jpnn.com - CERITA ini terjadi ketika Bung Hatta sudah pecah kongsi dengan Bung Karno. Kisaran 1966-1967. Meramal Soekarno bakal lengser, Hatta bikin partai. Tapi, Soeharto malah…
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Sarinah, Hikayat Departement Store Pertama di Indonesia
Masa-masa itu, Bung Hatta yang sudah tak lagi jadi Wakil Presiden Republik Indonesia kerap disambangi anak-anak muda. Terutama dari kelompok Islam.
Mulai dari Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hingga Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Bahkan ada juga yang dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Nahdlatul Ulama (NU).
BACA JUGA: Inilah Sajak Perang Oom Prabowo Subianto
Pertemuan demi pertemuan bermuara pada ide mendirikan partai politik. Partai itu diberi nama, “Partai Demokrasi Islam Indonesia, disingkat PDII,” tulis Deliar Noer, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), yang rutin menghadiri pertemuan itu dalam Hatta dan Partai Islam, termuat dalam buku Mengapa Partai Islam Kalah?
Bung Hatta langsung yang turun tangan menyusun Anggaran Dasar PDII. Begitu selesai, Hatta membicarakan lagi konsep yang disusunnya itu bersama-sama. “Ini dilakukan berkali-kali,” kenang Deliar Noer.
BACA JUGA: Kepala Intel Inilah yang Antar Tan Malaka Jemput Naskah Madilog
Menurut dia, Hatta sangat tertib dan jeli dalam mempergunakan kalimat, kata, malah juga titik koma.
Tujuan PDII, sebagaimana disampaikan Bung Hatta, untuk mendidik umat Islam di Indonesia bagaimana sebaiknya berpartai dengan asas Islam dalam kehidupan demokrasi yang bertanggungjawab di negara yang berdasarkan Pancasila.
Bagi dia, PDII merupakan antitoxine-obat pelawan racun-yang segar dan menyegarkan dalam suasana yang kusut masai pada waktu itu.
Kenapa PDII?
Entah pesona apa yang ada pada lelaki kelahiran Bukittinggi, 12 Agustus 1902 ini, baru saja diumumkan PDII langsung mendapat sambutan. Beberapa tokoh agama di Jakarta, seperti KH Abdullah Syafei, Ustadz Jamalulail dan lainnya menyatakan bergabung dengan PDII.
Tokoh Masyumi seperti Anwar Harjono juga menyatakan bergabung dengan partai-nya Bung Hatta.
Satu persatu cabang PDII pun bermunculan. Sumatera Utara, Sumatera Barat, Palembang, Sulawesi Selatan dan “sejumlah kota universitas di Jawa sudah ada persiapan,” ungkap Deliar Noer.
“Pilihan pada PDII, antara lain karena PDII telah mencita-citakan dirinya sebagai partai kader. Sehingga sesungguhnya lebih sesuai dengan cita-cita HMI,” tulis Sulastomo, ketua HMI 1960-1966, dalam buku Transisi Orde Lama ke Orde Baru.
Sejumlah dedengkot HMI memang turut menggagas kelahiran PDII. Di samping Sulastomo dan Deliar Noer, ada Ismail Hasan Matareum, Norman Razak serta banyak lagi bila disebut satu persatu.
Pada paruh pertama 1967 Bung Karno lengser. Ini sesuai dengan apa yang diperkirakan Bung Hatta. Persiapan launching PDII sudah pula dimatangkan. Tapi rencana tinggal rencana. Penguasa baru rupanya tidak menghendaki kelahiran PDII.
“Presiden Soeharto menjelaskan kepada saya waktu itu, bahwa walaupun maksudnya baik, tetapi MPRS telah memutuskan penyederhanaan kepartaian di Indonesia, dan karena itu tidak dapat menyetujui pembentukan partai baru itu. Bagi kita tentunya tidak lain harus menerima keputusan itu,” ungkap Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab.
Sang proklamator meminta pendukung PDII bersabar. Dalam suasana tahun-tahun permulaan Orde Baru, Hatta mempertimbangkan ketenangan dan kerukunan.
Sekian tahun kemudian….
Suatu hari pada 1980. Deliar Noer bersama Nurcholish Madjid di Chicago, Amerika Serikat. Sambil menikmati pemandangan kota itu, Cak Nur berujar, “Kalau sekiranya Partai Demokrasi Islam Indonesia yang dipimpin Hatta jadi berdiri, keadaan di tanah air agaknya tidak separah yang kita hadapi.”
Ini yang namanya Bung Hatta punya rencana. Soeharto jua yang menentukan. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kawanan Tan Malaka dan Aksi Penggelapan 19 September
Redaktur : Tim Redaksi