jpnn.com, JAKARTA - Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (Centers for Disease Control and Prevention U.S. atau CDC) telah mengidentifikasi vitamin E asetat yang dicampurkan pada cairan rokok elektrik merupakan penyebab utama sejumlah kasus kematian yang terjadi di Amerika Serikat.
Melihat temuan itu, Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Aryo Andrianto, mengatakan temuan CDC memperkuat fakta bahwa kasus tersebut disebabkan oleh penyalahgunaan, bukan karena rokok elektrik.
BACA JUGA: Benarkah Vape Lebih Aman Bagi Kesehatan Dibanding Rokok Konvensional?
Pasalnya, narkoba dan vitamin E asetat tidak seharusnya dicampurkan pada cairan rokok elektrik.
“Penemuan dari CDC ini mengungkap fakta baru bahwa rokok elektrik tidak dapat disalahkan sepenuhnya atas kasus kematian yang terjadi di Amerika Serikat. Yang perlu diperhatikan adalah adanya penyalahgunaan narkoba dan vitamin E asetat pada cairan rokok elektrik," kata Aryo.
BACA JUGA: Kasus Penyakit terkait Vape Dinilai Masalah Lokal Amerika
"Hasil ini semestinya menjadi acuan bagi Kementerian Kesehatan dan BPOM agar tidak membuat keputusan keliru terhadap rokok elektrik terkait dalam upaya pelarangan total dari produk ini di Indonesia,” imbuh Aryo.
CDC menyimpulkan bahwa vitamin E asetat adalah masalah utama yang menyebabkan pengguna rokok elektrik menderita penyakit paru-paru atau yang disebut sebagai e-cigarette or vaping product use associated lung injury (EVALI).
BACA JUGA: Vape Efektif Kurangi Perokok, Begini Penjelasan Dokter
Berdasarkan hasil pengujian sampel di laboratorium CDC terhadap 29 pasien yang terkena EVALI, ditemukan adanya vitamin E asetat pada cairan bronchoalveolar lavage (BAL) di seluruh paru-paru pasien.
Selain itu, tetrahidrokanabinol (THC), senyawa yang terdapat pada ganja, juga ditemukan sebanyak 82 persen dari sampel pasien, sedangkan nikotin sebesar 62 persen.
Sementara, Peneliti dan Ketua Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Achmad Syawqie, menjelaskan vitamin E asetat digunakan sebagai zat pengental dalam rokok elektrik yang mengandung THC.
“Vitamin E asetat ini sangat lengket karena bersifat oil-based dan ketika masuk ke dalam paru-paru, zat ini melekat di organ tersebut. Karena sifatnya yang lengket, akhirnya membuat THC juga menempel di paru-paru,” tegas Syawqie.
Vitamin E asetat, banyak ditemukan dalam makanan seperti daging, buah-buahan, dan sayuran, termasuk minyak nabati serta sereal. Zat ini juga terdapat di suplemen makanan dan produk kosmetik seperti krim kulit.
“Vitamin E asetat biasanya tidak menyebabkan bahaya ketika dikonsumsi sebagai suplemen vitamin atau dioleskan ke kulit. Namun, beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketika vitamin E asetat dihirup, dapat mengganggu fungsi paru-paru normal,” ujarnya.
Hingga per 13 November, CDC menerima laporan 2.172 kasus EVALI dari 49 negara bagian (kecuali Alaska), Distrik Columbia, dan dua wilayah teritori Amerika Serikat di Puerto Rico dan Kepulauan Virgin. Tercatat 42 kematian dari kasus tersebut yang terjadi di 24 negara bagian dan Distrik Columbia.
Semenjak kasus tersebut mencuat, CDC, U.S. Food and Drug Administration (FDA), departemen kesehatan negara bagian dan daerah, serta mitra klinis dan kesehatan publik lainnya, menginvestigasi penyebab dari penyakit EVALI secara intens terlebih dahulu sebelum memberikan rekomendasi bagi peredaran rokok elektrik di Amerika Serikat.
Meski demikian, Inggris tetap mendukung keberadaan rokok elektrik.
“Pemerintah harusnya mengatur, bukan melarang. Jajaran Kemenkes dan BPOM semestinya dapat mendorong regulasi yang berdasarkan kajian ilmiah yang komprehensif, seperti di Inggris, demi memberikan manfaat yang lebih besar bagi publik, terutama perokok dewasa,” jelasnya.
“Jadi sangat penting untuk meregulasi rokok elektrik, sehingga konsumen tidak pernah mengambil risiko dengan memakai cairan buatan sendiri, illegal, atau menambahkan zat yang berbahaya. Jangan sampai juga konsumen beli rokok elektrik di pasar gelap atau bukan di tempat resmi,” tutup Aryo.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy