Perang Sawit & Black Campaigne

Jumat, 13 Agustus 2010 – 00:01 WIB

ZAMAN beredar, dan tak kita sangka-sangka bahwa usia tanaman kepala sawit di Indonesia sudah satu abad pada tahun depan, 2011Terlepas kita masih ketagihan lebih cenderung mengekspornya, dan bukannya mengolahnya menjadi barang jadi di dalam negeri sehingga punya added value, tetapi performance sawit cukup  membanggakan.

Bahkan, produksi minyak nabati ini telah menjangkau 24% dan menggeser produksi minyak kedele (23%) di dunia sejak 2005 silam

BACA JUGA: Ibukota Tak Perlu Hijrah

Sebelumnya minyak kedele justru merupakan  raja minyak nabati di dunia.

Sebagai negeri pertanian, bersama Malaysia kita memang dikenal sebagai penghasil sawit
Sebaliknya, Amerika Serikat (AS) adalah penghasil minyak kedele (38%) di dunia

BACA JUGA: Money Politics: Tilang Saja

Lalu, disusul oleh Brasil (37%) dan Argentina (15%).

Posisi Indonesia menjadi strategis karena dari 13,7 juta hectare kebun sawit di dunia justru 7,5 juta hectare berada di Indonesia
Kian melegakan hati, menurut data World Oil Annual 2009, kebun sawit kita itu justru 40% dimiliki oleh rakyat, dan selebihnya milik PTPN dan perkebunan swasta besar.

Minyak kedele yang “beribukota” di luar negeri itu tampaknya harus kalah pada minyak sawit yang bertahta di Indonesia (dan Malaysia)

BACA JUGA: Bangsa Besar versus Cabai

Jika dari satu hektare kebun sawit bisa menghasilkan tujuh ton minyak, ternyata satu hectare kebun kedele hanya menghasilkan 0,45 ton minyak kedele dalam setahunMaklum, tanaman sawit adalah tanaman tahunan yang berbuah sepanjang tahunSementara kedele adalah tanaman yang berbuah musiman.

Mencermati prosfektif sawit yang cerah itu, saya menduga-duga, jangan-jangan inilah penyebab mengapa beberapa tahun ini terdengar black campaigne terhadap produk sawit kitaBeberapa LSM atau NGO internasional menggembar-gemborkan seolah-olah kebun sawit sebagai perusak lingkunganBukan kebetulan pula jika NGO dimaksud berbasis di berbagai Negara yang tak mempunyai kebun sawit.

Saya merasa ada semacam hyperbola yang terpampang di pentas sawit internasionalSederhana saja, industry sawit nasional hanya mempunyai areal kebun sawit seluas 7,5 juta hectare alias hanya 6% dari luas hutan Indonesia seluas 130 juta hectareBukankah tuduhan itu terlalu dibesar-besarkan?

Tak pelak di balik semua isu itu jangan-jangan ada agenda tersembunyiSaya sendiri menyebutnya sebagai “perang sawit” yang  akan berkecamuk di seluruh dunia.

***
“Perang Sawit”, apa pula itu? Saya kira tak bisa dilepaskan dari tren global, krisis energi dan global warning yang mendera dunia dewasa iniKita terbayang betapa Co2 karbondioksida dihamburkan oleh rumah-rumah kaca tanpa ampun yang bertebaran di Amerika Serikat, China, Eropa, dan Jepang.

Enersi listrik yang digerakkan oleh BBM, termasuk Co2 yang menyembur dari dunia industri maupun mobil memang sangat ”rakus” meminum enerji yang berasal dari minyak bumi tersebut.
 
Ternyata CPO yang berasal dari tanaman nabati sangat efisien mengganti bahan bakar petrolium dari fosilInilah, yang ”benteng terakhir” bagi dunia masa depan, sekaligus dalam  memerangi emisi-pemanasan global.

Nah, Indonesia di masa depan sangat dibutuhkan duniaMemang, BBM tradisional terutama yang berasal dari fosil mulai dan niscaya harus migrasi ke bioenergi, biofiel, bioetanolBioetanol juga bisa diambil dari ubi kayu, tebu dan jagungMudah dan ongkosnya murah.

Malah di Brasil 50% produksi tebu dikonversi menjadi alkohol untuk dicampurkan di dalam bensinRamah lingkungan pula.

Hatta, inilah kutukan dari  BBM tradisional, yang tidak terbarukan, dari fosil, dari pembusukan ratusan tahun dan kian susut dan mengering pulaTak mencengangkan jika bionabati dilirik banyak negara, yang sangat potensial di Indonesia.

Saya berfirasat, jangan-jangan inilah penyebabnya jika belakangan ini banyak negara maju konsumen minyak sawit memperketat regulasi tentang bagaimana cara minyak sawit tersebut diproduksi agar bisa diterima oleh pasar internasional?

Terdengarlah RSPO (roundtable on Suistinable Palm Oil) yang menuangkan panduan produksi minyak sawitTapi Indonesia ternyata mau menurutSedikitnya, 72 industri sawit nasional dari hulu hingga ke hilir bersedia menjadi anggota RSPO yang berkantor pusat di Zurich, Swiss tersebut.

Industri sawit kita malah menandinginya dengan ISPO (Indonesian Suistanable Palm Oil)Soalnya, seperti kata Haposan, GAPKI menilai ketentuan RSPO tak selalu sejalan dengan arah dan kepentingan industri sawit kita.

Sebetulnya daripada repot melayani kecerewetan negara konsumen itu, mengapa kita tak mengayun langkah mengusung program konversi BBM dengan bionabati tersebut?

Sayangnya pemerintah suka angin-anginanJika harga minyak dunia kumat, kita menoleh ke bionabati, sampai ada Inpres segalaNamun saat harga minyak dunia normal, kita melupakan program konversi itu.

Saya terbayang jika kita konsekuen, Indonesia akan punya bargaining tinggi ketika suatu hari krisis minyak dunia kian sakaratKini saatnya kembali ke konversi lama itu agar bisa memenangkan ”perang sawit.”

***
Saya mendengar kabar bahwa sebuah pesemaian bibit sawit di Topaz, Kabupaten Kampar, Riau telah memberi kabar yang menggembirakanSyahdan, pada tahun pertama saja (Juli 2005) menghasilkan 19,6 ton perhektar sejak ditanam pada Mei 2003 laluProduksi CPO-nya mencapai 5,4 ton perhektare.

Bahkan pada tahun keempat mencapai 34,5 ton perhektare dan 10,1 ton minyak sawitMasa panennya juga lebih cepatHanya 26 bulan setelah ditanam.
 
Menurut data yang saya cuplik dari Oil Palm Research Station (OPRS) Topaz, Riau  di bawah PT Tunggal Yunus Estate, anak perusahaan Asian Agri Grup itu, ada empat jenis benih sebagai varietas unggul kelapa sawit DxP TopazBahkan telah meraih sertifikasi dari Menteri Pertanian pada 16 Januari 2004.

Memang pekerjaan lembaga peneliti mirip tuan kadhi yang mengawinkan antar sejumlah benih sawitDisebutkan, bahwa tetua dura (benih perempuan) diambil dari Costarica dengan 228 buah keturunan inbred lines dura Deli (DxD) yang berasal berbagai lembaga riset dari Malaysia, Socfindo, Papua New Guinea dan Honduras.

Kemudian, dikawinkan dengan tetua pisifera (benih sawit laki-laki) yang terseleksi sejumlah 50 keturunan dari AVROS (H&C Malaysia) AVROS Dami, Ekona, Ghana, Nigeria, La Me dan Yang ambiAha, mirip poliandri, karena jumlah benih sawit betina yang dikawinkan lebih banyak dibanding benih jantan

Pemakaian benih unggul ini sangat intensifikasiProduksi berlipatganda bukan karena ekstensifikasi lahanTentu saja butuh perlakuan serius dalam pemeliharaan,  pemupukan dan penyemprotan antihama.

Sekarang tinggal melakukan program replanting (penanaman kembali) di berbagai perkebunan Tanah Air, baik di PTPN, milik swasta maupun kebun rakyatMaklum, percobaan sejenis juga dilakukan berbagai lembaga riset lainnya di  Tanah Air.

Kita terbayang Indonesia akan bisa meningkatkan rata-rata produksi CPO dari rata-rata 2 ton menjadi 4 ton perhektareKelak tak hanya memproduksi CPO bersama turunannya tetapi juga sebagai cikal bakal penganti bahan bakar fosil yang tak terbarukan.

Sementara, sudah pasti pula krisis minyak kian gawat karena minyak bumi kian kering di dasar bumiAdapun  Indonesia kelak menjadi penghasil bio energy dari bahan nabati terbesar di  duniaDi tengah desau black campaigne tentang sawit Indonesia, saya terbayang “perang sawit” akan dimenangkan IndonesiaBravo! (***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Civil Society Unjuk Gigi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler