jpnn.com, JAKARTA - Suara kritis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memungkinkan capres/cawapres tidak harus berusia di atas 40 tahun asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah terus bergulir.
Kekhawatiran yang muncul ialah putusan itu akan dimanfaatkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengusung putranya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
BACA JUGA: PDIP Keluarkan Surat Instruksi kepada Gibran bin Jokowi Cs, Apa Itu?
Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti menyatakan putusan MK itu memang dipertanyakan banyak pihak, termasuk para pakar hukum tata negara.
Salah satu penanda tangan Maklumat Juanda itu menyebut uji materi atas Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur syarat capres/cawapres berusia minimal 40 tahun merupakan siasat untuk melempangkan jalan bagi Gibran mengikuti pilpres.
BACA JUGA: Hakim MK Saldi Isra Mengalami Peristiwa Aneh, Ada Misteri soal Gugatan Usia Capres-Cawapres
Memang putra sulung Jokowi itu belum berusia 40 tahun, tetapi sudah menjadi wali kota Surakarta (Solo).
“Makanya diduga adanya penyalahgunaan kekuasaan MK untuk memutuskan perkara umur ini,” ujar Ikrar, Jumat (20/10/2023).
BACA JUGA: Kecewa Putusan MK, Ratusan Tokoh Bacakan Maklumat Juanda, Sindir Dinasti Politik
Profesor peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu menegaskan publik tentu tidak mau MK sebagai lembaga terhormat justru berperilaku tidak wajar.
Menurut Ikrar, keganjilan MK itu juga sudah terungkap saat pembacaan putusan uji materi atas UU Pemilu pada Senin lalu (16/10/2023).
Saat itu, Wakil Ketua MK Saldi Isra menceritakan soal perubahan drastis lembaga pimpinan Anwar Usman tersebut dalam menangani permohonan yang diajukan Almas Tsaqibbirru.
Dalam perkara bernomor Nomor 90/PUU-XXI/2023, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (UNSA) yang mengaku sebagai pengagum Gibran itu memohon kepada MK memutuskan warga negara yang belum berusia 40 tahun tetap bisa menjadi capres/cawapres asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah.
Ternyata MK bergerak cekatan menangani permohonan Almas, bahkan mengabulkannya.
“Saldi Isra bahkan mengatakan mengapa harus terburu-buru memutuskan gugatan soal umur capres. Memang sudah sepenting itu?” ujar Ikrar.
Jika akhirnya Gibran menjadi cawapres, Ikrar menganggap hal itu akan membuat demokrasi di Indonesia mundur. Pengamat politik yang dikenal kritis itu juga membandingkan era Jokowi dengan Presiden Soeharto yang tidak pernah memaksakan anak-anaknya menjadi cawapres pada masa Orde Baru.
“Mbak Tutut (Siti Hardiyanti yang juga putri sulung Soeharto) hanya jadi menteri sosial. Kalau kita mundur lagi, kapan kita akan selesai bicara soal demokrasi?” imbuh Ikrar.
Selain itu, Ikrar juga mengkhawatirkan Pilpres 2024 tidak akan berjalan adil jika Gibran menjadi cawapres. Kekhawatiran itu didasari kenyataan bahwa Gibran menjadi kontestan pilpres saat ayahnya masih berkuasa.
“Jika Gibran maju, lapangan berkompetisi itu tidak setara,” kata Ikrar.
Oleh karena itu, Ikrar mengingatkan Presiden Jokowi menyadari hal itu. Dia menambahkan peringatan itu bukan untuk menentang Jokowi, melainkan untuk mengingatkan Presiden Ketujuh RI tersebut.
“Mudah-mudahan Pak Jokowi sadar. Namun, tidak ada jaminan (akan sadar),” kata Ikrar.(jpnn.com)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sorotan Media Luar Negeri soal Keputusan MK Melempangkan Politik Dinasti Ala Jokowi
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi