Butuh Cara Cerdas Penyebar Islam Hadapi Budaya Lokal

Minggu, 12 Juni 2016 – 06:55 WIB
Masjid Sigi Heku, Ternate. FOTO: Malut Post/JPNN.com

jpnn.com - Jauh sebelum masyarakat Ternate mengenal Islam, ajaran-ajaran bernafaskan Islam sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meleburnya Islam dalam keseharian masyarakat Ternate pun terbilang unik. Untuk mengubah kebiasaan yang semula dipandang ‘sirik’, butuh cara cerdas sendiri dari para penyebar Islam.

BADRUN AHMAD-GUNAWAN TIDORE-MASLAN ADJID-MAHFUD H HUSEN, Ternate

BACA JUGA: Lihat Nih Mushaf Tertua di Nusantara

Sebelum Islam masuk ke Ternate, masyarakat Ternate telah memiliki agama lokal. Di dalam kepercayaan lokal, berkembang keyakinan bahwa pohon, gua, dan gunung memiliki kekuatan. Karena itu, warga perlu memberikan sesajian.

“Orang biasanya mengantar sesajian ke goa dan pohon sebagai persembahan. Sembari memberi sesaji, mereka membaca mantra, doa-doa, dan bacaan lainnya,” ungkap sejarawan Umar Hi Rajak seperti dilansir Malut Post (JPNN Group).

BACA JUGA: Anak-Anak Itu Jalan Kaki 6 Km, Haus Langsung Minum Air Selang

Kepercayaan semacam ini disebut animisme dan dinamisme. Animisme merupakan kepercyaan terhadap mahluk halus dan roh. Dinamisme merupakan pemujaan terhadap roh tersebut.

Datangnya Islam di kemudian hari tak lantas menghilangkan tradisi ini. Sebaliknya, terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan budaya Islam.

BACA JUGA: Ajudan Gus Dur Selalu Bawa Sekoper Penuh Video Lawak

“Doa-doa mereka diganti, diawali dengan bacaan bismillah. Sebagian diganti dengan bacaan dalam Alquran. Jadi tidak langsung diubah, tetapi menggunakan pendekatan kearifan lokal,” paparnya.

Kegiatan membaca doa bersama ini lama kelamaan berkembang menjadi tahlil. Keseluruhan doanya kemudian menggunakan bacaan ayat Alquran. Tahlil biasa dilakukan untuk memperingati hari-hari khusus, misalnya pernikahan, kematian, dan syukuran lainnya.

Banyak kemiripan dalam falsafah hidup orang Ternate dengan ajaran Islam. Bahkan pada masa sebelum kedatangan Islam. Sastra lisan seperti dola bololo, dalil tifa, dan dalil moro merupakan contohnya.

”Apabila ditelaah secara cermat dan jelas, isi syair sastra lisan dapat diberi penggolongan menurut kurun waktu periode sebelum masuknya agama Islam dan periode sesudah masuknya Islam,” tutur Dr Sahril Muhammad, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Maluku Utara.

Sastra-sastra lisan ini berisi petuah, petunjuk maupun nasehat. Makna dan tujuannya tak lari dari ajaran Islam. Misalnya ajakan untuk berbuat kebaikan, bersikap rendah hati, serta tidak mengambil hak orang lain.

”Padahal usia sastra lisan ini sama dengan usia Kerajaan Ternate. Sementara Islam baru masuk ke Ternate pada masa pemerintahan raja ke-18, Kolano Marhum,” jabar KH Ridwan Dero, Qadhi (Ketua Mahkamah Syariah) Kesultanan Ternate.

Penyebaran Islam di Ternate tidak dilakukan secara langsung. Prosesnya melalui tahapan, sebab orang pribumi tidak langsung dapat memahami Islam secara utuh. ”Oleh karenanya penyebaran dilakukan melalui pendekatan kebudayaan, ekonomi, politik dan sebagainya,” kata Sahril.

Sebelum masyarakat mampu menerima sebuah agama, mereka terlebih dahulu menerima kebudayaan yang dibawa oleh penyebar agama. Hal ini juga berlaku di kalangan warga Ternate.

”Kebudayaan itu bisa berupa kebudayaan baru yang dibawa orang-orang Arab, bisa juga merupakan kebudayaan lokal yang kemudian disusupi nilai-nilai Islam di dalamnya,” tandas Sahril.(JPG/tim/kai/fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kalah Bertanding Menanam Cabe dengan Orang Sakti, Memeluk Islam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler