Pada tahun 2009, Ayu Oktariani untuk pertama kalinya mengetahui bahwa ia terinfeksi 'human immunodeficiency virus' atau HIV.
Ayu memeriksakan diri setelah mengetahui suaminya, yang pernah menjadi pecandu narkoba suntik, mengidap HIV dan sudah memasuki stadium AIDS.
BACA JUGA: Inggris Lakukan Vaksinasi COVID-19 Minggu Depan, Australia Mulai Maret
Hanya dua minggu berselang setelah dinyatakan positif HIV, suaminya meninggal dunia dan sejak saat itu Ayu dan putrinya harus menghadapi virus yang ada di tubuh mereka juga pandangan negatif dari masyarakat.
Sebelas tahun berlalu, Ayu menilai kondisi di Indonesia dalam hal ketersediaan obat antiretroviral, atau ARV yang rutin dikonsumsinya sejak akhir 2009 sudah membaik dibanding dulu meski progresnya sangat lambat.
BACA JUGA: Penyandang Difabel di Indonesia Masih Merasa Dianggap Beban Masyarakat
"Membaiknya tapi termasuk sangat lamban, maksudnya kalau dilihat dari jenis [obat]nya, apalagi setelah aku kenal teman-teman ODHA di negara lain, mereka punya pilihan obat yang sangat beragam," tutur perempuan yang kini aktif di Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), sebuah jaringan nasional pertama bagi perempuan Indonesia dengan HIV dan terdampak AIDS.
"Kalau di Indonesia, begitu sudah positif, pilihannya cuma [sebut saja] paket A, paket B. Nggak ada pilihan yang lain, dan itupun bagi beberapa orang memberikan efek samping yang sangat nggak enak," tambah Ayu.
BACA JUGA: Tidak Disangka, Ini 3 Manfaat Membakar Daun Salam untuk Kesehatan
Pandemi dan dampaknya bagi orang dengan HIV/AIDS Photo: Obat-obat yang harus secara rutin dikonsumsi Ayu. Pada awal pandemi, beberapa jenis obat sempat sulit didapat. (Foto: Ayu Oktariani)
Menurut data Kemenkes terkait penularan HIV/AIDS dan PIMS pada triwulan II Tahun 2020, jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia diperkirakan mencapai 543.100 orang.
Dari jumlah tersebut baru, sebanyak 398.784 orang yang telah terdata di mana di antaranya hanya 205.945 orang yang mengonsumsi obat antiretroviral (ARV).
Di awal masa pandemi COVID-19 di Indonesia, Ayu mengaku sempat khawatir menyusul pemberitaan stok ARV yang kosong di beberapa tempat.
"Dibanding bulan Maret-April lalu, [di] penghujung tahun ini ada perubahan ... karena akhirnya si obat datang dan [stoknya] lebih pasti dan lebih stabil."
"Tetapi beberapa waktu yang lalu, salah satu jenis obat untuk anakku sempat kosong dan membuat panik."
Natasya Sitorus, manajer advokasi Lentera Anak Pelangi, yayasan yang memberikan dukungan kesehatan, psikososial, hingga advokasi kepada anak-anak yang hidup dengan HIV, membenarkan hal ini.
"Memang berangsur normal, tapi tetap masih ada satu jenis obat ARV yang menurut data Kemenkes tersedia, tapi nyatanya di Jakarta nggak tersedia, sehingga sebagian besar anak-anak yang harusnya minum dosis anak terpaksa minum obat yang untuk dewasa," ujar Tasya.
Tasya mengatakan pemberlakukan PSBB yang sempat diberlakukan Pemprov DKI Jakarta menyebabkan anak-anak tidak bisa ke rumah sakit untuk mengambil obat mereka.
Sebagai gantinya, ada orang-orang yang mengambil risiko untuk ke rumah sakit untuk mengambil obat supaya anak-anak dengan HIV bisa terus minum obat.
"Selain itu, kondisi fisik anak-anak dengan HIV selama masa pandemi ini menjadi kurang terpantau. Biasanya kalau mereka datang ke rumah sakit setiap bulan, dokter bisa mengecek langsung, misalnya kalau ada benjolan, apakah itu adalah indikasi adanya infeksi lain." Photo: Ayu Oktariani yang hidup dengan HIV selama 11 tahun terakhir meminta pemerintah memenuhi komitmennya sendiri. (Koleksi Pribadi.)
Terkait akses ke rumah sakit, Ayu juga mengaku kondisi saat ini sudah berbeda dengan pada awal masa pandemi.
"Kami sekarang sudah boleh datang ke rumah sakit, lima bulan yang lalu kami nggak boleh datang kecuali benar-benar sakit, misalnya teman-teman yang ada di fase AIDS dan sebagainya."
"Kalau nggak ada keluhan atau sakit, ada petugas pendamping sebaya yang akan mengantar obat-obat kami, yang akhirnya menjadi korban karena terpapar COVID-19." Tak bisa berkonsultasi soal psikologi
Meskipun sekarang orang dengan HIV sudah boleh mengambil obat ke rumah sakit, Ayu menuturkan mereka tidak diperbolehkan untuk berkonsultasi langsung dengan dokter jika tidak ada keluhan.
"Kami enggak sampai masuk ke klinik dokter. Di depan sudah ada loket, jadi cuma daftar, ditanya ada keluhan atau enggak, kalau enggak ya langsung ambil obat."
Meski bertujuan baik untuk tidak menciptakan kerumunan dan meminimalisasi kontak, hal ini disayangkan oleh Ayu, karena menurutnya ada orang-orang yang juga punya kebutuhan psikologis untuk bertemu dokternya.
"Selama ini kalau fisiknya nggak apa-apa, anggapannya orang itu ya baik-baik saja. Padahal mereka mungkin butuh ngobrol sama dokter terkait mental health issue-nya," kata Ayu. Photo: Kegiatan bersama anak-anak dengan HIV yang dilakukan Lentera Anak Pelangi seperti ini tidak bisa dilakukan selama pandemi. (Foto: Lentera Anak Pelangi)
Kebutuhan psikologis orang dengan HIV ini juga menjadi sorotan Tasya.
Karena pandemi, menurutnya, akses mendampingi anak di rumah sakit yang biasa dilakukan oleh Lentera Anak Pelangi menjadi terhambat.
"Di saat anak sakit, dukungan psikologis biasanya juga diperlukan dan dilakukan oleh teman-teman dari divisi psikososial yang mengajak mereka ngobrol, membawa buku gambar, mainan, atau sekedar mendengarkan keluh kesah dari Ibu yang sudah berminggu-minggu menunggui anaknya di rumah sakit, misalnya."
"Selama COVID-19 ini kami tidak bisa berbuat banyak untuk mereka yang sedang dirawat di rumah sakit. Bahkan ketika meninggal, meskipun bukan karena COVID, kami nggak bisa hadir dan memberi dukungan," tutur Tasya Peringatan Hari Aids hanya 'Selebrasi tanpa hati'
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan upaya penanganan HIV/AIDS tidak boleh luput dari perhatian di masa pandemi COVID-19.
Hal itu disampaikan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi pada hari AIDS sedunia, Selasa kemarin (01/12).
Tapi Tasya dan Ayu sama-sama menyayangkan cara Pemerintah Indonesia "merayakan" hari AIDS sedunia pekan ini yang diperingati dengan rangkaian parade memecahkan rekor MURI sebagai acara terbesar, terpanjang, dan terunik dalam rangka 10 tahun menuju akhir AIDS 2030. Photo: Natasya Sitorus dari Lentera Anak Pelangi menyayangkan peringatan hari AIDS Sedunia di Indonesia oleh Kemenkes yang disebutnya sebagai 'selebrasi tanpa hati'. (Koleksi Pribadi)
"Yang disayangkan adalah ketika Kementerian Kesehatan dalam hal ini sebagai Pemerintah Indonesia memilih untuk melakukan selebrasi tanpa hati," kata Tasya.
"Karena menurut kami ... hari AIDS sedunia itu bukan untuk diselebrasikan, tatapi untuk diperingati. Artinya tidak perlu ada pemecahan rekor MURI dengan melakukan berbagai kegiatan online di 34 provinsi dan lain sebagainya, tapi lupa untuk melibatkan teman-teman yang HIV dan komunitas, serta mengingat mereka."
Apalagi, tema hari Aids sedunia yang diusung Indonesia tahun ini adalah "Perkuat Kolaborasi, Tingkatkan Solidaritas Antar Pemangku Kepentingan untuk Menuju 10 Tahun Akhiri AIDS di 2030".
Tasya menambahkan, hari AIDS sedunia itu selayaknya momentum untuk merefleksikan kembali perjuangan perjalanan selama tiga dekade HIV di Indonesia, apalagi masih banyak anak-anak dengan HIV masih susah memperoleh obat.
"Di tengah-tengah selebrasi yang gegap gempita, masih ada anak-anak dengan HIV yang kesulitan minum obat. Salah satu dampingan kami, karena salah satu obat itu tidak tersedia, mereka harus minum obat dewasa yang digerus sendiri," tambah Tasya.
Sementara Ayu berharap pemerintah memegang komitmen dan bersungguh-sungguh dalam menangani HIV/AIDS di Indonesia.
"Selama 30 tahun ini menurutku, HIV masih selalu business as usual [dilakukan seperti biasa]. Aku tidak yakin pemerintah benar-benar punya hati sama kami ini."
Ayu mencontohkan salah satu ketidaksungguhan pemerintah dapat dilihat dari kebijakan dan program yang tidak sinkron dalam pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Anak, padahal kebijakan tersebut diadaptasi dari lembaga kesehatan dunia, WHO.
"Di satu sisi kami sudah berusaha mengedukasi mereka yang dengan HIV untuk semakin aware [peduli] dengan perencanaan kehamilan, tapi di sisi yang lain, ketika mereka datang ke layanan kesehatan dan mengutarakan rencana untuk hamil, masih banyak sekali dokter yang tidak mengizinkan mereka hamil."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Awas, Ini 7 Efek Samping Konsumsi Daun Singkong, Salah Satunya Meningkatkan Tekanan Darah