kalau ada nanti dibeli. Itu solusi. Kalau berkutat mau mengubah aturan, maka di sana (pemerintah pusat) juga bersikeras enggak mau berubah, dan sampai kapan pun itu enggak akan selesai,” jelasnya.
Menurut Khairul dalam permasalahan kepiting ini diperlukan kecerdasan yang lebih untuk memecahkan sebuah masalah. Namun secara keseluruhan perikanan dan kelautan menjadi ranah Pemprov. Akan tetapi, Pemkot Tarakan turut memikirkan penyelesaian aspirasi warga.
“Bukan untuk melanggar aturan, tapi mencari solusi yang dimungkinkan oleh aturan itu sehingga masyarakat Tarakan tetap bisa berusaha. Solusi satu-satunya yang saya pikir adalah pembibitan,” katanya.
Untuk itu, ke depannya ada pembibitan khusus kepiting yang bukan berasal dari alam sehingga memudahkan masyarakat nelayan dan petambak. “Kalau tidak boleh dari alam, kepiting bertelur dan di bawah ukuran 200 gram, wah kalau begitu buat budi daya saja kan boleh dikirim berapa ton pun. Enggak ada masalah. Yang dari alam pun boleh juga, tapi syaratnya di atas 200 gram dan tidak bertelur,” tuturnya.
Disinggung soal peluang ekspor, Khairul menyatakan bahwa pihaknya akan membentuk badan usaha milik daerah bidang agrobisnis yang mencakup pertanian dan kelautan. Sehingga setiap hasil usaha masyarakat Kota Tarakan dapat langsung diekspor.
“Mudah-mudahan harganya bagus, kalau semuanya resmi, petani nyaman semuanya nyaman. Intinya bagaimana meningkatkan kesejahteraan nelayan dan petani di Kota Tarakan,” tambahnya. (*/shy/lim)
Redaktur & Reporter : Soetomo