Catat, Ini Sebab Banyak Gugatan Pilkada Rontok di MK

Kamis, 25 Februari 2021 – 07:57 WIB
Polisi berjaga di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (13/6), jelang digelarnya sidang sengketa hasil Pilpres 2019, Jumat (14/6). Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur HICON Law & Policy Strategies Hifdzil Alim menilai banyak penggugat hasil pilkada mengabaikan ambang batas selisih suara sebagai syarat mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, ambang batas tersebut tercantum pada Pasal 158 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

BACA JUGA: Sepertinya MK Jadi Mahkamah Kalkulator

"Jadi, banyak yang mengabaikan acuan Pasal 158 ayat 1 dan 2, bahkan ada yang menganggapnya  sudah dihapuskan," ujar Hifdzil dalam keterangannya, Rabu (24/2).

Hifdzil merupakan kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk 11 sengketa hasil Pilkada 2020 yang tengah berproses di MK.

BACA JUGA: Margarito Kamis Kritisi Permohonan Sengketa Pilkada yang Berguguran di MK

Sejauh ini Hifdzil telah berhasil memenangkan 10 perkara kliennya, yakni KPU Bulukumba, KPU Luwu Utara, KPU Rembang, KPU Barru, KPU Luwu Timur, KPU Mamuju, KPU Tapanuli Selatan, KPU Kutai Kartanegara, KPU Kotabaru dan KPU Raja Ampat.

Menurut Hifdzil, dirinya menggunakan Pasal 158 untuk mematahkan gugatan pilkada. "Dalam putusan MK pada PHP pilkada, Pasal 158 tetap diterapkan secara kasuistis. Artinya, Pasal 158 tetap urgen didalilkan," ucapnya.

BACA JUGA: Tak Taat Prosedur dalam Mengadili Sengketa Pilkada, MK Dinilai Membahayakan Sistem Peradilan

Lebih lanjut Hifdzil memerinci ketentuan  Pasal 158 ayat 1 dan 2 UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Menurut ketentuan itu,  selisih paling banyak untuk dapat menggugat hasil pemilihan gubernur di provinsi dengan jumlah penduduk sampai 2 juta jiwa ialah 2 persen dari total suara.

Kemudian untuk provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta jiwa, gugatan pilkada bisa diajukan jika selisih perolehannya tidak melebihi 1,5 persen dari total suara sah.

Adapun untuk provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-12 juta jiwa, gugatan pilkada bisa diajukan jika selisih perolehannya di bawah 1 persen dari total suara sah.

Selanjutnya untuk provinsi dengan populasi 12 juta jiwa, gugatan pilkada bisa diajukan jika selisih suaranya tidak melebihi  0,5 persen dari total suara sah.

Untuk tingkat kabupaten/kota dengan jumlah penduduk hingga 250 ribu jiwa, syarat mengajukan gugatan pilkadanya ialah selisihnya di bawah 2 persen dari total suara sah.

Bagi kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu - 500 ribu jiwa, gugatan pilkadanya bisa diajukan jika selisihnya di bawah 1,5 persen dari total suara sah.

Kemudian untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta jiwa, gugatan pilkadanya bisa diajukan jika selisihnya paling banyak  1 persen dari total suara sah.

Terakhir untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa, gugatan pilkadanya bisa diajukan jika selisihnya di bawah 0,5 persen dari total suara sah.

"Ketentuan itu penting untuk dijadikan argumentasi hukum dalam meminta MK menolak segala permohonan sengketa Pilkada," ucapnya.

Hifdzil menambahkan, MK telah menolak 100 sengketa hasil Pilkada 2020. Menurutnya, hal itu menunjukkan penyelenggara pilkada di berbagai daerah sudah menjalankan pesta demokrasi sesuai tata aturan kepemiluan yang berlaku.

"Banyaknya gugatan yang tertolak menjadi indikator KPU mulai pusat hingga daerah sudah bekerja maksimal," ujarnya.

Seperti diketahui, Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan di 270 daerah. Pilkada yang dilaksanakan pada 9 Desember 2020 itu menyisakan 132 gugatan di MK.

Namun, MK telah menlak 100 gugatan. Sisanya ada 32 gugatan yang berlanjut ke tahap pembuktian.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Tito Bandingkan Keberhasilan Pilkada 2020 dengan Pemilu AS, Begini Kalimatnya


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler