jpnn.com - SEBENTAR lagi Lebaran, para perantau mulai mudik dan sebagian sudah berkumpul dengan keluarga di kampung. Tapi, bagaimana bila harus berlebaran di negeri orang, terpisah jarak ribuan kilometer dari orang-orang tercinta? Apalagi di negara-negara minoritas muslim. Ternyata tidak selalu membuat sedih. Banyak pengalaman menyenangkan yang bisa didapat. Seperti apa?
------------------------
SAAT mengambil kuliah S-2 di Newcastle University, Inggris, Anintya Novitasari merasakan pengalaman berpuasa dan berlebaran tidak bersama keluarga. Untung, dia terbiasa merantau sejak sembilan tahun lalu. Komunikasi bisa dilakukan via Skype.
BACA JUGA: Mengintip Raisa dan Afgan yang Ikut dalam Quran Indonesia Project
Anin bercerita, meski berada di negara yang penduduk muslimnya tidak banyak, dirinya tetap merasakan suasana Lebaran. Sebab, ada moslem society dari berbagai negara yang menyelenggarakan salat Id. Di kampus Anin, ada beberapa mahasiswa muslim. Selain Indonesia, mereka berasal dari Iraq, Oman, dan Brunei.
BACA JUGA: Melihat Nasib Pegawai PSSI Setelah Disanksi FIFA dan Dibekukan Negara
”Salat Id diadakan di pusat kota. Waktu itu memanfaatkan ruang fitness dan futsal yang ada di mal Eldon Square,” tutur Anin. Kebetulan, lokasi salat Id tidak jauh dari asrama tempat tinggal Anin. Hanya sekitar 10 menit dengan berjalan kaki.
Dia juga tidak kehilangan tradisi saling berkunjung ke rumah kerabat seperti di Indonesia. Setelah salat Id, Anin dan teman-teman mahasiswa Indonesia berkunjung ke rumah ibu-ibu dari Indonesia yang mengadakan open house.
BACA JUGA: Angkut 1.525 Bambu via Kapal Laut hingga ke Hamburg
”Walaupun awalnya belum kenal, di sana jadi tempat berkenalan dan silaturahmi. Lumayan, bisa ngerasain opor, sambal goreng hati, seperti di rumah sendiri,” ungkapnya, lantas tertawa.
Belum selesai di situ, malamnya Anin dan teman-teman membuat acara memasak bareng. Jadi, meski jauh dari keluarga di tanah air, dia tetap merasakan manisnya berkumpul dan merayakan Idul Fitri bersama teman-teman di Inggris.
Sedangkan bagi Ina Rahmadianti, tahun ini akan menjadi pengalaman pertama merayakan Idul Fitri di negeri orang. Hampir setahun terakhir dia tinggal dan bekerja di Stockholm, Swedia.
Untuk Lebaran nanti, dia akan bergabung dengan komunitas muslim Indonesia di Stockholm yang secara swadaya mengadakan acara Lebaran, mulai salat Id hingga acara ramah tamah dengan menggunakan aula sekolah.
Perempuan yang berprofesi sebagai IT business analyst itu tidak terlalu kehilangan momen berkumpul dengan keluarga karena akan ditemani suami dan putrinya, Nadia. Sepanjang Ramadan ini, dia merasakan berpuasa dengan waktu yang lebih panjang, 20 jam.
Matahari bersinar hampir sepanjang hari. Pada pukul 22.00 sampai 02.00, langit hanya tampak seperti suasana senja, tanpa malam gelap. ”Walaupun tampak berat dan sebelumnya sempat ragu, justru kami lebih bisa memaknai setiap ibadah dan ternyata bisa puasa 20 jam,” tutur Ina.
Ina juga ikut acara buka bersama dengan komunitas muslim Indonesia di Stockholm. Salah seorang warga menyediakan rumah dan warga lainnya bergotong royong membawa hidangan. ”Yang hilang hanya suasana berbuka dengan keluarga dan makanan-makanan khas Indonesia,” kata dia.
Artis Cinta Laura yang sudah empat tahun tinggal di Los Angeles (LA), Amerika Serikat, bakal merasakan berlebaran tidak bersama keluarga. Tahun ini kali pertama dia berlebaran di luar negeri, sendiri. Sebelumnya, dia selalu pulang ke Indonesia, berkumpul dengan keluarga.
”Sedih, aku tidak akan mendapatkan suasana Idul Fitri di sini. Sekolah dan kantor tidak libur. Nggak ada keluarga, nggak ada makanan Lebaran,” ucap Cinta melalui sang mama, Herdiana Kiehl.
Apalagi, di antara orang-orang Indonesia yang dia kenal di LA, tidak ada yang muslim. Dia juga tidak berencana ikut acara Idul Fitri yang diselenggarakan konsulat jenderal RI.
”Malu, belum ada yang kenal. Kalau ada mama, pasti mama akan ajak aku ke sana,” kata perempuan yang tengah merintis karir internasionalnya tersebut.
Sang mama baru akan mengunjungi Cinta akhir Agustus atau awal September mendatang. Yang dia rindukan adalah momen kebersamaan dengan keluarga. Tahun lalu dia berkumpul dengan nenek, tante, dan sepupu di Jakarta. ”Nanti, pas Lebaran, aku bakal Skype sama mami dan papi biar nggak terlalu sedih,” ujar Cinta.
Cerita berlebaran bukan di kampung halaman sudah lama dirasakan oleh Vida Rabu. Perempuan asal Malang tersebut merayakan Lebaran di Kanada sejak 1997. ”Waktu itu kerja di sana. Masuk tahun 2000-an, saya menikah dan menetap di sana,” ungkapnya. Vida tinggal di Abbotsford, sekitar 90 km dari Vancouver.
Tantangan berpuasa, terutama buat mereka yang tinggal di negara empat musim, memang amat terasa.
Jerih payah saat puasa terbayar tuntas kala Lebaran tiba. Sebab, saat itu Wisma Indonesia di Vancouver mengadakan kumpul Lebaran. Kaum muslim maupun nonmuslim asal Nusantara tumplek bleg di sana.
Bahkan, perempuan asli Malang tersebut merasa seperti berada di rumah. Sebab, sang deputi konsulat jenderal adalah perempuan yang masih sekampung dengannya.
Namun, acara silaturahmi tersebut ternyata tidak memutus kekangenannya pada tanah air. ”Rawon, pecel lengkap, pangsit, peyek, kaastengels, dan es degan. Itu yang nggak ada tandingannya,” ucapnya. Sementara itu, untuk menghapus rasa kangen terhadap keluarga, Vida sekeluarga kerap chatting, baik saat Lebaran maupun di luar waktu Lebaran.
Pengalaman berlebaran di Benua Amerika juga dirasakan Arina Pradhita. Mahasiswi Jurusan Manajemen Universitas Brawijaya tersebut pernah tinggal setahun di Amerika Serikat. Selama 2009–2010, dia mendapat beasiswa YES. Di Illinois, dia punya cukup banyak teman berpuasa. Sebab, banyak muslim dari Asia Selatan dan Barat serta Afro-Amerika yang bemukim di wilayah itu.
”Lebarannya saat itu lupa di kota apa. Kami nyewa aula untuk salat, lalu dilanjut kumpul-kumpul di Konjen RI di Chicago,” ucap sulung di antara empat bersaudara itu. Selama seharian, dia bersama peserta pertukaran pelajar tersebut merayakan Lebaran sebelum kembali ke state masing-masing.
Yang istimewa, momen di Amerika Serikat itu merupakan kali pertama dia berhijab. Sebelumnya, Arin belum mengenakan kerudung. Meski tinggal bersama host family dan lingkungan yang mayoritas nonmuslim, dia tidak lantas terbawa. ”Alhamdulillah, selain nambah pengalaman, saya juga belajar banyak saat di sana,” tuturnya. (nor/fam/c11/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengikuti Upacara Tradisi Petekan, Tes Kehamilan ala Suku Tengger, di Desa Ngadas, Malang
Redaktur : Tim Redaksi