Inilah Sajak Perang Oom Prabowo Subianto

Minggu, 18 September 2016 – 15:55 WIB
Subianto Djojohadikusumo dan adiknya Sujono Djojohadikusumo. Foto: Public Domain.

jpnn.com - PUISI itu terukir di Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang. Bukan sekadar untaian kata tanpa makna. Ia menyimpan segudang cerita.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Kepala Intel Inilah yang Antar Tan Malaka Jemput Naskah Madilog

Subianto Djojohadikusumo seorang penyair. Usianya 20 tahun ketika Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Tumbuh dalam lingkungan keluarga terdidik. Ayahnya Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Nasional Indonesia. Kakaknya Sumitro Djojohadikusumo, delegasi Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB).

BACA JUGA: Kawanan Tan Malaka dan Aksi Penggelapan 19 September

Menyongsong proklamasi, bersama para pemuda lainnya sang penyair terjun ke kancah revolusi. Menjadi serdadu berpangkat Kapten. Berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Puisi Pertempuran Terakhir

BACA JUGA: Pariaman dan Skandal Kemaritiman Paling Heboh Abad 16

25 Januari 1946. Ba’da solat Jumat, Kapten Soebianto  bersama Letnan Soetopo dan Direktur Akademi Militer Tangerang (AMT) Mayor Daan Mogot memimpin aksi muslihat melucuti serdadu Jepang.

Mereka mendandani empat orang eks Gurka--tentara bayaran Inggris dari India--yang membelot ke republik dengan uniform ala tentara Inggris. 

Lalu, bersama-sama dengan para taruna AMT, berangkat dari markas Resimen IV TRI menuju markas Jepang di desa Lengkong, Serpong, Tangerang, dengan tiga truk dan satu jip militer.

Keberangkatan siang itu, sebagaimana ditulis Moehkardi dalam buku Pendidikan Perwira TNI AD di Masa Revolusi, diliputi suasana optimis.

Sebenarnya ini adalah aksi tipu-tipu. Berkedok operasi gabungan TKR-Sekutu yang akan melucuti Jepang.  

Sesampai di tujuan, Daan Mogot berunding dengan Kapten Abe, pimpinan tentara Jepang di markas Lengkong. 

Perundingan berlangsung baik. Sebab, mereka sudah saling kenal. Daan Mogot didampingi Alex Sajoeti, taruna AMT yang mahir berbahasa Jepang.

D luar ruang runding, Soebianto dan Soetopo mengerahkan para taruna AMT masuk barak. Sekira 40 serdadu Jepang dijejer di lapangan. Senjata mereka dikumpulkan. 

Sampai sejauh ini, para “saudara tua” termakan muslihat. 

“Mereka percaya bahwa yang sedang bertugas adalah operasi gabungan TKR-Sekutu,” tulis buku Kemal Idris--Bertarung dalam Revolusi, karya Rosihan Anwar, Ramadhan KH, Ray Rizal, Din Madjid.

Sejurus kemudian…

Sore yang tenang tiba-tiba gaduh. Entah dari mana arahnya, terdengar rentetan senapan. 

Serdadu Jepang yang sudah terlatih, segera merebut senjata. Terjadi baku tembak hingga “perkelahian sangkur satu lawan satu,” tutur Moehkardi.

Pasukan republik tak mampu mengalahkan pasukan saudara tua. 

Alhasil, di pihak republik, tiga orang perwira yang memimpin aksi itu dan 33 orang taruna AMT gugur. Tiga puluhan orang lainnya ditawan. Mereka dipaksa menggali dan mengubur kawan-kawannya.    

Sekadar catatan, aksi ini direncanakan dan dilaksanakan oleh anak-anak muda. Daan Mogot bahkan berusia 17 tahun. 

Empat hari kemudian diadakan pemakaman ulang. “29 Januari, saya spesial datang ke situ sebagai wartawan harian Merdeka,” kenang Rosihan Anwar. 

Menurut dia, hari itu banyak pejabat hadir. Ada Haji Agus Salim, yang anaknya Sjewket Salim—taruna AMT gugur. 

Nah, saat itulah dari kantong baju jasad Subianto ditemukan selarik puisi karya Henriette Roland Holst—penyair perempuan Belanda sahabat Bung Hatta. 

wij zijn de bouwers van de temple niet/wij zijn enkel de sjouwers van de stenen/wij zijn het geslacht dat moest vergaan/opdat een betere oprijze uit onze graven

Terjemahan bebasnya: 

"…kami bukan pembangun candi/kami hanya pengangkut batu/kamilah angkatan yang mesti musnah/agar menjelma angkatan baru/di atas kuburan kami telah sempurna.”

Margono Djojohadikusumo yang hadir dalam kesempatan itu berkisah, anaknya (Subianto) memang punya kebiasaan mengarang dan mengumpulkan berbagai macam sajak dari segenap penjuru dunia. 

“Seluruh sajak tersebut merupakan refleksi dari falsafah kehidupan Subianto selama ini,” kata Margono yang kehilangan dua putranya dalam peristiwa itu. Selain Subianto yang kala itu berusia 21 tahun, juga Soejono Djojohadikusumo yang berusia 16 tahun.

Kini, puisi yang dikantongi Oom-nya Prabowo Subianto itu terukir di pintu gerbang Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang. Ia mencerminkan pandangan jiwa, suasana batin anak muda di zaman perang. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Krong-krong…Crong-crong, Lahirlah Musik Keroncong


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler