jpnn.com, LABUAN BAJO - Ketua Bidang Kehormatan PDI Perjuangan Komarudin Watubun mengatakan, ada dokumen yang merupakan riset sejak ratusan tahun lalu mengenai Maluku.
Salah satunya produksi, ekstraksi, dan perdagangan rempah-rempah selalu menjadi tanda alam atas lahir dan redupnya kerajaan-kerajaan serta peradaban di dunia.
BACA JUGA: 5 Pesan Habib Rizieq Untuk PDI Perjuangan
Penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 itu menambahkan, dalam riset dari sejumlah bukti arkeologis menyebutkan bahwa pada rempah-rempah asal Maluku sudah diperjualbelikan di Persia pada abad ke-17 pra-Masehi.
“Yunani pada pra-Masehi mencatat kemajuan sains, filsafat, dan teknologi ketika konsumsi rempah-rempah sangat besar,” kata Komarudin di Labuan Bajo, Jumat (4/5).
BACA JUGA: Surga Tersembunyi di Kepulauan Kei Itu Bernama Pulau Baer
Dia menambahkan, kekaisaran Romawi pra-Masehi juga mencatat konsumsi rempah sangat besar yang dipasok dari India.
“Bahkan, pada era Firaun Mesir pra-Masehi pada masa itu Maluku disebut jazirat-al-mulk,” tambah Komarudin.
BACA JUGA: Ketum Sudah Ganti, Elektabilitas Golkar Masih Biasa Aja
Komar menambahkan, kebangkitan Eropa ditandai dengan konsumsi rempah yang sangat besar pada abad 15-18 M.
Pada masa itu, sambung Komarudin, lahir Revolusi Industri di Eropa Barat.
Awalnya, Portugal merintis pembangunan benteng dan pelabuhan maritim dari Azores (Atlantik) pada 1427 hingga benteng Serao (Maluku) pada 1527 dan Nagasaki (Jepang) pertengahan abad 16 M.
Ke-40 benteng dan pelabuhan yang dibangun oleh Portugal saat itu menjadi cikal-bakal peradaban maritim berbasis rempah hingga awal abad 21.
“Kalau dokumen ini tidak dibukukan, maka hilanglah sejarah kebesaran kita”, ujar pria 50 tahun itu.
Dia menjelaskan, buku yang ditulisnya dengan bantuan beberapa rekan, termasuk putra NTT Yosef Berty Fernandez, tidak hanya berbicara tentang masa lalu.
Menurut dia, buku itu juga bisa memberikan bekal dalam mempersiapkan masa depan.
Pria yang karib disapa Bung Komar itu menjelaskan, ada tiga poin dalam melihat pergeseran masa depan.
Pertama, pergeseran pusat gravitasi ekonomi sejak 1980-an dari Atlantik ke Asia Pasifik dengan perkiraan zona antara India-Tiongkok pada 2045.
Tiongkok merespons tren ini dengan strategi Jalur Sutera sejak 2013.
Sementara itu, Amerika Serikat merespons dengan menggeser kekuatan maritim dari Eropa ke Asia Pasifik.
Di sisi lain, Jepang-India merancang koridor laut Asia-Afrika sejak 2016.
Kedua, bagi Indonesia, alinea keempat UUD 1945 menugaskan pemerintah ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bangsa Indonesia menghendaki tata-dunia yang damai, adil, dan ramah lingkungan.
Ketiga, zona Maluku dan sekitarnya memiliki akar dan nilai sejarah ratusan bahkan ribuan tahun membentuk peradaban dunia, kelahiran ekonomi global, pasar saham, asuransi, kompas navigasi, khususnya peradaban maritim melalui hasil rempah-rempah.
Nilai sejarah dan strategis itu kini perlu direvitalisasi, dibangun untuk tata dunia yang adil, damai, dan ramahlingkungan, serta tercapainya cita-cita rakyat Indonesia bersatu, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Bung Komar menambahkan, Maluku dan berbagai kawasan di sekitarnya di Indonesia Timur yang memiliki nilai kesejarahan panjang sekaligus nilai strategis selama lebih dari 800 tahun baik di level global maupun regional Asia harus memiliki peran strategis dan menjadi penentu daya saing Indonesia.
“Posisi geografis, alam menjadi nilai lebih. Idealnya sumber daya manusianya juga harus mampu bersaing,” tambah anggota DPR RI itu.
Dia mencontohkan di perairan Maluku ada 25 titik blok migas. Sebanyak 20 di antaranya sudah dieksplorasi, salah satunya Blok Masela.
"Itulah sumber daya alam yang bisa dijadikan titik untuk menggerakkan Indonesia. Kita punya modalnya, sumber daya manusianya, dan letaknya strategis," kata Komarudin.
Dia menambahkan, hubungan geografis antara Papua, Maluku, dan NTT yang berada dalam satu garis alam menyebabkan siklus pergerakan alam.
“Zona ini menjadi sangat kaya dan mampu memasok kebutuhan energi dan sumber alam dunia,” tegas Bung Komar.
Menurut dia, hal itu berbeda dengan garis arus alam zona barat Indonesia yang bersifat kumparan membalik, lamban, kurang saling terkait, dan kurang saling mendukung.
Hal itu membuat zona tersebut hanya mampu memasok kebutuhan zona-zona tertentu bukan kebutuhan global.
Menurut Komarudin, penerapan strategi dan program sosial-ekonomi-lingkungan (triple bottom line) pada zona segitiga ini dapat menghasilkan perubahan besar dan bersamaan pada seluruh sektor pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, dan peternakan di Indonesa maupun global.
“Kebutuhan masyarakat dunia dulu, kini dan ke depan dapat dipasok dari zona ini,” tegas Komarudin. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Banggakan Jembatan Holtekamp, Ini Spesifikasinya
Redaktur & Reporter : Ragil