jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI M Hidayat Nur Wahid, MA merespons permintaan maaf pemerintah Belanda mengenai perbudakan di wilayah-wilayah atau negara koloni di masa lalu,
Dia mengatakan sangat mengapresiasi sikap Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dengan permintaan maaf dan mendorong Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk membicarakannya spesifik perbudakan dan pelanggaran HAM yang dilakukan Belanda terhadap warga Indonesia.
BACA JUGA: HNW Meminta Pengangkatan Honorer Guru Agama Menjadi PPPK Diperbanyak
Pria yang akrab disapa HNW itu mengimbau masalah tersebut dibicarakan secara serius agar kerajaan Belanda tidak hanya meminta maaf dan mengakui de facto kemerdekaan RI tetapi juga segera mengakui secara resmi dan de jure kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia dari penjajahan Belanda.
“Permohonan maaf seperti itu tentu diapresiasi, walaupun sudah pernah disampaikan, dan walaupun kini disampaikan secara umum untuk negara-negara koloni Belanda di masa lalu," kata HNW dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (21/12).
BACA JUGA: HNW Mengutuk Penodongan Senjata ke Paspampres di Depan Istana Negara
Dia menambahkan pemerintah melalui Kemlu perlu menindaklanjuti bagaimana sikap Belanda terkait spesifik Indonesia di masa lalu, baik terkait masalah perbudakan, pelanggaran HAM, lalu tindak lanjut permohonan maaf tersebut, juga pengakuan dejure atas kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia pada 17 Agustus 1945.
HNW mengatakan permohonan maaf ini memang ditujukan secara umum terhadap negara-negara koloni Belanda di masa lalu.
BACA JUGA: PT 20 Persen Perlu Dikoreksi Lewat Kajian Ilmiah, HNW Sodorkan Ini sebagai Solusinya
Oleh karena itu, perlu dibahas secara spesifik mengenai Indonesia.
“Bagaimana sikap Belanda terkait Indonesia di masa penjajahan Belanda? Ada banyak yang perlu diklarifikasi dan kepentingan Indonesia perlu diperjuangkan,” ujarnya.
Lebih lanjut, HNW mengatakan sikap permohonan Belanda ini bukan kali pertama.
Raja Belanda pada 10 Maret 2020 dan PM Rutte 17 Februari 2022 sebelumnya juga meminta maaf atas kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda.
“Lalu, bagaimana dengan kekerasan dan pelanggaran HAM pada periode sebelum 1945, yakni periode penjajahan, di mana banyak rakyat Indonesia (Nusantara) yang tewas akibat tindak kolonialisme kerajaan Belanda, seperti melalui tanam paksa, kerja rodi dan lain-lain?” katanya.
Anggota DPR RI Dapil Jakarta II meliputi luar negeri ini menjelaskan beberapa hal tersebut perlu dibicarakan serius oleh Kemlu RI dengan pemerintah Belanda agar persoalan ini dilihat secara tulus dan komprehensif, bukan secara parsial terhadap periode-periode tertentu, seperti hanya periode 1945-1949.
“Dan perlu juga dikritisi soal PM Rutte agar mengakui bahwa Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945 melalui proklamasi Soekarno-Hatta, agar sikap itu sebagai pengakuan resmi secara de jure bukan sekedar de facto saja,” ujarnya.
HNW menambahkan memang ada pengakuan secara de facto kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot pada 2005.
Namun, pengakuan tersebut hanya bersifat de facto, bukan de jure berdasarkan ketentuan hukum yang sah.
“Momentum ini perlu digunakan Kemlu untuk menuntut pengakuan secara de jure tersebut. Agar tidak hanya berkali-kali Belanda meminta maaf, tetapi tidak meminta maaf kepada Indonesia karena baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 secara de facto saja,” ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menuturkan Kemlu perlu menyisir ulang terkait peristiwa pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan lainnya oleh Belanda pada periode kolonialisasi di Indonesia, dan mendiskusikan penyelesiannya atau reparasi dengan pihak Belanda.
Dia mencontohkan kasus pembantaian Rawagede oleh militer Belanda, Pengadilan Belanda memutus bermasalah militer Belanda untuk membayar ganti rugi kepada korban 20 ribu euro (Rp 240 juta) untuk janda korban pembantaian Rawagede.
Kasus Rawagede ini, lanjut HNW, tentunya hanya salah satu kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi oleh Belanda terhadap Indonesia.
Ada banyak kasus sejenis lainnya, seperti pembantaian oleh Westerling di Sulawesi Selatan dengan jumlah korban yang sangat besar.
“Lalu, bagaimana permintaan maafnya atau bagaimana hak atas pemulihan dan reparasi langsung (direct reparations) bagi korban atau keluarganya yang masih hidup terhadap pelanggaran HAM tersebut” pungkasnya. (jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... HNW Terus Mendesak Terwujudnya Keadilan Anggaran bagi Pendidikan Keagamaan
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian