Ketika berangkat menuju lokasi demonstrasi Omnibus Law, Edo*, seorang relawan medis asal Bandung tidak mengira situasinya akan menjadi "sangat kacau".
"Begitu gelap, kebrutalan aparat penegak hukum ini mulai," kata Edo.
BACA JUGA: Kini Tumpang Tindih Perizinan dan Aturan Hukum Bisa Diatasi dengan UU Cipta Kerja
"Oknum-oknum aparat penegak hukum beraksi, memukuli semua orang yang berada di lokasi ketika sedang berkumpul. Siapapun itu."
Tidak lama setelahnya, Edo dan seorang relawan lain juga mengalami kekerasan.
BACA JUGA: Hari AIDS Dirayakan Saat Anak Indonesia dengan HIV Masih Kesulitan Obat
"Badan saya tidak terpukul atau apa ya, tapi kaca [ambulan] nyaris pecah dari depan dan belakang," kata Edo kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Dan saya ingat, ada satu pasien dalam mobil [lain] yang ditarik paksa. Saya tidak tahu kondisinya karena pintu belakang ditutup dan pecah."
BACA JUGA: Inggris Lakukan Vaksinasi COVID-19 Minggu Depan, Australia Mulai Maret
Terkejut dan siaga, Edo segera berinisiatif untuk mengunci semua pintu ambulan dan menyelamatkan diri ketika ada kesempatan.
Ratusan kilometer dari Bandung, tepatnya di Surabaya, seorang wartawan CNN Indonesia, Miftah Farid Rahman juga menyaksikan dan mengalami kekerasan verbal dari polisi.
Saat itu, Miftah yang bertugas meliput di Gedung Negara Grahadi hari Kamis (8/10) berinisiatif untuk memotret penangkapan beberapa massa aksi.
Namun, anggota polisi segera menghampirinya.
"Saat memotret, sejumlah anggota polisi mengerubuti saya. Mereka mengancam dan memaksa saya menghapus foto di handphone," kata Miftah. Photo: Foto yang diambil wartawan CNN, Miftah Farid Rahman di sisi selasar timur belakang Gedung Grahadi. Wajah korban telah dikaburkan oleh ABC Indonesia. (Foto: Miftah Farid Rahman)
"Mereka juga mencoba merebut ponsel saya. Salah seorang anggota polisi dengan 'batch' kuning bahkan nyaris membanting HP saya. Beruntung, HP berhasil saya genggam."
Selama meliput, Miftah tetap diikuti polisi dan sempat dikerubuti oleh lima hingga enam anggota polisi muda.
"Hapus fotonya atau mas mau saya pentung!" ujar seorang polisi yang menurut Miftah memiliki patch nama Fatkhur.
Tidak lama setelahnya, Miftah meninggalkan lokasi. 'Gagal menjaga keselamatan masyarakat' Photo: Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di di depan Gedung Grahadi, Surabaya, berakhir ricuh setelah polisi menembakkan gas air mata untuk memukul mundur para pengunjuk rasa yang merusak fasilitas gedung.
(Tribun News, Surya/Ahmad Zaimul Haq)
Amnesty International Indonesia menemukan jika sejumlah anggota polisi di berbagai daerah di Indonesia "telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang mengkhawatirkan".
Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, setelah badan tersebut memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan oleh polisi Indonesia selama aksi unjuk rasa di tanggal 6 Oktober hingga 10 November 2020. Photo: Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mengatakan insiden penolakan Omnibus Law mengingatkannya pada kekerasan brutal terhadap mahasiswa Indonesia di akhir masa rezim Soeharto. (Foto: Koleksi pribadi)
"Ketika para pengunjuk rasa berdemo menuntut pembatalan undang-undang baru ini di banyak kota, sebagian dari mereka direspon dengan kekerasan yang luar biasa, termasuk pemukulan, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya yang menunjukkan pelecehan hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi," ujar Usman.
Sebelumnya, Amnesty International Indonesia telah mendokumentasikan setidaknya 402 korban kekerasan polisi dalam unjuk rasa penolakan Omnibus Law Cipta Kerja di 15 provinsi Indonesia.
Menurut data badan tersebut, unjuk rasa yang dilakukan daring pun ditanggapi dengan intimidasi, dengan 18 orang dari tujuh provinsi ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di periode 7-20 Oktober 2020.
"Insiden ini mengingatkan kita pada kekerasan brutal terhadap mahasiswa Indonesia 22 tahun yang lalu, di akhir masa rezim Soeharto," kata Usman.
"Pihak berwenang harus belajar dari masa lalu bahwa rakyat tidak pernah takut untuk menyuarakan hak mereka." External Link: Instagram Unjuk Rasa
Meski tidak mengalami cedera, kepada ABC Indonesia Edo mengaku trauma karena melihat warga di depan, belakang, kanan, dan kirinya ketika di lokasi "dipukuli".
Selain itu, ia juga mendengar kata-kata kasar yang diarahkan padanya dan mahasiswa yang berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut.
"Ada trauma," kata Edo yang juga adalah seorang aktivis dan pernah turun ke lapangan dalam demonstrasi tahun 1998.
"[Waktu itu] nyaris sekali kaca mobil kami pecah. Kalau misalkan sampai pecah, mungkin muka saya akan sobek. Tidak tahu seperti apa."
Menurut Amnesty International Indonesia, setengah dari 51 video yang terverifikasi berisi bukti penggunaan tongkat polisi, potongan bambu dan kayu, serta bentuk pemukulan lainnya yang "melanggar hukum".
"Insiden ini menunjukkan bahwa metode yang dilakukan oleh polisi gagal menjaga keselamatan masyarakat dan melanggar standar internasional," kata Usman.
"Jika penggunaan tongkat dan peralatan sejenis tidak dapat dihindari, petugas penegak hukum harus secara jelas diperintahkan untuk menghindari terjadinya cedera serius dan tidak menyerang bagian tubuh yang vital." Timpangnya kekuatan antara polisi dan pengunjuk rasa
Tiora Pretty Stephanie, staf divisi hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan bahwa "kekerasan yang dilakukan oleh aparat berada di luar asas proporsionalitas dan subsidiaritas".
"Ketika dalam pengadilan, kita diwajibkan oleh hakim untuk melihat apakah telah seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai dan apakah memang tidak ada cara lain untuk membela kepentingan tersebut," katanya.
"Tapi dalam video, kita bisa lihat bahwa orang-orang yang telanjang tangan, tidak bawa apa-apa, malah dipukuli oleh polisi yang memakai peralatan selengkap itu ... jadi tidak proporsional, tidak seimbang."
Menurutnya, minimnya evaluasi dari penggunaan "kekuatan berlebihan" oleh aparat akan memicu terbentuknya sebuah pola kekerasan dalam mengendalikan massa di masa depan.
"Polisi akan melakukan hal yang sama ketika menangani aksi-aksi berikutnya karena tidak ada evaluasi atau semacam sanksi pada polisi yang melakukan tindakan berlebihan seperti itu," ujarnya.
Habiburokhman, anggota DPR RI Komisi III tidak membenarkan penggunaan kekerasan dalam pengendalian massa dalam unjuk rasa manapun.
Namun menurutnya, minimnya laporan dari para korban menghambat proses hukum yang seharusnya dilakukan.
"Masalahnya selama ini kami mau mendorong penegakan hukum seperti itu tapi susah sekali mendapatkan informasi dan bukti dari para korban ... jadi proses hukumnya tidak berjalan," katanya. 'Perlunya reformasi institusi polisi'
Pretty dari KontraS menekankan pentingnya menyimpan catatan ketika menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh aparat di lapangan.
"Ada dua hal yang perlu diperhatikan dan dicatat. Yang pertama adalah tempatnya di mana, dan kedua adalah waktunya kapan," katanya. Photo: Tiora Pretty Stephanie mengatakan perlu adanya evaluasi soal penggunaan kekuatan yang digunakan aparat hukum. (Koleksi pribadi)
"Ini penting karena polisi memiliki data siapa yang mereka kirim ke tempat tersebut, tim mana yang mereka kirim ke jalan apa, dan ketika sudah tahu jam dan tempatnya, bisa melacak siapa saja nama orang dalam tim ini."
Di sisi lain, ia melihat pentingnya reformasi institusi polisi untuk mencegah terulangnya kembali tindakan kekerasan oleh polisi dalam unjuk rasa.
"Kalau misalnya penanganan aksi ini di mayoritas tempat adalah kekerasan yang dilakukan banyak aparat di mana-mana, ini bukan membicarakan aparat lagi," ujarnya.
"Ini seharusnya sudah membicarakan satu institusi kepolisian, dan bagaimana pengawasan atasan, upaya agresif apa yang sudah dilakukan, dan apakah mereka mendapatkan sanksi untuk hal itu."
*Edo adalah bukan nama sebenarnya. Ia telah minta identitasnya dirahasiakan untuk alasan keamanan.
Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyandang Difabel di Indonesia Masih Merasa Dianggap Beban Masyarakat