Bulan Sura, Seluruh Desa Gelar Wayang Kulit

Rabu, 26 Oktober 2016 – 00:17 WIB
LESTARI: Camat Kroya serahkan wayang kepada Dalang Sikin. Foto: Daryanto/Radar Banyumas/JPNN.com

jpnn.com - SELAMATAN Bumi atau juga dikenal dengan sebutan Memetri Bumi menjadi salah satu kegiatan budaya untuk melestarikan wayang kulit. 

Hal ini karena hampir semua desa di Kabupaten Cilacap masih menggelar memetri bumi setiap bulan Sura dalam kalender Jawa atau Muharam dalam kalender Islam.

BACA JUGA: Beginilah Nikmatnya Menaiki Sleeper Bus Pertama di Indonesia

DARYANTO, Cilacap

Bulan Muharam membuat napas para dalang menjadi semakin lega karena banyaknya panggung yang harus dilakoni. 

BACA JUGA: Ibu Desy, Menjadikan Matematika Bukan Pelajaran Horor

Bahkan sekarang banyak muncul dalang-dalang baru dengan beragam kreasi untuk menarik penonoton.

Hal itu diakui Camat Kroya Drs Muhamad Najib yang mengatakan jika 17 desa yang ada di Kecamatan Kroya masing-masing menggelar pegelaran wayang kulit semalam suntuk untuk mengisi memtri bumi.

BACA JUGA: Dulu Dicekoki, Kini Dijuluki Gadis Robusta

“Ya tentu ini menjadi berkah tersendiri bagi seniman wayang khususnya para dalang yang masih eksis untuk melestarikan bidaya yang satu ini,” kata dia.

Dikatakan dia, rata-rata setiap tahun untuk kegiatan budaya setiap desa menganggarkan Rp 30 juta melalui kepanitiaan tasyakuran desa. 

Dana tersebut ada yang berasal dari Kas desa dan sebagian lagi merupakan iuran warga.

“Ada berbagai cara yang dibuat oleh desa. memang ada yang semua dananya berasal dari kas desa sehingga tidak menarik iuran dari warga,” bebernya.

Namun ada juga yang sebagian saja. Bahkan ada juga yang semuanya berasal dari masyarakat. 

Semua itu tergantung kemampuan desa. Untuk desa yang kas desanya besar bisa semuanya diambilkan dari kas desa.

“Namun bagi yang kecil tentu harus menarik iuran warga. karena itu sudah menjadi tradisi yang masih pelihara, maka hal tersebut dasarnya adalah musyawarah desa,” kata dia.

Dia pun berharap agar pagelaran wayang kulit tetap pada upaya untuk menjadikan pagelaran budaya tersebut sebagai perekat masyarakat. 

Sebab kegiatan budaya memang tidak bisa diukur dengan manfaat langsung.

“Namun semua itu sebagai bentuk menjaga kearifan lokal. Sebab kearifan lokal juga mempunyai peran yang strategis dalam menciptakan kedamaian di masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu menurut Kepala Desa Pucung Lor Adiran, saat ini tidak banyak lagi masyarakat yang menonton pagelaran wayang kulit hingga usai. 

Alasannya karena faktor stamina. Namun antusiasme masyarakat masih tergolong tinggi.

“Kami hanya mengikuti tradisi yang sudah berjalan. dan itu berdampak baik bagi psikologis masyarakat,” ujar dia. (*/ttg/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengin si Mantan Kembali Menatap? Rasakan Pedasnya Terjebak Nostalgia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler