Catatan Kritis Demokrat di RUU Ciptaker: Hak Buruh hingga Kemudahan Tenaga Kerja Asing

Minggu, 04 Oktober 2020 – 19:59 WIB
Hinca Pandjaitan. Foto: Ricardo/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Fraksi Partai Demokrat (FPD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan catatan kritis atas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). FPD menolak pembahasan RUU Ciptaker dilanjutkan ke pengambilan keputusan tingkat dua di Rapat Paripurna (Rapur) DPR.  

Anggota FPD di DPR Hinca Panjaitan mengatakan berdasar visi misi  partainya pembahasan RUU ini harus bisa melahirkan kebijakan ekonomi yang holistik dengan semangat pro job, pro growth, pro poor, dan pro environment. Atas dasar itu, fraksi yang dipimpin Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas ini menyampaikan catatan kritis terhadap RUU Ciptaker.

BACA JUGA: Arief Poyuono: RUU Ciptaker Harus Disahkan, Vaksinasi Dipercepat

Dari sisi ketenagakerjaan misalnya, Hinca menyebut ada sejumlah ketidakadilan di sektor ini. "Antara lain mengenai aturan prinsip no work no pay oleh pengusaha karena upah dibayar atas satuan waktu kerja per jam," ungkapnya dalam rapat Baleg DPR dengan pemerintah dan DPD, Sabtu (3/10).

Ia menyatakan aturan mengenai hak pekerja atas istirahat mingguan selama dua hari dalam sepekan juga dihilangkan. Karena 48 jam dalam satu minggu dikembalikan dalam perjanjian kerja. "Tentu saja aturan ini merugikan bagi seluruh pekerja," jelasnya.

BACA JUGA: Pembahasan RUU Ciptaker Kelar, Airlangga Hartarto Beber Keistimewaannya

Menurutnya, dalam RUU ini juga mengandung sistem "mudah mencari mudah memecatnya". Misalnya, ketentuan pekerja kontrak dan outsorucing yang dilonggarkan secara drastis.  Ini menyebabkan pekerja kesulitan mendapatkan kepastian hak untuk menjadi pekerja tetap.

Kemudian pelonggaran aturan terkait hak cuti, libur, dan  perlindungan upah saat buruh berhalangan juga sangat berdampak pada pekerja. “Terutama bagi kaum pekerja perempuan yang sedang berhalangan karena cuti haid, hamil, melahirkan dan menyusui,” kata Hinca.

BACA JUGA: DPD Kawal RUU Ciptaker Agar Bisa Memajukan Daerah

Dia menambahkan RUU ini juga memberikan kemudahan dan kelonggaran bagi perusahaan mempekerjakan tenaga kerja asing atau TKA. Hal ini, kata Hinca, tidak hanya akan berdampak pada pekerja kelas bawah, tetapi juga menengah. "Ini berpotensi  menyebabkan angkatan kerja Indonesia akan dikalahkan oleh TKA dan dinomorduakan di negerinya sendiri," kata Hinca.

Selain itu RUU ini juga akan berimplikasi sektor UMKM, konsumen, dan hukum bisnis. Bagi UMKM dan sektor informal, kata Hinca, substansi RUU ini tidak menjawab kebutuhan di lapangan. Misalnya soal basis data tunggal, pola kemitraan yang eksploitatif, dan revisi aturan koperasi.

Menurutnya, kesulitan yang dihadapi UMKM di sektor informal tidak tergambar dalam RUU Ciptaker. Dia menegaskan, hal ini  berbanding terbalik dengan kebutuhan pengusaha sektor formal dan investor besar yang sangat detail dijabarkan dan diakomodasi di RUU ini.

"Terlihat jelas bahwa UMKM dan sektor informal bukan merupakan fokus dari penyusunan RUU Ciptaker. Sementara bagu konsumen, RUU Ciptaker akan melegalkan praktik monopoli dagang yang akan sangat merugikan konsumen," katanya.

Menurutnya lagi, revisi ketentuan mengenai paten juga akan berdampak pada konsumen terutama berkaitan kebutuhan obat dan bencana saat panfemi nasional. "Prinsipnya perlindungan hak-hak pekerja adalah hal yang fundamental untuk diperjuangkan bersama," ujar mantan sekretaris jenderal (sekjen) PD ini.

Hinca menjelaskan RUU ini juga berpotensi memunculkan dampak mengkhawatirkan sektor pertanahan. RUU Ciptaker, kata dia, melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk proyek prioritas pemerintah, dan proyek strategis nasional yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta. 

“Masalah lingkungan hidup menjadi catatan tersendiri di mana dalam RUU Ciptaker memberikan syarat pembukaan lahan untuk perusahaan berbagai sektor,” jelasnya.

Menurutnya, RUU Ciptaker memberikan kemudahan bagi pengadaan lahan di  bawah lima hektar. Padahal, kata dia, di wilayah perkotaan padat penduduk seperi Jakarta, Surabaya, dan lainnya, luas lima hektar dapat ditinggali ratusan kepala keluarga.

Menurutnya, akibat pengaturan ini penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan pemerintah daerah. “Hilangnya berbagai perizinan menyebabkan masyarakat  kehilangan jalur upaya hukum untuk mempertahankan hak-haknya,” kata anggota Komisi III DPR itu.

Terkait sentralisasi pemerintah daerah ke pusat, FPD menyoroti implikasi RUU Ciptaker tentang spirit semokrasi dan sistem desentralisasi yang menjadi amanat gerakan Reformasi 1998.  Dia menegaskan bahwa RUU Ciptaker membahayakan  kehidupan demokrasi di Indonesia.

“Mengapa? Pertama wibawa konstitusi dilecehkan dengan adanya aturan yang bertentangan dengan putusan MK dan dihidupkannya aturan kolonial di sektor perburuhan dan pertanahan,” kata Hinca.

Kedua, lanjut dia, RUU Ciptaker akan memberi legalitas bagi pemerintahan yang sentralistik. Dengan memberikan kewenangan terlalu besar bagi pemerintah pusat, akan menjadikannya superior dibanding kekuasaan legislatif, yudikatif dan pemda.

“Padahal, tujuan RUU ini adalah untuk mengefektifkan birokrasi, tetapi aturan terbaru ini justru akan makin merumitkan proses birokrasi karena tidak adanya kepastian dan kejelasan hukum  dalam perizinan berusaha,” paparnya.

"Berdasar argumentasi dan catatan penting di atas maka izinkan kami FPD menyatakan menolak RUU Tentang Cipta Kerja,” kata Hinca.

FPD menilai banyak hal yang harus dibahas kembali secara lebih mendalamn dan komprehensif. “Kita tidak perlu terburu-buru,” tegasnya. 

Hinca menyarankan dilakukan pembahasan yang lebih utuh dan melibatkan stakeholder yang berkepentingan. “Ini penting agar produk hukum yang dihasilkan RUU Ciptaker ini tidak berat sebelah, berkadilan sosial, serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang sebenarnya,” ungkap legislator Dapil III Sumatera Utara itu.

Supratman Andi Agtas langsung merespons. Ia mengatakan pada dasarnya menghargai pendapat FPD. Namun, Supratman ingin mengklarifikasi berbagai hal dari pandangan mini yang disampaikan FPD tersebut.

Pertama, kata Supratman, terkait transparansi pembahssan RUU Ciptaker. Menurutnya, dari awal Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya sudah menyampaikan bahwa pembahasan bisa disaksikan seluruh rakyat Indonesia.

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah pembahasan RUU di DPR, antara DPR, DPD, dan pemeritnah, kami sejak awal kami menyiarkan secara langsung dan bisa diliput seluruh rakyat Indonesia,” kata Supratman yang memimpin rapat. 

Kedua, lanjut dia, Baleg menyadari bahwa sepenuhnya keikutsertaan PD dalam pembahasan RUU Ciptaker itu mudah dan bisa dibuktikan dengan rekaman yang terjadi di dalam pembahasan. 

Supratmen perlu menyampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia terkait persoalan kewenangan pemerintah pusat dan daerah. “Bahwa kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, teman-teman DPD juga bisa saksikan di konsep awal iya, tetapi dengan kebesaran hati pemerintah kami berterima kasih akhirnya kewenangan hubungan pemerintah pusat dan darah dikembalikan sesuai dengan maksud perintah UUD NRI 1945 Pasal 18,” kata Supratman.

Ketiga, lanjut Supratman, terkait dengan pembahasan klaster ketenagakerjaan seperti outsourcing, perjanjia kerja waktu tertentu (PKWT), untuk pertama kalinya pemerintah dan DPR bersepakat memberikan perlindungan kepastian akan income security-nya.” Namun demikian, sekali lagi itu adalah sikap fraksi tetapi wajib hukumnya untuk saya mengklarifikasi beberapa hal,” ujar politikus Partai Gerindra ini. (boy/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler