jpnn.com - Komunitas Langit Selatan sengaja memilih Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara untuk mengamati gerhana matahari total 9 Maret mendatang. Menurut mereka, Maba adalah lokasi terbaik mengamati gerhana. Berharap bisa menumbuhkan komunitas astronomi di sana lewat edukasi ke sekolah.
BACA JUGA: Ironi Naga Mekes jadi Naga Loyo
DHIMAS GINANJAR, Ternate
---------------------------------------------
BACA JUGA: Kisah Kuli yang Kini jadi Bos
JARUM jam masih menunjuk pukul 08.20 WIT. Tapi, udara sudah sedemikian terik saat 13 astronom itu tiba di Bandar Udara Sultan Babullah, Ternate, Sabtu (5/3).
Mereka adalah tim ekspedisi gerhana matahari total (GMT) Langit Selatan. Dalam payungan terik matahari Maluku Utara, 13 astronom tersebut bergegas bergerak.
BACA JUGA: MENGHARUKAN: Ayah Angkat Jokowi dapat Hadiah Mobil
Segunung peralatan untuk mengamati fenomena alam langka yang akan terjadi pada Rabu (9/3) itu segera dicek.
Terlihat dalam tumpukan troli, beberapa koper plastik tebal berwarna merah, hitam, maupun cokelat. Tempat penyimpanan yang diberi label Tim Ekspedisi Langit Selatan tersebut berisi peralatan seperti teleskop.
Rencananya, mereka melakukan pengamatan di Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. "Maba tempat terbaik untuk melakukan pengamatan," kata Avivah Yamani, astronom yang juga pendiri Langit Selatan
Sebab, terang Avivah, saat GMT terjadi, mereka berada di tengah jalur. Itulah sebabnya, waktu yang dimiliki untuk melakukan pengamatan jadi lebih lama, yakni 3 menit 17 detik.
Dia menceritakan tentang Komunitas Langit Selatan. Menurut dia embrio Langit Selatan muncul sejak 2004. Berawal dari media astronomi bernama centaurusonline.com yang diisi anak-anak ITB. Tujuannya ialah memberikan informasi yang benar mengenai astronomi.
Sebab, banyak hoax yang muncul saat itu. Namun, media yang dilanjutkan dengan penerbitan majalah tersebut gagal bertahan. Tiga tahun berselang, Avivah menyebut media itu berubah total menjadi Langit Selatan.
Nama tersebut dipilih karena para penggiatnya berada di belahan bumi selatan dan otomatis berbagi langit selatan. Sekarang komunitas itu berkembang menjadi media komunikasi dan edukasi astronomi di Indonesia plus komunitas astronomi berbasis dunia maya.
Sampai sekarang ekspedisi atas nama Langit Selatan sudah berlangsung tiga kali. Pertama, gerhana cincin di Lampung pada 2009. Lalu ekspedisi kedua di Ambon pada 2012 saat transit Venus. Ketiga adalah perjalanan kali ini menuju Maba untuk mengamati GMT.
Sebenarnya, untuk GMT tahun ini, Langit Selatan sempat mempertimbangkan melakukan pengamatan di Palembang, Sumatera Selatan. Namun batal karena beberapa alasan.
Salah satunya rawan hujan. Jika itu terjadi, praktis GMT akan tertutup awan. Selain itu, di Palembang GMT akan berlangsung pada pukul 06.20 WIB, ketika matahari masih rendah. Itu bakal menyulitkan pengamatan. "Prediksi cakupan awan di sini (Maba) juga lebih rendah dan kemungkinan hujannya rendah," kata Avivah.
Rencananya, mereka bertolak dari Ternate ke Maba Minggu (6/3) pagi. Perjalanan tersebut harus ditempuh dengan dua moda transportasi. Pertama dengan speedboat 30-45 menit dilanjutkan naik mobil sekitar enam jam.
Karena itu, seharian kemarin mereka menghabiskan waktu di Hotel Boulevard, Ternate, untuk menyiapkan berbagai hal.
Di antaranya merangkai alat solar scope yang polanya mirip dengan kamera lubang jarum. Juga kacamata matahari. Karena itu, perlengkapan untuk merangkai seperti gunting, kacamata kertas, cutter, dan black polymer ND5 pun mereka boyong ke lobi hotel.
"Kami juga ingin memberikan edukasi di Maba. Sebab, astronomi di Indonesia Timur belum terlalu dikenal," kata Avivah seraya menempelkan potongan black polymer ND5 tersebut.
Kacamata bergambar seperti topeng Bali itu akan disiapkan untuk masyarakat Maba yang ingin menikmati GMT. Corak Bali yang ada di kacamata kertas tersebut merupakan kreasi pendongeng kenamaan Indonesia Andi Yudha Asfandiyar. "Desainnya khusus untuk acara nanti. Belum pernah dipakai sebelumnya," ucap Avivah.
Hampir seribu kacamata yang disiapkan. Namun, bahan untuk edukasi itu tidak berasal dari kantong mereka sendiri. Kacamata yang dibuat Langit Selatan dibantu ITB 85, NAOJ, dan Hongkong. Selain itu, Langit Selatan menerima donasi berupa kacamata dari Australia dan Amerika.
Peraih gelar master untuk bidang studi astrofisika lanjut ITB tersebut menambahkan, bukan cuma kacamata yang mereka bawa. Tapi juga pengetahuan yang siap dibagikan kepada SMP dan SMA Maba. Acara itu dihelat besok (7/3).
Lokasinya adalah SMKN 1 Maba. Mereka akan mengundang tujuh atau delapan sekolah. "Dipusatkan di sana karena hanya sekolah itu yang punya genset. Kami juga bawa peralatan sederhana untuk mengamati matahari," katanya.
Pengenalan memang dilakukan pada satu sekolah saja untuk tiap-tiap jenjang. Sebab, Selasa (8/3) mereka harus mempersiapkan diri dan peralatan untuk pengamatan GMT. Mereka tidak ingin fenomena langka itu terlewatkan dengan cara yang kurang berkesan.
"Saat GMT nanti, siswa dan masyarakat boleh ikut kami untuk melakukan pengamatan," ucap dia.
Perempuan yang pernah menghabiskan masa kecil di Ambon tersebut ingin menumbuhkan minat terhadap astronomi. Siapa tahu, ada yang tertarik dan membentuk klub astronomi di Maluku.
Menurut Avivah, itu bukan mimpi di siang bolong. Itu pernah terjadi di Ambon saat mereka melakukan pengamatan transit Venus di ibu kota Maluku tersebut. "Ketika itu berakhir dengan berdirinya klub astronomi di sana. Kami juga berharap yang sama di sini (Maba)."
Selain itu, minat anak muda terhadap astronomi terus meningkat. Setidaknya, itu terlihat dari ketertarikan terhadap grup Facebook maupun statistik pengunjung website Langit Selatan yang terus bertambah. Bahkan, pembahasan soal GMT disebutnya mengalahkan informasi soal isu kiamat 2012. "Beberapa kali website Langit Selatan down. Kami memutuskan untuk membuat laman khusus GMT di gerhana.info," tambahnya.
Dalam dua minggu ini, laman gerhana.info menyedot 15 ribu pengunjung. Sedangkan Langit Selatan sampai 10 ribu. Avivah mengatakan, banyak informasi yang bermanfaat dan bisa dinikmati secara gratis.
Artikel yang paling banyak menyedot perhatian adalah soal bagaimana mengamati GMT dengan aman. Lantas infografis soal lintasan daerah yang dilalui fenomena alam itu. "Beberapa dipakai untuk ke sekolah. Seperti pengamatan lewat kamera lubang jarum. Kayak kita nyediain resource dan mereka sebar ke mana-mana," terangnya.
Fleksibilitas dan keinformatifan itulah yang membuat komunitas tersebut terus tumbuh. Apalagi, Avivah tipikal astronom yang seperti tidak punya lelah untuk berbagi ilmu. Dia tidak segan untuk menjelaskan fenomena alam secara ilmiah.
Apalagi, astronomi masih saja dikaitkan dengan banyak mitos. "Sekarang sudah nggak terlalu banyak. Tapi, semalam pas mau check in, ada petugas yang tanya kalau GMT boleh beraktivitas ke luar nggak. Aku jawab aja: nggak sekolah karena kan Nyepi (tanggal merah, Red)," candanya lantas tertawa.
Astronom Langit Selatan lainnya, Ferry M. Simatupang, mengatakan bahwa gerhana juga akan menjadi pintu masuk untuk mempelajari korona matahari dibanding snapshot korona lain. Tujuannya, melihat polanya dari waktu ke waktu. "Melalui gerhana juga bisa untuk mempelajari timing kontak pertama antara matahari dan bulan," ujarnya.
Momen itu bisa dimanfaatkan untuk mempelajari bagaimana dinamisnya rotasi bumi. Langit Selatan, kata Ferry, sangat tertarik dengan fenomena tersebut.
Karena itu, sejak jauh hari pembicaraan mengenai ekspedisi tersebut dilakukan. Meski harus mereka tebus dengan uang pribadi yang tidak sedikit, Ferry yakin pengamatan di Maba akan membawa hasil setimpal.
Sebelum proses pembuatan kacamata matahari selesai, untuk melepas lelah, Ferry pun menggoda teman-temannya. Dia memasang dua filter lensa untuk teleskop yang berukuran besar di mata.
Ferry pun jadi terlihat mirip mata besar Kesatria Baja Hitam. Bedanya, warna mata itu hitam karena filter ND5. "Pengamatannya nanti begini," katanya lantas disambut tawa teman-temannya. (*/c9/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Lereng Merapi Mulai Geram, Kasus Selok Awar-Awar Jangan Terulang
Redaktur : Tim Redaksi