jpnn.com - Denny Indrayana makin rajin melontarkan berbagai pernyataan yang menarik perhatian publik. Mantan wakil menteri hukum dan hak asasi manusia (HAM) itu menyebut pernyataannya merupakan bocoran informasi penting.
Guru besar ilmu hukum itu menyebut informasi yang dia peroleh -seperti keputusan Mahkamah Konstitusi soal uji materi sistem pemilu, atau vonis Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali (PK) sengketa Partai Demokrat yang diajukan Moeldoko- berasal dari sumber tepercaya.
BACA JUGA: Presiden Porno
Selain itu, Denny Indrayana juga makin rajin menulis surat terbuka kepada banyak orang. Setelah menulis surat terbuka kepada Megawati Soekarnoputri, Denny kemudian menulis surat kepada pimpinan DPR RI.
Isi suratnya sangat serius. Denny meminta pimpinan DPR mendorong proses pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Jokowi.
BACA JUGA: Kaesang dan Politik Dinasti Jokowi
Denny menyebut ada dugaan pelanggaran konstitusi oleh Jokowi. Pengakuan Jokowi bahwa dia akan cawe-cawe dalam proses pemilihan presiden dianggap sebagai pokok pangkal Presiden Ketujuh RI itu layak diajukan ke sidang impeachment.
Menurut Denny, ada tiga dugaan pelanggaran oleh Presiden Jokowi. Satu, Denny menganggap Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menghalangi Anies Baswedan menjadi calon presiden.
BACA JUGA: Cawe-Cawe di Pilpres
Dua, Denny menilai Presiden Jokowi membiarkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengganggu kedaulatan Partai Demokrat yang ujungnya menyebabkan Anies Baswedan tidak dapat maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024.
Tiga, Denny menganggap Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menekan pimpinan partai politik dalam menentukan arah koalisi dan pasangan capres-cawapres menuju Pilpres 2024.
Denny mengatakan bahwa kesaksian tersebut sebagai bukti awal tentu harus divalidasi kebenarannya. Dia menyarankan agar DPR melakukan investigasi melalui hak angket yang dijamin UUD 1945.
Dalam mekanisme demokrasi, pemecatan presiden hanya dapat diajukan oleh DPR kepada MPR setelah terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi guna mengadili dan memutus pendapat DPR tentang hal pelanggaran yang dilakukan presiden.
Prosesnya ribet dan panjang karena 80 persen kursi DPR sudah dikuasai oleh koalisi pendukung pemerintah. Akan tetapi, tidak berarti pemakzulan mustahil dilakukan.
Dalam politik tidak ada kata mustahil. Tiga partai anggota Koalisi Perubahan untuk Persatuan terlihat makin solid dan tegar di tengah berbagai godaan dan rayuan.
Tiga partai pengusung Anies Baswedan itu akan menjadi modal penting dalam gerakan oposisi untuk mendongkel Jokowi. Jika usulan impeachment muncul, tidak ada yang menjamin bahwa usulan itu tidak disambut oleh partai lain yang sekarang masih ada di koalisi pendukung Jokowi.
Beberapa perkembangan terakhir ini terlihat adanya indikasi partai yang kurang betah berada di koalisi pemerintah. Tidak semua partai koalisi merasa senang oleh manuver PDIP sebagai parpol pemenang Pemilu 2019.
Keinginan PDIP agar sistem pemilu dikembalikan pada sistem proporsional tertutup ditolak mentah-mentah oleh delapan fraksi parpol di DPR. Hal itu menjadi sinyal merah bagi PDIP supaya lebih waspada terhadap gerakan partai lain.
Ketika situasi menjadi tidak menguntungkan, bisa saja koalisi pendukung pemerintah goyah dan bubar.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sudah banyak diwarnai oleh insiden politik yang berakhir dengan impeachment. Tercatat tiga presiden mengakhiri jabatannya karena impeachment.
Kepemimpinan Presiden Soekarno bertahan 22 tahun dan kemudian berakhir dengan impeachment yang diwarnai dengan pertumpahan darah. Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun, tetapi takhirnya terguling oleh gerakan rakyat yang didukung mahasiswa.
Pada 23 Juli 2001, Presiden Keempat Abdurrahman Wahid dilengserkan dari jabatannya oleh MPR RI. Saat itu, presiden masih dipilih oleh MPR dan disebut sebagai pemegang mandat atau mandataris.
Pemakzulan terhadap Gus Dur dilakukan di Sidang Istimewa MPR karena presiden yang kiai itu dianggap telah menyalahi haluan negara. Pemakzulan itu merupakan puncak perseteruan Gus Dur dengan mayoritas partai politik di Senayan yang kala itu ikut berperan memilihnya menjadi presiden pada 1999.
Gus Dur diangkat oleh Poros Tengah yang diprakarsai oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. PAN berkoalisi dengan Akbar Tanjung dari Golkar dan partai-partai Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan.
Tujuan Poros Tengah ialah menghambat Megawati Soekarnoputri tidak bisa menjadi Presiden RI meskipun partainya, PDIP, menjadi pemenang pemilu.
Pemakzulan terhadap Gus Dur dipicu oleh laporan yang disampaikan panitia khusus (pansus) di DPR yang menyelidiki dugaan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar USD 4 juta. Selain itu, Gus Dur juga diduga menggunakan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar USD 2 juta.
Konflik antara Gus Dur dengan DPR dan MPR makin tajam setelah dia mengeluarkan Dekrit Presiden 23 Juli 2001. Dekrit itu berisi tiga hal, yakni membekukan DPR dan MPR; mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memajukan penyelenggaraan pemilu; menyelamatkan gerakan reformasi dari unsur Orde Baru, termasuk membekukan Partai Golkar.
Akhirnya MPR melengserkan Gus Dur melalui sidang istimewa. Gus Dur tidak hadir dalam sidang itu.
Gus Dur sempat bertahan di Istana Negara. Namun, keesokan harinya, Kamis, 26 Juli 2001, Gus Dur keluar dari istana dan langsung terbang ke Amerika Serikat (AS) untuk berobat.
Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjadi wakil presiden pun memegang tampuk kepresidenan. Hamzah Haz menjadi wakil presidennya.
Kisah impeachment yang lebih dramatis dialami oleh Soekarno. Proklamator RI yang membidani lahirnya Indonesia itu harus mengakhiri karier politiknya secara tragis, disingkirkan dari kekuasaan dan diisolasi dari politik.
Kudeta oleh PKI pada 1965 yang gagal membawa kehancuran bagi partai itu. Soekarno kehilangan pendukung politik terkuatnya.
Politik keseimbangan yang dia mainkan sejak awal 1960-an runtuh. TNI Angkatan Darat yang menjadi musuh politik utama Soekarno makin kuat dan mendominasi.
Jenderal Soeharto perlahan mengambil alih panggung kekuasaan dan menyisihkan Soekarno. Kekuatan politik Soekarno surut dengan cepat setelah terbitnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) pada 1966.
Pada 12 Maret, Soeharto membubarkan PKI. Berbekal surat itu pula Soeharto pada 18 Maret menangkap 15 menteri loyalis Soekarno.
Lalu, pada 27 Maret 1966, Soekarno terpaksa mengumumkan kabinet baru bentukan Soeharto. Pembersihan loyalis Soekarno pun terjadi di kalangan militer dan birokrasi.
Dominasi Soeharto menguat di kalangan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang anti-Soekarno. Pada 22 Juni 1966, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawabannya selama jadi presiden di hadapan MPRS.
Pidato itu dijuduli Nawaksara. Namun, MPRS yang sudah berada di luar kendali Soekarno menolak pertanggungjawaban itu.
Soekarno makin terdesak. Pada 22 Februari 1967, Soekarno mengumumkan kesediaannya menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada Soeharto sebagai pengemban Supersemar. Kejatuhan Soekarno makin dekat.
Pada 7 Maret 1967, Sidang Istimewa MPRS memutuskan mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, sekaligus menetapkan Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Soeharto kemudian berkuasa selama 32 tahun dan dianggap mempunyai kekuatan yang tidak tergoyahkan.
Namun, akhirnya Soeharto dipaksa mundur oleh demonstrasi mahasiswa. Aksi itu mendapat dukungan dari kroni-kroni Soeharto di kekuasaan.
Impeachment adalah mekanisme demokrasi yang dijamin oleh konstitusi, tetapi bisa menjadi preseden buruk dalam bernegara. Negara demokrasi matang seperti Amerika Serikat sangat menghindari impeachment.
Jika harus terjadi impeachment –sebagaimana dialami Presiden Richard Nixon pada 1972- dia langsung diampuni dan diputihkan oleh Presiden Gerald Ford yang terpilih menggantikannya.
Presiden Bill Clinton hampir dimakzulkan pada 1997 karena terlibat skandal seks dengan pegawai magang di Gedung Putih yang bernama Monica Lewinsky. Clinton akhirnya diampuni dan kasusnya tidak dilanjutkan.
Di Indonesia, impeachment sudah menjadi bagian dari sejarah politik. Sekali terjadi impeachment akan terjadi lagi di episode berikutnya.
Hukum besi ini berlaku di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.(***)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Petugas Partai & Despotisme Baru
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi