jpnn.com - DALAM setiap penerbangan, kondisi pilot dan para awak udara memiliki peran penting. Jika kru sakit, nyawa para penumpang bisa menjadi taruhan.
Ada spesialis kedokteran yang menentukan standar kesehatan kru itu. Yakni, spesialis kedokteran penerbangan. Dokter Susanto Jindarbumi SpKP MSA adalah salah seorang penekun bidang tersebut.
----------
Laporan Muniroh, Surabaya
----------
TUMPUKAN kertas menggunung di atas meja. Di balik perabot itu, seorang pria tampak sibuk. Dia membaca, memilah, dan meneken surat-surat penting berkop Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas I Surabaya. Dia adalah dr Susanto Jindarbumi SpKP MSA, 56.
BACA JUGA: Ada Kasus Khusus Dibahas Bareng di Grup BBM atau WhatsApp
Susanto merupakan lulusan pertama Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Kedokteran Penerbangan FK UI. Dia mengatakan, ada delapan negara yang memiliki program kedokteran penerbangan di dunia. Sebagian besar adalah negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Australia.
Sementara itu, di Indonesia hingga kini spesialis kedokteran penerbangan hanya ada di FK UI. Seleksinya pun ketat. ”Ini jurusan sangat baru. Dulu kalau mau jadi dokter penerbang harus ke luar negeri,” ungkap pria yang mengambil gelar dokternya juga di FK UI itu.
BACA JUGA: Ketika Tujuh Anggota Keluarga Jadi Korban AirAsia QZ8501
Susanto menceritakan awal mula ketertarikannya pada profesi yang tidak banyak dijalani orang tersebut. Saat itu dia ditakdirkan bertemu dengan petugas Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sang petugas menyampaikan, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) yang dijabat B.J. Habibie tengah mencari dokter yang ingin sekolah sebagai dokter penerbang.
Untuk itu, dibukalah program spesialis dokter penerbangan. Merasa itu jalan hidup yang sedang dibentangkan untuknya, Susanto memutuskan mengambil bidang tersebut. Tepat setelah 2,5 tahun, dia diwisuda dengan gelar spesialis kedokteran penerbangan (SpKP).
BACA JUGA: Sungkan Mau Merokok, Lebih Banyak Ngobrol dan Minum Kopi
Susanto menjadi lulusan angkatan pertama. Selepas wisuda pada 1985, Susanto ingin mengabdikan diri pada negara. Maka, dia mendaftar sebagai PNS Kemenkes.
Pria asli Jawa Tengah itu ingin bekerja di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Sayang, IPTN mengalami kebangkrutan. ”Saya pun akhirnya menjadi dokter Rumah Sakit Pusat Pertamina,” ceritanya.
Meski begitu, impian menjadi abdi negara tidak pernah padam. Maka, pada 1992, ketika muncul peluang sebagai pegawai negeri, Susanto mendaftar. Dia diterima dan ditugaskan sebagai dokter di Puskesmas Maluku Utara.
Selesai bertugas di daerah terpencil, Susanto kemudian diminta pindah ke Departemen Kesehatan (Depkes) Kantor Wilayah Jatim pada 1996 hingga 2009. Kemudian, dia pindah menjadi kepala KKP Semarang hingga 2011. Setelah itu, dia bertugas di Kemenkes pusat selama setahun. Pada 2013, Susanto ditugaskan menjadi kepala KKP Surabaya.
Sejak kepemimpinannya, KKP Surabaya meraih ISO 9001:208 selama dua tahun berturut-turut. Karena prestasi itulah, Susanto ditunjuk depkes untuk membuat pedoman layak terbang bagi penumpang. Pedoman tersebut juga digunakan dokter seluruh KKP dan bandara di Indonesia.
Susanto membuat ketentuan seseorang laik terbang atau tidak. Jika mengidap penyakit menular seperti TB, MERS CoV, flu burung, dan ebola, orang itu dilarang terbang. ”Sudah mirip polisi kesehatan,” ucap pria yang mulai menjadi Pengurus Pusat Dokter Penerbangan Indonesia periode 2012–2015 itu.
Susanto mengatakan, posisi dokter penerbangan sangat krusial. Menurut dia, keselamatan penerbangan sangat bergantung pada kondisi pilot dan kopilot. Termasuk kru lain seperti pramugari dan pengendali lalu lintas udara (air traffic controller).
Para awak udara yang sakit bisa membahayakan keselamatan penumpang. Susanto menerangkan, semakin tinggi penerbangan, tekanan udara kian berkurang. Udara mengembang di dalam tubuh. Akibatnya, dalam tingkat yang parah, pendengaran menjadi tuli. Bahkan, bisa pingsan atau meninggal di dalam pesawat.
Kasus pingsannya pilot terbukti pernah terjadi di salah satu perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia. ”Maka, di pesawat diberi permen agar udara keluar dari mulut yang mengunyah. Adanya kopilot juga mengantisipasi kalau pilot mendadak sakit,” ujarnya.
Menurut dia, jika pilot sampai meninggal, itu tentu membahayakan nyawa penumpang. Salah satu penyebab terjadinya kondisi fatal tersebut adalah kurangnya oksigen. Susanto mencontohkan, ukuran oksigen pada darah orang normal mencapai 96–100 persen.
Namun, saat berada di ketinggian, kadar oksigen terus menurun hingga mencapai 88 persen. Pilot yang memiliki riwayat asma bisa mengalami serangan sesak. Bahkan, untuk penderita jantung koroner, bisa terjadi serangan jantung.
Karena itulah, pilot tidak boleh menderita sakit kronis seperti paru-paru atau jantung. Berat badan pun tidak boleh berlebih. Pilot yang bobotnya melebihi batas tertentu tidak diizinkan terbang selama dua minggu. Masa itu akan terus diperpanjang hingga berat badan sang pilot normal.
Bahkan, sakit gigi pun tidak boleh. Gigi tidak boleh berlubang. Pengemudi pesawat terbang harus dipastikan sehat secara batin. Kondisi psikologis juga menjadi komponen penilaian kesehatan. ”Pilot tidak boleh emosian,” ujarnya.
Pilot baru mendapatkan izin terbang setelah dinyatakan sehat lewat tes medis secara rutin. Mulai enam bulan, setahun, hingga dua tahun, bergantung pada ketinggian terbang. ”Berapa ribu feet terbangnya, itu pengaruh. Seleksi pilot dan pramugari harus disertai tes kesehatan dari dokter penerbangan. Bisa melalui Balai Kesehatan Penerbangan (Hatpen) Kemenhub,” ucapnya.
Masalahnya, selama ini peran dokter penerbang belum maksimal. Susanto mencontohkan, seharusnya setiap sebelum terbang, kesehatan pilot harus dicek. Minimal tekanan darah dan kondisi psikologis. Apalagi saat ini, banyak pilot yang jam terbangnya tinggi.
Sehari, lanjut Susanto, ada ribuan penerbangan. Langit penuh dengan pesawat. Namun, jumlah pilot tidak mencukupi. Jika tidak diperhatikan, pilot bisa kurang istirahat. ”Realitasnyam banyak pilot yang sering terbang, tapi tidak sering diperiksa kesehatannya,” ujarnya.
Susanto mengatakan, meski spesialis dokter penerbangan di Indonesia terseok-seok, Indonesia tetap perlu berbangga. Negara tetangga seperti Malaysia belum memiliki spesialis tersebut. ”Jika mereka membutuhkan, dokter penerbangan Indonesia lah yang menjadi konsultan,” katanya.
Susanto berharap para pihak terkait mau secara serius memperhatikan kondisi petugas di lingkungan bandara. Semua itu tentu bertujuan untuk menjamin keselamatan sebuah penerbangan. Sebab, human error sering menjadi penyebab kecelakaan.
Untuk itulah, hingga kini Susanto secara rutin tetap menyambangi berbagai bandara untuk memantau pelaksanaan pengecekan kesehatan. (*/c6/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Memasak di Dapur Oke, Kemudikan Kapal Bisa
Redaktur : Tim Redaksi