Money Politics: Tilang Saja

Sabtu, 31 Juli 2010 – 01:10 WIB

MESKIPUN Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan duet Ujang Iskandar-Bambang Purwanto (UJI-BP) sebagai pasangan bupati terpilih Pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah, tetapi KPU Kobar malah menetapkan justru pasangan calon Sugianto Sabran-Eko Soemarno (SUKSES) sebagai pasangan terpilihSudah pun MK meminta KPU Kobar membatalkan penetapan itu, namun KPU Kobar bergeming

BACA JUGA: Bangsa Besar versus Cabai

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bertaji?

KisaH ini bermula ketika MK mendiskualifikasi SUKSES karena terbukti melakukan politik uang dalam Pemilukada, sehingga dinilai mempengaruhi peroleh suara


Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun bingung

BACA JUGA: Civil Society Unjuk Gigi

Mendagri Gamawan Fauzi mengaku belum menemukan jawaban atas dilemma tersebut
Tapi seraya menegaskan, bahwa putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat.

Putusan MK tersebut kontroversial

BACA JUGA: Muhammadiyah Bersaing dengan Negara

Dibandingkan dengan putusan sengketa pemilukada Mandailing Natal (Madina), Sumut, yang sama-sama dinyatakan terbukti melakukan politik uang, tapi MK tidak mendiskualifikasi calon yang melakukan kecuranganUntuk kasus Madina, MK "hanya" memerintahkan pemungutan suara ulang.

Pertanyaannya, mengapa di Kobar didiskualifikasi, sedangkan di Madina tidak? Runyamnya, di Madina pun muncul aspirasi agar yang terbukti melakukan money politics juga didiskualifiaksi pulaNah, di Kobar pun ingin diperlakukan seperti di Madina, yakni tak ada yang didiskualifikasi.

Terus terang, ada sesuatu, katakanlah rasa keadilan yang universal itu seolah berbeda antara Kobar dan MadinaPadahal, yang mengadilinya adalah MK jugaAda apa gerangan?

Kasus ini membuktikan bahwa kewenangan MK yang sifatnya final dan mengikat itu membuka peluang untuk disoalPutusan yang tak terbantahkan itu mengisyaratkan bahwa para hakim konstitusi bukanlah dewa-dewi dari kahyangan, yang tak mungkin salah dan keliru.

Semestinya harus ada lembaga yang mengawasi putusan MKSetidaknya untuk mengantisipasi kemungkinan adanya indikasi konspirasi hakim MK, sehingga masyarakat dapat melaporkan agar dibentuk Majelis Kehormatan.

Harus diakui bahwa para hakim konstitusi adalah manusia biasa, meskipun proses seleksinya cukup ketatBayangkan, semua kasus sengketa Pilkada dipegang secara tunggal oleh MK sehingga kasus menjadi menumpuk,  dan setiap kasus harus diselesaikan dalam tempo 14 hari.

Memang, kasus Kobar itu khas dan beratKetua MK,  Mahfud MD berkata bahwa harus diputus demikian, yakni pasangan yang satu dimenangkan karena jumlah pasangan calon hanya ada duaSementara, satu pasangan terbukti melakukan  money politicsTapi mengapa kasus Madina tak didiskualifikasi? Apa karena jumlah pasangannya lebih dari dua?

***
Memang, kontroversialPadahal logikanya, berapapun jumlah pasangan calon yang ada, money politics  tetap saja money politics, dan mestinya tidak “terampunkan.”

Walaupun para hakim konstitusi membantah anggapan bahwa mereka telah melampui kewenangannya, namun hal ini menjadi diskursus menarikApakah kewenangan MK hanya sebatas sengketa hasil akhir penghitungan suara saja, atau juga boleh merembes ke pidana Pilkada, seperti kasus money politics?

Syahdan, UU membatasi kewenangan MK hanya soal hasil akhir penghitungan suara sajaNamun, dalam kasus Kobar ternyata merembes ke kasus money politicsDi sinilah repotnyaSelain mendasarkan pada alat bukti, hakim juga menggunakan "keyakinan hakim" dalam memutus perkaraKonon, begitulah doktrin hakim di seluruh dunia yang juga dianut oleh hakim MK.

Tetapi mengapa keyakinan hakim itu tak diberlakukan untuk kasus Madina? Bahkan, dalam kasus Pilkada Medan juga terbukti bahwa pasangan Rahudman-Eldin dan Sofyan Tan-Nelly Armayanti melakukan kecuranganMengapa pasangan Rahudman tetap dinyatakan sebagai pemenang?

Alasannya, barangkali, karena dalam kasus Medan tak terbuktikan bahwa politik uang itu telah mempengaruhi hasil akhir perolehan suaraArtinya, suara Rahudman-Eldin tetap lebih besar sehingga ditentukan sebagai pemenang.

Lagi pula jika kedua pasangan itu dibatalkan, harus dilakukan Pilkada ulang, dan dengan demikian untuk ketiga kalinyaMungkin, dianggap  Pilkada ronde ketiga itu tidak efisien dan mubazirArtinya, petimbangannya bukan beralasan hukum, melainkan alasan politik dan anggaranNah, ini lagi-lagi sebuah inkonsistensi.

Perkara money politics sudah rahasia umumLogikanya sederhanaUntuk menjadi calon gubernur dibutuhkan dana operasional, katakanlah sekitar Rp 20 miliar dan calon walikota-bupati sekitar Rp 5 miliarDana sebesar itu sesungguhnya untuk apa saja? Benarkah untuk dana politik belaka, atau juga tertampung juga untuk politik uang?

Jamak diketahui bahwa para kandidat juga mengongkosi massa untuk menghadiri rapat umumAlasannya, untuk ongkos transpor dan nasi bungkus, yang bervariasi mulai dari Rp 20.000, Rp 50.000 dan ada yang Rp 100.000Uang itu bagikan secara terselubung maupun terang-teranganBahkan, dibarengi lagi dengan distribusi sembako murah.

Jika semua itu dilakukan karena kebaikan hati, amal sosial yang tanpa pamrih, alangkah mulia hati para kandidat dan tim suksesnyaTapi, ah, tak masuk akalYang realistis sajalah, bahwa semua itu dilakukan agar masyarakat memilih sang calon, yang berarti kriteria dan unsur perbuatan money politics telah terpenuhi.

Barangkali, lebih efisien jika untuk kasus money politics tak perlu diajukan ke MKTermasuk kasus kandidat yang diduga berijazah palsuCukup ditangani di daerah PilkadaBarangkali, juga tak perlu ditangani oleh KPUD dan Panwaslu Daerah, untuk menghindari netralitas yang masih diragukanBarangkali, bolehlah ditangani langsung kepolisian setempat.

Memang akan ada masalah soal waktu, mengingat proses penyelidikan, penyidikan hingga ke penuntutan dan peradilan di meja hgijau memakan waktu lamaApalagi masih ada upaya banding, kasasi dan peninjauan kembaliBisa-bisa putusan itu baru berkekuatan hukum tetap, tapi Pilkada sudah selesai.

Nah, bagaimana jika peradilan money politics dilakukan mengambil referensi dari  “peradilan tilang” lalulintas di lapangan – meski tidak pers sama dan sebangun? Mungkin, sejenis peradilan ad hoc, khusus Pilkada di daerah di bawah Pengadilan Tinggi.   

Yes, tangkap basah saja, dan kemudian jatuhkan hukumanPasal-pasalnya diatur secara runtut, baik mengenai siapa pelaku dan apa hukumannya.

Jika anggota Tim Sukses (timses) yang melakukannya, ia dikenai denda yang besar, dan gugur haknya sebagai timsesJika dilakukan atas perintah sang kandidat, beranikah regulasi yang harus disusun kemudian menetapkan denda besar kepada kandidat, dan dicoret sebagai calon?

Jika justru sang kandidat tertangkap basah melakukannya, tak pelak, ia kontan terkena denda  dan gugur sebagai calonJika yang melakukannya adalah para PNS atau pejabat yang mendukung kandidat tertentu, juga terkena denda besar dan statusnya sebagai PNS menjadi di ujung tombak.

Pokoknya, regulasi tentang TILANG money politics tersebut harus dibuat keras agar menimbulkan efek jeraSelain itu regulasi dimaksud menjiwai semangat antikorupsi yang sekarang digalakkan di Tanah Air.

Jika praktek itu dibiarkan, kualitas Pilkada akan sangat korupOtomatis kandidat terpilih juga bukan karena kualitasMelainkan karena keberanian melakukan money politics yang menyuburkan perbuatan korupsiLogis belaka jika ia terpilih akan berikhtiar mengembalikan modal yang keluar selama PilkadaTentu saja dengan cara korupsi juga.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Teks dan Gambar : Multi Tafsir


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler