jpnn.com, JAKARTA - PT Garuda Indonesia Tbk optimistis terus mampu mencetak laba. Mereka berkaca pada kinerja pada kuartal I 2019.
Saat itu miten berkode GIAA tersebut berhasil mencetak laba USD 19,7 juta. Demi efisiensi, perseroan akan mengoperasikan pesawat sesuai dengan demand dan tak lagi hanya bertumpu pada utilisasi pesawat.
BACA JUGA: Beri Bantuan, Garuda Indonesia Dorong Kemajuan Prestasi Squash Jakarta
Perseroan akan mengurangi frekuensi penerbangan yang demand-nya rendah, bahkan kalau perlu menghapusnya.
BACA JUGA: Kuartal I 2019, Garuda Indonesia Bukukan Laba Bersih 19,7 Juta Dolar
BACA JUGA: DPR Puji Keberhasilan Garuda Raup Untung Besar
Salah satu rute penerbangan yang dihapus adalah Denpasar–London dan akan diganti dengan rute Medan–Jakarta–London.
Dengan strategi itu, perseroan yakin mampu mencetak laba hingga USD 70 juta (Rp 980 miliar) tahun ini.
BACA JUGA: Kuartal I 2019, Garuda Indonesia Bukukan Laba Bersih 19,7 Juta Dolar
Di samping itu, rencana pembangunan pabrik ban milik perseroan masih on schedule.
Mengenai sanksi atas laporan keuangannya, GIAA telah membatalkan kerja sama perseroan, Citilink dan Sriwijaya Air dengan PT Mahata Aero Technology senilai USD 239 juta (Rp 2,98 triliun).
Kerja sama itulah yang sebelumnya dinilai janggal oleh salah satu komisaris independen GIAA Chairal Tanjung.
Sebab, kerja sama terkait dengan penyediaan layanan wifi itu belum dilaksanakan. Namun, GIAA sudah berani mencantumkan dampak kerja sama tersebut.
Karena itu, laporan keuangan GIAA yang seharusnya rugi Rp 2,45 triliun tiba-tiba tampak menjadi untung Rp 11,3 miliar.
Atas hal itu, perseroan dan direksi GIAA sudah membayar denda total Rp 1,25 miliar serta mematuhi segala sanksi yang dijatuhkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Mengapa GIAA berani mencantumkan dampak kerja sama perseroan dengan Mahata dalam laporan keuangannya?
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko GIAA Fuad Rizal menyatakan, hal itu didorong pertumbuhan pendapatan lain-lain (auxiliary revenue) perseroan yang hanya 5 persen.
Angka tersebut terbilang rendah jika dibandingkan dengan kinerja maskapai lain yang auxiliary revenue-nya bisa mencapai 10–15 persen per tahun.
Selain itu, Mahata menawarkan kerja sama yang menggiurkan karena penyediaan layanan wifi dan inflight entertainment GIAA tidak perlu membutuhkan investasi lebih dulu oleh perseroan. Sementara itu, jika GIAA harus berinvestasi dulu di Mahata, biayanya akan mahal.
’’Kini kami membuka kesempatan (kerja sama) inflight entertainment dengan pihak lain,’’ jelas Fuad. (rin/agf/c5/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masata Curiga Ada Persaingan Bisnis di Balik Perseteruan Rius Vs Garuda
Redaktur & Reporter : Ragil