Cerita Mantan Kopassus, Rahang Pernah Tertembus Peluru

Kamis, 07 Desember 2017 – 00:05 WIB
Kolonel Inf Hendri Wijaya. Foto: ANGGI PRADITHA/KALTIM POST/JPNN.com

jpnn.com - Hanya prajurit TNI yang punya kemampuan lebih bisa bergabung dalam Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Kolonel Inf Hendri Wijaya salah satunya.

----

BACA JUGA: Tanpa Bekal, Ratusan Prajurit TNI Terjebak di Rawa

KOMANDAN Kodim (Dandim) 0905/Balikpapan tersebut bercerita, instrumen apapun menjadi sangat penting bagi pasukan Kopassus saat bertugas.

Benda-benda yang bergerak dicermati, bahkan daun yang jatuh dari pohon. Semua mesti terpantau.

BACA JUGA: Sebar Fitnah Pakai Foto Pasukan Kopassus Berbaris

Kopassus memang jarang tampil dalam pemberitaan. Gerak-geriknya tertutup. Seperti pergerakan mereka di setiap misi yang mereka jalankan. Sunyi dan senyap.

Kerap ditugaskan di daerah rawan konflik, sejak 1995 hingga 2009, Hendri telah menjalani tugas-tugas menantang.

BACA JUGA: Panglima TNI: Jangan Cepat Pulang, Tugas Belum Selesai!

Dia bergabung dengan anggota Kopassus Grup 1 di Serang, Banten dan Grup 2 di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Tercatat dia pernah masuk Satuan Tugas (Satgas) Timor-Timur pada 1995-1996 dan dia kembali dipercaya bergabung pada operasi yang sama hingga September 1997.

Hendri juga ikut serta dalam Operasi Terpadu Aceh 2003-2004. Di mana saat itu dia mendapat mandat sebagai Komandan Kompi Para Komando (Parako) Kopassus.

“Saya membawa satu kompi ketika di Aceh. Berada di dalam hutan, selain kompas kami juga mengandalkan matahari. Seringnya kami kehabisan bahan logistik di tengah perjalanan, sehingga terpaksa mengonsumsi logistik wilayah,” ucapnya.

Maksudnya, sumber daya alam di sekeliling mereka tinggal. Ular dan biawak bakar merupakan hidangan istimewa. Dagingnya tentu saja berbeda dari daging ayam.

“Tekstur daging ular kan sedikit kenyal ya dari ayam,” celetuknya lalu tertawa kecil. Selama 14 tahun, menu itu sudah biasa baginya.

Sekalipun bukan menu favorit, ketika bekal logistik menipis, mau tak mau harus bertahan hidup dengan itu semua.

Jika pun tidak, mereka kerap mengonsumsi umbi ataupun buah-buahan yang tumbuh di hutan.

“Apalagi perjalanan atau tugas di dalam operasi terkadang tak menentu. Bisa memakan waktu belasan hari,” tambahnya.

Berada di daerah yang dikelilingi hutan belantara pun sudah menjadi hal biasa. Menggunakan taktik perang hutan dan antigerilya.

Di saat siang mereka akan beristirahat dan saat malam mereka melakukan pergerakan. Itu untuk meminimalisasi penggunaan senjata, sehingga keberadaan anggota Kopassus tidak diketahui musuh.

Di tengah lebatnya hutan, bak film-film action, ketika bertemu musuh gencatan senjata tak bisa dihindarkan. Baku tembak hingga pertumpahan darah terjadi.

Peristiwa itu meninggalkan kisah sendiri. Telak di depan mata dia menyaksikan peluru yang menembus tubuh rekannya.

Desingan suara senjata yang beradu itu dibanjiri darah. Pemandangan mengerikan tersebut masih terekam jelas di memorinya.

Bahkan, Hendri mengakui sempat terkena timah panas di rahang kanannya. Bersyukur peluru bisa dikeluarkan, dan bekas luka tersebut perlahan memudar.

“Kehilangan rekan satu letting saya di medan perang merupakan pengalaman tidak menyenangkan. Tangis, sedih dan amarah semua bercampur aduk. Kondisi di medan perang itu nyata, nyawa yang jadi taruhannya,” tutur lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) 1991.

Dandim kelahiran Lubuklinggau, 29 Juni 1970 ini juga pernah menjabat sebagai Komandan Kodim 1605/Atambua, Nusa Tenggara Timur (2013).

Permasalahan yang dihadapi di daerah tersebut sangat kompleks. Mulai dari perebutan lahan tinggal, pengungsian, maupun konflik SARA. Suasana mencekam, ditambah kepemilikan senjata ilegal sering didapati.

Itu membuatnya teringat akan peristiwa, Jumat (17/11) lalu. Ketika Peleton Intai Tempur (Tontaipur) Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) berhasil membebaskan 1.300 warga dean Desa Kimberly dan Banti, Mimika, Papua, dari tangan kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Operasi itu akhirnya diberi judul Operasi Raid dan Perebutan Cepat Area Kimberly Papua.

Dari informasi yang dia dengar, pembebasan November kemarin hanya memakan waktu 78 menit. Itu merupakan kebanggaan, apalagi tidak ada korban tewas.

“Jika dilihat medan perbatasan, Papua memang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan perbatasan di Timor Leste. Gejolak kelompok-kelompok di sana pun sebenarnya belum selesai,” ucapnya. (*/lil/rsh/k18)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kopassus dan Raider Kuasai Kimbeli, Kostrad Duduki Banti


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler