Cerita Emi, Syafrida dan Yusmiati, 3 Perempuan di Gang Warna-warni

Selasa, 13 Juli 2021 – 18:11 WIB
Gambaran Gang Warna-warni di Purus Kota Padang. Foto: Sonya Andomo/Padek

jpnn.com, PADANG - Gang Warna-warni, Purus, Padang Barat menjadi salah satu kawasan kumuh di Kota Padang, meski lokasinya paling dekat dengan kawasan pariwisata kebanggaan ibu kota Sumatera Barat itu.

Permukiman yang rumah warganya dicat dengan aneka warna itu hanya berjarak 50 meter dari bibir Pantai Padang.

BACA JUGA: Pembangunan Tol Trans Sumatra Berjalan Lambat, Gubernur Sumbar Bilang Begini

Potret kemiskinan tergambar. Tumpukan sampah, got yang kotor dan rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan seng bekas menjadi pemandangan yang hampir seragam di Gang Warna-warni.

Tidak semua air sisa pakai warga masuk ke dalam got, beberapa genangan air keputihan bekas cucian dibiarkan begitu saja di sudut-sudut rumah bersamaan dengan sampahnya.

BACA JUGA: Kemensos Ajak Tokoh Masyarakat Tekan Angka Kemiskinan

Kawasan yang terletak tepat di belakang Rusunawa Purus itu dihuni oleh padat penduduk yang rata-rata memiliki pekerjaan serabutan.

Mulai dari nelayan, penjaga toko, penjual camilan, hingga pemulung sampah plastik. Berkumpul di sana.

BACA JUGA: Pembebasan Lahan Tol Padang-Sicincin Bermasalah, 6 Pejabat Diperiksa, Duh

Hal itu membuat berbagai permasalahan sosial yang begitu rumit, salah satunya kemiskinan, pendidikan rendah dan angka kelahiran yang terus melonjak.

Salah satu warga ditemui oleh Padang Ekspres di Gang Warna-warni, Emi (42) berbgai kisah.

Suaminya bekerja sebagai tukang becak. Dia tidak mampu membuat ukuran kamar mandi menjadi lebih besar lagi, sehigga terpaksa harus mencuci piring di luar rumahnya.

Emi memiliki tujuh orang anak dan dua orang cucu. Namun, Emi tampak tidak memiliki beban yang cukup berarti di matanya.

"Saya menetap di sini semenjak usia 15 tahun, waktu itu baru menikah. Hingga sekarang saya menjalani kehidupan yang cukup bahagia dengan memiliki tujuh orang anak dan dua orang cucu," katanya.

"Tentu uang sebagai ojek becak tidak selalu membuat dapur mengepulkan asap, tetapi enggak usah dipikirkan saja,” tuturnya sambil lanjut menggosok piring yang bernoda minyak.

Dia juga menyatakan mendapat beberapa bantuan dari pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH). Namun, semenjak Februari lalu, bantuan berupa beras dan sembako itu berhenti ia peroleh.

Selain Emi, Syafrida, janda berusia 60, tinggal bersama anak bungsu dan satu orang cucu.
Dia memiliki tanggung jawab untuk menyekolahkan anaknya, ia bekerja sebagai buruh pembuat ketupat.

"Sudah lama saya menjadi janda, dan harus menghidupi seluruh anak-anak saya. Oleh karena itu saya membuat ketupat yang kemudian dijual kepada pemborongnya. Uangnya saya sisihkan untuk sekolah anak, dan kebutuhan makan. Meskipun tidak terpenuhi, kami juga memperoleh sumbangan anak yatim yang dapat menunjang kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak,” katanya.

Dia mengaku, meski berstatus janda dan masih memiliki tanggungan anak, ia tidak memperoleh bantuan sosial dari pemerintah.

Ida mengatakan bantuan yang ia peroleh hanya sekali, yaitu berupa beras tiga karung, telur, dan uang dengan jumlah Rp 500 ribu. Setelah itu, nihil.

Adapun Yusmiati juga mengeluhkan hal yang hampir serupa. Memiliki empat orang anak membuatnya cukup kesulitan untuk membuat dapurnya selalu mengepul.

Sejak suaminya meninggal, perempuan paruh baya itu menggantungkan hidup sepenuhnya kepada anak-anaknya.

“Dulu suami bekerja sebagai penyepuh emas, sehingga kebutuhan untuk hidup terpenuhi secara maksimal. Namun, semenjak ia meninggal, kadang untuk makan saja susah, apalagi untuk menyekolahkan anak. Untungnya kedua anak saya memilih untuk tidak melanjutkan sekolah dan bekerja sebagai penjaga toko, sehingga dapat mencukupi kebutuhan harian dan biaya kontrakan,” sebutnya.

Yusmiati harus mengeluarkan uang sebesar Rp 400 ribu untuk biaya kontrak rumah dan listrik setiap bulannya.

Ia mengatakan jika bukan dari dua anaknya, ia akan sangat kebingungan untuk mencari biaya tersebut.

Perempuan yang memiliki seorang cucu itu mengatakan beberapa kali memperoleh bantuan langsung dari pemerintah, tetapi bantuan tersebut tentu tidak mencukupi kebutuhannya secara penuh.

“Dulu saya pernah beberapa kali memperoleh bantuan langsung dari pemerintah, tetapi jumlahnya tidak cukup, ditambah lagi saya harus membayar kontrakan dan listrik setiap bulannya. Oleh sebab itu kedua anak saya berhenti sekolah dan memilih sebagai penjaga toko untuk menopang kebutuhan ekonomi harian saya,” ujarnya.

Lurah Purus Fajri Rahmad Ersya mengatakan sebanyak 140 KK menghuni gang yang dikenal juga dengan nama Tanah Ombak itu.

Mereka dibagi menjadi dua rukun tetangga (RT).

Lurah mengatakan bahwa gang tersebut dihuni oleh sebagian besar penduduk dengan pendapatan di bawah rata-rata.

“Dulunya profesi sebagian besar warga di sana yaitu berdagang di sepanjang Pantai Padang, tetapi ketika kebijakan adanya pemindahan area berjualan pada 2014 lalu, membuat mereka kehilangan mata pencaharian. Oleh sebab itu, sebagian masyarakatnya menjadi sangat miskin dan bekerja serabutan dengan pendapatan yang tidak menentu,” ujarnya.

Ia menyatakan sudah berbagai cara dilakukan untuk menangani permasalahan kemiskinan di sana, seperti program Kampung Keluarga Berencana (KB), dan penyetaraan pendidikan yang dibantu oleh Komunitas Tanah Ombak yang bergerak tepat di kampung tersebut.

Namun, permasalahan terbesarnya yaitu mayoritas penghuni gang sudah terbiasa dengan pola pikir miskin dan cukup sulit untuk mengubah kebiasaan tersebut.

"Kami sudah lakukan berbagai cara. Namun, membut perubahan di sana tentu memakan waktu yang cukup lama karena targetnya yaitu mengubah pola pikir atau kebudayaan warga,” kata Fajri.

Zurmailis, salah satu pencetus Komunitas Tanah Ombak mengatakan, dia pernah mengajak warga menjaga lingkungan bersama-sama, hidup bersih dan sehat.

Namun, kebiasaan itu tidak berlangsung lama, dan masyarakat kembali ke kebiasaan lama mereka.

"Beberapa rumah tidak dilengkapi dengan kamar mandi. Anak-anaknya memilih untuk kencing di depan rumahnya masing-masing. Hal yang paling konkret yang dapat dilakukan yaitu mulai membiasakan para anak-anak sekitar sini untuk berubah, meninggalkan kebiasaan buruk tersebut melalui pendidikan yang asyik,” ujar Dosen Sastra Indonesia Universitas Andalas itu. (al/padek)


Redaktur & Reporter : Adek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler