Bukan Makan Pisang Bakubak

Sabtu, 21 Agustus 2010 – 00:20 WIB

SAYA teringat kisah seorang ayah dan putranyaTatkala si ayah menaiki keledai dan anaknya berjalan mengikutinya, kalangan man on the street mencibir.  “Orangtua itu tak sayang kepada putranya

BACA JUGA: Perang Sawit & Black Campaigne

Ia naik keledai dan rela anaknya berjalan kaki,” sindir orang-orang.

Si ayah agaknya seorang demokrat
Mereka lalu berganti posisi

BACA JUGA: Ibukota Tak Perlu Hijrah

Sang ayah berjalan kaki, tapi si anak menunggang hewan yang tak sekuat kuda itu
Eh, orang-orang juga mencela

BACA JUGA: Money Politics: Tilang Saja

“Anak tak tahu diriIa rela ayahnya berjalan kaki,” sumpah seseorang.

Serba salahTapi ayah anak ini sabarKemudian, keduanya berjalan kaki dan sang keledai tanpa bebanNamun lagi-lagi mereka dianggap bodohAda keledai tapi kok tak dimanfaatkanToh keduanya menerima kritik itu.

Sebagai solusinya, spontan keduanya menaiki hewan ituBah, orang-orang bersorak dan menuduh keduanya tak menyayangi binatangMungkin, karena jengkel, lalu ayah beranak itu memikul keledai itu, dan, aha, lagi-lagi mereka dianggap sudah gila.

Kisah lama ini tergantung bagaimana menafsirkannyaTapi saya merasa man on the street kadang seperti kurang kerjaanApa saja dikritikTentu saja kritik itu pentingNamun mestinya harus selalu proporsional.

Tidak juga memberi kesan mencari-cari kesalahanApalagi mengintaiEh, kebetulan ada sesuatu yang boleh dikritik, maka sindiran tersebut pun meluncurKira-kira mata mengantuk disorong bantalRuas ketemu bukunya, kata orang Melayu.
***
Kesan itu pula yang mencuat ketika berbagai pihak mengkritisi pembagian majalah dan buku yang mengulas tentang diri dan keluarga Presiden Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono kepada para tamu yang menghadiri Upacara HUT RI ke-65 tahun di Istana NegaraBahkan, ada tokoh NGO yang menganggap bahwa distribusi buku-buku tersebut sebagai  politik pencitraan yang sudah melampaui batasBahkan, menuduhnya sebagai sudah sampai pada tingkat narsisme.

Misalnya, ada buku yang memuat wawancara khusus harian Jurnal Nasional dengan putra Presiden, Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung SBYMasih ada pemutaran lagu ciptaan Presiden SBYPadahal, dalam sejarahnya, upacara di Istana Negara tidak ada pemutaran lagu lain kecuali lagu kebangsaan dan lagu wajib.

Ada pula majalah Agri Mandiri edisi 17 Agustus 2010, yang memuat wajah Presiden dan Ibu Negara di sampul depan yang tersenyum lebar berpose dengan hasil bumi, ubi, yang ukuran jumboSelain itu, ada buku SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu) edisi perdana tahun 2010Di sampul majalah tampak Ibu Ani tengah merangkul pelajar SDDi halaman dalam, pembaca dapat menikmati foto-foto Ibu Ani, dan juga anggota SIKIB lainnya, dalam berupa-rupa aktivitas.

Ada lagi buku berjudul Words that Shook the World karya Richard GreeneSampul depannya berhiaskan wajah Presiden SBY yang disandingkan dengan wajah Presiden AS Barack ObamaIsinya, mulai dari pidato Obama hingga pidato SBY.

Ternyata buku-buku tersebut bukan berasal dari pihak Istana MerdekaPemimpin Umum Harian Jurnal Nasional NSyamsuddin CHHaesy mengklarifikasi pembagian buku berjudul "Sekarang Kita Makin Percaya Diri" tentang Agus Harimurti Yudhoyono murni inisiatif dari Jurnal Nasional“Bukan souvenir Istana," katanya di Jakarta, Selasa (17/8/2010).

Bahkan menurut Kabag Pers Biro Pers Istana, Darmastuti Nugroho, buku Agus diletakkan di pintu-pintu masuk undangan"Kami hanya menampung dan mendistribusikan," kata Darmastuti kepada pers.

Rasanya tak ada satu larangan apapun yang tak membolehkan pembagian buku-buku tersebutApalagi distribusi buku-buku itu tak sampai mengganggu jalannya upacara kenegaraanOke-oke sajalah.

Pula sebuah buku yang berisi informasi, selalu saja ada nilainyaBukupun merupakan “jendela” melihat duniaKarena itu, kita tak setuju jika ada yang melarang-larang buku, apalagi membakarnyaAdapun tentang politik pencitraan yang banyak dikritik, berlebihan jugaToh, masyarakat cukup cerdas untuk membacanya, dan alangkah naif jika gara-gara buku-buku tersebut citra keluarga serta-merta melambung ke angkasa.

Kira-kira dianggap sebagai “pemanasan” menyongsong Pemilu 2014 yang masih jauh? EntahlahNamun buku pastilah positif adanyaTermasuk buku yang mengkritik, seperti “Gurita dari Cikeas” dan “Pak Beye dan Istananya.”  Anda boleh setuju boleh tidakJika tak senang, balaslah dengan bukuBukan dengan provokasi politik.

***
Kisah keluarga SBY masih berlanjut ketika politikus Demokrat Ruhut Sitompul melambungkan isu amandemen UUD 1945, khususnya tentang pasal masa jabatan seorang presidenMantan artis sinetron ini mengusulkan agar ketentuan masa jabatan presiden yang hanya dua priode diubah menjadi tiga priode.

Lagi-lagi jagat politik riuh rendahSeakan-akan SBY berkehendak menjadi presiden lagu untuk prioide ketiga, 2014-2019Namun mendadak sontak isu itu kehilangan sayapnyaSBY dengan spontan membantahnyaTak hanya untuk dirinya, bahkan juga tidak untuk keluarganya, baik istri maupun putranya yang sudah terjun di panggung politik.

Tapi saya kira tak ada satu larangan pun yang mencegah keluarga SBY maju menjadi calon presidenSemua orang sama di mata hukumJuga di hadapan demokrasi dan  regulasi politikJika rakyat pemilih berkenan, mengapa tidak?

Demokrasi itu seperti memakai sepatuRakyatlah yang tahu persis sepatu seperti apa yang cocok dan enak di kakinyaRakyatlah yang berhak menentukan siapa presiden yang dikehendakinyaBukan para pakar politik dan tokoh masyarakatBahwa masyarakat dianggap belum “cerdas” dalam memilih pemimpinnya, memang begitulah adanyaMaklum, berbagai factor saling menyumbangMisalnya, antara mesin politik pencitraan para kandidat dan money politics “terselubung.”

Dengan tingkat kehidupan social ekonomi yang secara umum belum memadai, orang memang lebih cenderung bersikap pragmatisTak heran jika banyak kekecewaan terhadap hasil Pilkada di seantero daerahInilah hasil kolektif anak bangsaSemua juga bersalahTak sesiapa yang berhak menyalahkan siapa.   

Lagi pula, pendidikan dan kecerdasan politik pun bukanlah sesuatu yang jatuh dari langitIa berproses dan berimpitan dengan peningkatan kehidupan sosial ekonomi para pemilihSemakin tinggi kehidupan sosial ekonomi, pendidikan dan kecerdasan politik pun semakin bermutu.

Barangkali, suatu hari Indonesia akan sampai ke tingkat yang ideal ituTetapi tidak sekarangTidak juga pada Pemilu 2014 mendatangIndonesia masih membutuhkan berbagai pengalaman, bahkan eksperimen politik, sebelum suatu hari kian ideal

Tengoklah pemilihan pengurus di berbagai partai politik belum sepenuhnya juga demokratisBerbagai factor paternalistis yang berpadu dengan pengaruh tokoh sentral hingga kepada kemungkinan money politics masih menjadi penentuMungkin, tidak dalam skala generalisasiTapi kesan macam itu masih kuat.

Rekrutmen keanggotaan hingga pengorbitan kader menjadi pengurus serta kader yang diorbitkan menjadi anggota DPR dan DPRD belum sepenuhnya juga sehatItulah wajah demokrasi partai politik kita, yang masih membutuhkan proses dan eksperimen politikMau bilang apa?

Jika demikian apa gunanya Pemilu? Apapun hasilnya, walau masih mengecewakan,  bangsa ini harus menjalaninyaYang dianggap bermutu itu memang berlaku periodik.  Bukan “kualitas” yang sebenarnya, karena yang ideal itu ada di masa depan yang butuh pergumulan, dan bukan dalam istilah orang Minang, “makan pisang bakubak” sekali kupas terus jadi(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bangsa Besar versus Cabai


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler