Cegah Politik Transaksional dengan Edukasi Politik

Jumat, 30 November 2018 – 22:05 WIB
Pemilu 2019. Ilustrasi: radartegal.com

jpnn.com, JAKARTA - Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni mengajak semua pihak, terutama partai-partai politik peserta Pemilu 2019 untuk menumbuhkan budaya politik yang benar kepada rakyat.

“Perlu adanya pendidikan politik dari partai-partai kepada masyarakat, supaya masyarakat peduli dengan pemilu untuk legislatif maupun eksekutif yang berkualitas,” ujar Farouk, Jumat (30/11).

BACA JUGA: BTN Siapkan Sejumlah Strategi Menyambut Tahun Politik

Menurut Farouk, masyarakat jangan dimanjakan dengan politik transaksional, tapi lebih baik dengan pendidikan politik terkait apa yang akan diperjuangkan oleh partai-partai peserta Pemilu.

Jika hal itu dilakukan, menurut dia maka setidaknya akan menghentikan budaya politik transaksional dan hasil politik akan lebih berkualitas.

BACA JUGA: Berita Terbaru soal Penderita Gangguan Jiwa Boleh Menyoblos

“Jadi tidak hanya dinikmati oleh para elite politik,” papar alumnus New York University & the University of Birmingham ini.

Mengenai politik transaksional ini, Farouk bilang bukan sekadar isapan jempol belaka, tapi mengalaminya sendiri. Kala itu, ada seseorang yang mendekatinya dan menyatakan bersedia menjadi tim sukses dengan menjanjikan perolehan suara dari calon pemilih di daerah pemilihannya.

BACA JUGA: Dulu Mau Revisi KPK tidak Siap

Mereka meminta biaya sekitar Rp 4 miliar sebagai tiket untuk lolos ke Senanyan.

“Tentu saya menolaknya, karena terkesan seperti jual beli suara, semacam politik transaksional antara caleg dengan operator dari para pemilih,” tutur dia.

Menurut dia, biaya yang harus dikeluarkan tersebut tidak sebanding dengan gaji anggota dewan. Maka dari itu, tidak terelakkan jika caleg yang terpilih melakukan politik transaksional tersebut.

Ekonom dari Center for Islamic Studies in Finance, Economics and Development (CISFED) ini menilai, demokrasi Indonesia pasca-reformasi belum melahirkan demokrasi yang substantif, yakni demokrasi yang berdampak terhadap terciptanya layanan publik dengan baik. Di negara maju, kelancaran proses demokrasi bisa terlihat dari efeknya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Demokrasi perlu dibedakan dengan pemilu. Demokrasi yang substantif bukan aksesoris, harus diterjemahkan pada pelayanan publik yang baik, berfungsinya sistim penegakan hukum dan keadilan. Ini yang perlu dikritisi," sebut dia.(chi/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Waketum Gerindra Tuding Jokowi Mau Pamer Tol Jelang Pemilu


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler