jpnn.com, TARAKAN - Keberhasilan Ditkrimsus Polda Kalimantan Utara (Kaltara) membongkar bisnis pertambangan emas ilegal yang dijalankan oknum anggota Polri bernama Briptu Hasbudi di Kecamatan Sekatak, Bulungan, menjadi perbincangan publik, khususnya masyarakat di Benuanta.
Sebab, sosok Briptu Hasbudi yang selama ini dikenal masyarakat sebagai pengusaha muda sukses, ternyata kekayaannya diduga hasil dari menggeluti sejumlah bisnis ilegal.
Polisi Bintara yang disebut-sebut crazy rich asal Kota Tarakan tersebut diketahui tidak hanya menjadi bos tambang emas ilegal saja.
Namun, juga menjalankan banyak bisnis ilegal lainnya. Di antaranya, penyelundupan pakaian bekas dan daging ilegal asal Malaysia.
BACA JUGA: Daftar Aset Diduga Milik Briptu Hasbudi yang Sudah Disita Polisi, Nominalnya Wow!
Akibat perbuatannya itu Briptu Hasbudi kini mendekam di sel tahanan Mako Polda Kaltara dan dijerat dengan pasal berlapis.
Dari proses penyidikan, penyidik menyangkakan Pasal 158 juncto Pasal 160 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Briptu Hasbudi diancam hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar.
BACA JUGA: Irjen Daniel Beber Kronologi Pengungkapan Kasus Briptu Hasbudi, Ternyata Berawal dari Sini
Briptu Hasbudi juga dijerat Pasal 112 juncto Pasal 51 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Termasuk Pasal 51 Ayat (2) juncto Pasal 2 Ayat (3) huruf d Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dari Barang Dilarang Impor, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Polisi nakal itu juga dijerat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman hukuman penjara maksimal 20 tahun.
Sejumlah pihak mengapresiasi Polda Kaltara yang sudah berhasil mengungkap kasus pertambangan emas ilegal tersebut.
Namun tanggapan berbeda datang dari Pengamat Hukum sekaligus dosen dari Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah.
Kepada JPNN.com, Herdiansyah Hamzah mengatakan bahwa tertangkapnya Briptu Hasbudi sekaligus mengkonfirmasi bahwa aparat penegak hukum sangat rentan untuk menjadi pelaku pertambangan ilegal.
"Penegak hukum memang rentan jadi pemain tambang ilegal dan gejalanya sudah bisa kita tangkap (lihat) sejak awal. Misalnya, soal diamnya aparat penegak hukum (sebelum Briptu Hasbudi ditangkap) terhadap tambang ilegal yang makin menggila," ucapnya, melalui pesan tertulisnya kepada JPNN.com, Senin (9/5) sore.
Aparat penegak hukum yang telibat di dalam bisnis pertambangan ilegal dapat diketahui gejalanya ketika tidak melakukan penindakan apa pun, kendati tindak kejahatan tersebut ada di hadapan mata dan kepalanya sendiri.
"Lebih parahnya lagi, bahkan kejahatan tambang ilegal ini tak jarang terjadi di depan mata kepalanya sendiri. Itu membuktikan ada problem dalam upaya penegakan hukum ini. Seolah-olah aparat penegak hukum 'kalah' dari para pemain tambang," ungkapnya.
Sehingga, kata Herdiansyah, bukan salah masyarakat apabila sampai menuding dan pesimistis terhadap aparat penegak hukum.
Menurutnya, selama ini aparat penegak hukum memilih diam tatkala menerima aduan masyarakat atas maraknya tambang ilegal. Alih-alih melakukan sebuah penindakan, justru terkesan membiarkan.
"Jadi tidak salah kalau publik juga kerap menuding aparat penegak hukum "masuk angin", sebab alih-alih menangani kejahatan tambang ilegal ini, malah justru cenderung dibiarkan," ucap pria yang beken disapa Castro tersebut.
Padahal, menurut Castro, kalau satu saja oknum aparat yang diseret ke meja hijau, itu bisa menjadi kotak pandora untuk dapat membongkar pihak-pihak lain yang terlibat.
"Padahal seperti membuka kotak pandora dan bisa membuka siapa-siapa saja oknum aparat penegak hukum yang turut bermain dalam bisnis ini, di daerah maupun di pusat," tandasnya. (mcr14/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Irjen Daniel Tegas soal Kasus Briptu Hasbudi, Oknum yang Terlibat Pasti Disikat
Redaktur : Soetomo Samsu
Reporter : Arditya Abdul Aziz