Koalisi Parpol Terubuk dan Puyu-Puyu

Sabtu, 21 Maret 2009 – 06:08 WIB

IKAN di laut asam di gunung berkoalisi di dalam kualiApi pun bisa berkoalisi dengan air

BACA JUGA: Pemilu 1955: Catatan Masa Bocah

Api di tungku bisa dipakai untuk memasak air sehingga terhidanglah kopi hangat yang sedap dihirup ketika berdiskusi tentang koalisi partai politik menjelang Pemilu dan Pemilihan Presiden 2009


Amsal-amsal barusan merupakan kearifan lokal yang up to date di masa kontemporer ini.  Salah satunya, adalah “Syair Ikan Terubuk dan Puyu-puyu” dari Riau, tanah Melayu yang bijak bestari itu

BACA JUGA: Membaca Prabowo, Membaca Peluang

Tergantung, bagaimana menafsirkannya dan dari angle mana memandang. 

Tatkala membaca sebuah esei tentang “Syair Ikan Terubuk dan Puyu-puyu” goresan pena Gijs Koster, seorang dosen UI Jakarta, saya membayangkan sang Terubuk yang rindu dendam
Saya menemukannya dalam sebuah kumpulan esei bertajuk “Kandil Akal Budi Pelantar Budi” dan ditulis berbagai pengamat asing dan Indonesia (470 halaman, Yayasan Kata dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara Riau, 2001)

BACA JUGA: Jawa-Non Jawa, Jalan Panjang



Diceritakan dalam bahasa Melayu (lama), Pangeran Ikan Terubuk hidup di Selat Melaka, tapi saya nukilkan lagi dalam bahasa kita di zaman iniPangeran rupanya sangat mendambakan dapat menyunting Puteri Puyu-puyu yang bertahta di sebuah kolam dekat Tanjung PandanIa ajak para menterinya menyusun strategi, dan jika gagal, putus tekad  ia memencilkan diri ke Srilanka

Mirip kehidupan politik modern, seekor belut, mata-mata yang menyusup ke sidang Terubuk melaporkan akan terjadi serbuan ke daratanHati Puyu-puyu kecut terbayang marabahayaWalau dayang-dayangnya siap berperang berkuah darah, ketakutan merayap jugaApalagi ada bisikan, “jangan percaya penuh pada dayang-dayangmu.” 

Diam-diam Sang Puteri berhitung, dan merasa mustahil dipersunting TerubukApa ihwal? Bukankah, Terubuk di lautan dan Puyu-puyu di daratan?

Tiada lain, Puyu-Puyu mengadu kepada TuhanTak ayal, hujan turun, kilat dan petir sabung bersabungTurunlah “dewa-dewi” dari kahyangan membawa Pohon Pulai dan sang Puteri pun bersembunyi di pucuknya yang tinggi

Astaga, sang Terubuk putus asa karena Puteri telah minggatDaripada makan hati berulam jantung, Pangeran Terubuk kemudian menikahi Ikan Gelasa
 
Yang menarik, orang Melayu menggunakan kata “meminang” dengan makna berlapis-lapisSelain melamar seorang gadis, juga bisa ditafsirkan sebagai upaya melegitimasikan kekuasaan atas sebuah kawasanBisa juga dalam wujud invasi kekuasaan

Kisah klasik itu di era kontemporer ini bisa juga ditafsirkan sebagai berkoalisi dalam merebut kekuasaan dengan menimbang kekuatan mitra, menghitung tahta dan harta, politik dan ekonomiMirip dengan manuver antarparpol yang kini riuh rendah menjelang Pemilu 2009

Ikan Terubuk adalah mata pencaharian penting bagi rakyat di kawasan SiakPuyu-puyu adalah ikan air tawar yang dapat memanjat pohon memangsa seranggaJika keduanya bersekutu, alangkah hebatnyaLaut dan darat dikuasai juga pepohonan sebagai simbol pertanian

Kisah masa bahari itu rasanya berlari ke abad iniNow and here, bahwa koalisi tak harus yang sealiran, tetapi jamak saja antarpartai nasional dan religiusLalu, terjadilah “dagang sapi.” Who gets what, siapa dapat apa?

Koalisi seperti itu hanya demi tahtaKehendak menunaikan sebesar-besarnya kemakmuran bagi khalayak lebih kerap terlupakan. 

Mungkin, Pangeran Terubuk dan Ratu Puyu-puyu tersipu-sipu jika mendengar kabar dari Indonesia, bahwa ada anggota DPR, DPRD, gubernur, bupati, walikota dan menteri yang terlibat korupsi.       

Tapi, pesona kekuasaan membuat orang gampang bersatu, kemudian gampang berceraiAh, kisah-kisah politik selalu menyebalkan! Beda dengan syair-syair yang menghibur dan membuat pulas tertidur

Dua Partai

Terbang ke alam politik masa ini, tidak mengherankan jika Golkar merapat ke PDIP, dan PKSPartai Demokrat merapat ke PKB, PKS dan PANMega juga sudah dikunjungi Prabowo, Capres dari Partai Gerindra, Rabu (18/3)Bahkan, sekarang sedang dijajagi pertemuan SBY, tokoh Partai Demokrat  dengan Mega, pimpinan pucuk PDIP

Bangunan pikiran Clifford Geertz dan Herbeth Feith tentang politik aliran (abangan dan santri atau nasionalis dan religius) yang pada Pemilu 1955 mewarnai panggung politik Indonesia, tampaknya telah lapukWalaupun dikotomi itu masih ada hingga kini, terbukti ada parpol yang berasas nasional dan keagamaan, tetapi tak semengkristal dulu lagi

Dikotomi itu malah tak lagi relevan karena gejala parpol yang semakin moderat dan mau berkoalisi walau beda ideologiKita ingat Koalisi Kebangsaan saat mengusung Mega-Hasyim Mudjadi pada Pilpres 2004 bisa menghimpun Golkar dan PDIP yang nasional serta PPP yang berasas Islam dan Partai Damai Sejahtera yang berasas Kristen

Contoh serupa juga ditunjukkan oleh PBB yang Islam bisa bersekutu dengan PKPI dan Partai Demokrat yang berasas nasional ketika mengusung duet SBY-Jusuf Kalla pada Pilpres 2004 lalu

Persekutuan antarpartai yang beda zat itu seyogianya bukan hendak merebut suara dan kekuasaan belaka, tetapi juga merupakan embrional dari penyederhanaan jumlah partai di IndonesiaAlangkah elok jika koalisi menjelang Pilpres kelak ditindak-lanjuti dengan fusi partai seusai Pilpres

Kita terbayang koalisi partai yang kalah berhimpun menjadi partai baruDemikian juga koalisi partai yang memenangkan Pilpres bergabung di satu partai baruJika para elit partai sudi menghilangkan ego partai masing-masing, langkah ke arah system dua partai di Indonesia tak mustahil terwujud

Bermodalkan dua kali Pilpres, 2004 dan 2009, rasanya memadai menuju penyederhanaan partaiAlasan setiap orang berhak mengekspresikan kepentingannya, baik ras, agama, ideology suku dan daerah pun sangat terbuka di parpol yang ada di IndonesiaAspirasi Islam dan Kristen misalnya toh ditampung oleh partai semisal Golkar, PDIP, Partai Demokrat dan lainnya

Aspirasi umat Kristen juga bisa ditampung di PKS, PPP dan PBRSebaliknya, tak ada pula alasan bagi PDS untuk tak mendengar aspirasi umat MuslimSemua itu dimungkinkan karena penampilan  parpol yang kian moderat

Manuver koalisi yang mulai ramai mestinya menuju ke cita-cita besar ituJika sekedar hendak merebut kekuasaan, kematangan berpolitik kita menjadi berjalan di tempatDari Pemilu ke Pemilu, kita hanya menyaksikan jumlah partai yang berjibun, jumlah dana yang berhamburan secara mubazir

Pemilu dengan system multipartai pun selalu menghasilkan pemerintahan koalisi yang cenderung membagi-bagi kekuasaan, sehingga fokus kepada perwujudan kesejahteraan rakyat kerap terabaikanBeda dengan sistem dua partai, yang dengan mekanisme check and balances, memungkikan pemerintahan fokus kepada perbaikan hidup rakyat secara kualitatif.

Tak usah ragu bahwa koalisi yang berujung dengan fusi partai seolah-olah mengulangi fusi ala Orde BaruSebab, latar belakanganya berbeda bagai langit dan bumiJika dulu demi kepentingan rezim dan dipaksakan secara vertikal, sekarang justru demi kepentingan anak bangsa dan berlangsung secara horisontalBagaimana? **

BACA ARTIKEL LAINNYA... Golkar Bersatu dan Demokratis, Persepsi atau Realitas?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler