Bung, Ayok Ke Palangka...

Kamis, 19 Januari 2017 – 16:58 WIB
Bung Karno dan Tjilik Riwut. Foto: Public Domain.

jpnn.com - PESAWAT mendarat mulus di Bandar Udara Tjilik Riwut, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Nama bandara ini melambungkan nostalgia pada masa-masa ketika Bung Karno berencana memindahkan ibukota dari Jakarta ke Palangka Raya.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Tjilik Riwut dari Bukit Batu

Diiringi sejumlah perahu, Presiden Soekarno mengarungi Kayahan, sungai besar yang mengaliri Borneo tengah. 

Si Bung hendak meletakkan batu pertama Palangkaraya, ibukota Propinsi Kalimantan Tengah yang baru. Hari itu, Selasa, 17 Juli 1957, wilayah tersebut masih bagian Kalimantan Selatan. Ibukotanya Banjarmasin. 

BACA JUGA: Alkisah Tjilik Riwut

Dalam rombongan itu, Soekarno menyertakan sejumlah wartawan dari Jakarta. Dan kisah ini pun diulas dalam laporan berseri surat kabar terkemuka ibukota. Berikut adegannya bila disarikan…

Selama 36 jam Bung Karno memudiki sungai itu. Orang-orang kampung keluar dengan biduk masing-masing untuk menyambut presiden. 

BACA JUGA: Sejarah Jalur Rempah Nusantara dalam Dunia Fashion

Sambil memekik "merdeka!", "merdeka!" rakyat antusias menyambut Bung Karno yang selama ini hanya mereka lihat di potret yang dijual di perahu-perahu.

"Bisa dibayangkan," tulis M.H. Munawar dalam Palangkaraya Waktu itu Dieja Palangkaraya, termuat dalam surat kabar Merdeka, edisi 23-27 Juli 1957, "betapa luar biasa adat istiadat suku Dayak itu yang mencerminkan keaslian, kemurnian, dan keluaguan…"

Ketika mendekati pintu gerbang pedalaman Dayak di Kuala Kapuas, bunyi genderang telah sampai di telinga, sebelum rombongan selesai melingkari belokan terakhir.

Sejurus kemudian, prajurit-prajurit Dayak berpakaian menakjubkan melingkarkan biduk mereka di depan kapal yang membawa Bung Karno. 

Ketika presiden menjejakkan kakinya di pantai, orang-orang mempersilakannya naik joli yang indah. Si Bung menolak. Sebaliknya ia letakkan bendera merah putih di atas joli. Dan lalu bergabung dengan orang banyak mengobarkan bendera itu.

"Soekarno mengatakan kepada orang banyak itu, bahwa semangat proklamasi 45 masih hidup di Kalimantan," tulis Gerry van Klinken dalam Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan, termuat dalam buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an.

"Dan bahwa orang-orang asing yang mengatakan kalimantan ingin memisahkan diri terbukti salah," sambung Bung Karno, sebagaimana dicuplik Gerry.

Kisah senada juga diceritakan oleh Sabran Ahmad, saksi mata peristiwa itu. 

"Soekarno menumpang kapal selama dua hari dua malam menyusuri sungai dari Banjarmasin," katanya sebagaimana ditulis R. Masri Sareb Putra dalam buku 101 Tokoh Dayak yang Mengukir Sejarah.

Sabran yang di kemudian hari menjadi Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah mengenang, mereka bertolak dari Kabupaten Kapuas menuju Palangkaraya untuk merajut masa depan yang lebih baik. 

"Ketika itu Palangkaraya masihlah sebuah kampung kecil bernama Pahandut yang dikelilingi rimba. Dengan mata kepala sendiri, Sabran menyaksikan Sukarno mengunjungi ranah Dayak dengan usaha dan perjuangan yang melelahkan," tulis Masri.

Rabu, 17 Juli 1957... 

Kampung kecil di tengah rimba raya berpenduduk lebih kurang 900 jiwa itu bernama Pahandut. Rakyat berkumpul di sekitar panggung yang telah disiapkan. 

Soekarno meletakkan batu pertama pembangunan Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah yang secara administrasi terbentuk pada 23 Mei 1957 melalui Undang-Undang Darurat No. 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swantara Tingkat I. 

Di lokasi itu kini berdiri Tugu Soekarno, di Jl. S. Parman, depan kantor DPRD Propinsi Kalimantan Tengah.

Hari itu proklamator berpidato, Palangkaraya dibangun bukan sekadar untuk ibukota Kalimantan Tengah. Tapi ibukota Indonesia. Bahkan, ibukota Maphilindo; federasi Uni Indonesia, dengan Malaya dan Filiphina yang ia bayangkan. 

"Jadikanlah kota Palangkaraya sebagai modal dan model," serunya seraya menggambarkan konsep transportasi sungai dan jalan raya. "Jakarta punya Ciliwung, Palangkaraya punya Sungai Kahayan." 

Sebagaimana sungai-sungai di Eropa, presiden pertama Indonesia memimpikan Kahayan jadi tempat yang cantik untuk bersantai menikmati keindahan. 

"Janganlah membangun bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Lahan di sepanjang tepi sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," paparnya.

Makanya, persis di belakang Tugu Soekarno, ada sebuah dermaga kapal wisata susur Sungai Kahayan, meski pun kini sepi. 

Dari situ nampak juga Jembatan Kahayan, yang kini menjadi semacam simbol kebanggan Palangkaraya. Panjangnya 640 meter. Menghubungkan Palangkaraya dengan Kabupaten Barito Selatan. Kalau yang ini dibangun pada 1995 dan selesai 2001.

Oiya, yang mengatur kedatangan dan penyambutan Soekarno ke Palangkaraya adalah Tjilik Riwut, lakon yang pada 17 Desember 1946 mewakili 142 suku Dayak mengangkat sumpah setia bergabung dengan Indonesia di hadapan Presiden Soekarno.

Tjilik Riwut pun diangkat menjadi Gubernur Kalimantan Tengah yang pertama.

Nah, untuk mewujudkan mimpinya, "Soekarno berhasil meyakinkan Rusia untuk membangun jalan di sana. Jalan menembus hutan rimba," tulis Gerry van Klinken.

Para insinyur Rusia membangun jalan raya di lahan gambut. Lancar.

15 Desember 1958. Gubernur Tjilik Riwut menyerahkan Piagam Palangkaraya kepada Pemerintah Pusat.

Hari itu, dia menjanjikan "bahwa pada 17 Agustus 1959, Palangkaraya yang pada saat peletakan batu pertama masih berupa hutan rimba belantara, telah siap menjadi ibukota sebuah propinsi," tulis Nila Riwut dalam Tjilik Riwut, My Father.

Tjilik Riwut langsung turun tangan. Tak hanya memerintah, ia turut bekerja bersama rakyat. Bahu membahu membangun jalan,  perkantoran, perumahan, bandar udara dan sarana prasarana lainnya. Alhasil, janji pun ditepati.

Senarai kisah di atas, dokumentasinya tersimpan di Museum Balanga, Jl. Tjilik Riwut, Palangkaraya. 

Berdasarkan info dari museum, diketahui pula Palangkaraya berasal dari kata Utus Palangka Bulau--identitas tua kaum setempat, sebelum para ilmuwan Barat melabeli mereka dengan sebutan Dayak. 

Secara harafiah, Utus Palangka Batu berarti utusan dari dunia langit. 

Soekarno tak main-main dengan rencananya. 

"Dua kali Bung Karno mengunjungi Palangka Raya, untuk melihat langsung potensi kota itu untuk jadi pusat pemerintahan," tulis Wijanarka dalam buku Soekarno dan Disain Rencana Ibukota RI di Palangkaraya.

Namun apa boleh buat. Rencana tinggal rencana. Seiring lengsernya Soekarno, haluan pun berubah.

Dan Tjilik Riwut sendiri mengakhiri masa jabatannya sebagai Gubernur Kalimantan Tengah pada tanggal 17 Februari 1967. (wow/jpnn)

Berita terkait: 

Alkisah Tjilik Riwut

Tjilik Riwut Dari Bukit Batu 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebelum Presiden, Soeharto Hampir Jadi Sopir Taksi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler