DI tangan seniman Joko Dwi Avianto, bambu dijadikan karya seni instalasi yang spektakuler. Karya itu akan dipamerkan di Frankfurter Kunstverein, Jerman, September nanti.
----------
Laporan Andra Nur Oktaviani, Bandung
----------
PERASAAN bangga sekaligus bingung langsung menyergap Joko Dwi Avianto sesaat setelah kurator Galeri Nasional Indonesia Asikin Hasan memberi tahu bahwa karyanya akan dipamerkan dalam rangkaian Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 di Frankfurt, Jerman, September–Oktober nanti.
Joko mengaku bangga karena karyanya pasti akan menarik perhatian publik yang menyaksikan pameran buku terbesar di dunia itu.
BACA JUGA: Mengikuti Upacara Tradisi Petekan, Tes Kehamilan ala Suku Tengger, di Desa Ngadas, Malang
Bagi Joko, inilah kali pertama dirinya berpameran di Eropa. Namanya pun diperkirakan makin dikenal dunia karena karya yang ditampilkan di Jerman tersebut ’’tidak biasa’’. Dia menggunakan ribuan batang bambu untuk merangkai seni instalasi itu.
Namun, perasaan bangga tersebut langsung luntur saat dia mulai memikirkan cara untuk membawa bambu-bambu itu ke Jerman. Jarak Indonesia ke Jerman tentu tidak dekat. Waktu tempuhnya pasti tidak sebentar.
BACA JUGA: Seperti Inilah Hari-hari Pertama Martunis di Sporting Lisbon
Apalagi bambu-bambu itu harus dikirim lewat jalur laut. Diperkirakan butuh waktu 35 hari untuk sampai di Jerman dengan menggunakan kapal laut. Itu pun tidak bisa langsung sampai di Frankfurt yang jadi lokasi pameran.
’’Kapal (yang mengangkut bambu, Red) nanti merapat di Hamburg, di kawasan utara Jerman. Dari situ barulah bambu dibawa lewat darat ke Frankfurt di Jerman bagian tengah,’’ tutur ayah satu anak tersebut kepada Jawa Pos saat ditemui di Nuart Sculpture Park Bandung, Minggu (5/7).
BACA JUGA: Yuli Yanika, Sudah Biasa Ngebut saat Membawa Jenazah
Sebelum dibawa melalui perjalanan darat ke Frankfurt, bambu-bambu itu harus dikarantina selama dua minggu. Sebab, bambu termasuk bahan organik. Itulah yang membuat Joko kepikiran. Dalam perjalanan yang sangat memakan waktu, bukan tidak mungkin bambu-bambu itu berjamur, berubah bentuk, hingga rusak dan tidak bisa digunakan.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah mengawetkan bambu agar tetap utuh. Namun, proses itu memakan waktu lama karena bambunya cukup banyak.
’’Awalnya saya siapkan dua ribu batang. Tapi, kemudian jadi 1.525 batang yang berangkat. Bukan 15 ribu batang seperti yang diberitakan di beberapa media,’’ tutur seniman asal Cimahi, Jawa Barat, tersebut.
Meskipun pengawetan tidak bisa dilakukan secara maksimal, Joko berharap bambu-bambu itu sampai dengan selamat di tempat tujuan. Dia juga berharap bisa mengulang pengiriman bambu ke Penang, Malaysia, 2013. Saat tiba di tempat tujuan, bambu-bambu Joko terselimuti kapas-kapas putih.
Awalnya, dia mengira bambunya berjamur dan rusak. Dia pun sempat khawatir. Namun, setelah dicek lagi, putih-putih seperti kapas itu ternyata busa air laut. Jangankan merusak, busa itu justru menjadi pengawet alami bagi bambu-bambu tersebut.
’’Jadi, salah satu cara alami untuk mengawetkan bambu adalah dengan merendamnya di air laut. Mudah-mudahan perjalanan ke Jerman bisa seperti itu,’’ tuturnya.
Bambu-bambu Joko itu diberangkatkan sejak 18 Juni lalu dan diperkirakan tiba di Jerman dalam waktu 35 hari. Sebelumnya, bambu-bambu tersebut dikirim dari Bandung ke Semarang via darat.
Di Semarang, bambu-bambu itu dipak ke dalam kontainer berukuran 40 feet dan langsung diberangkatkan ke Hamburg. Joko memilih Semarang sebagai titik pemberangkatan karena agen pengirimannya dinilai punya reputasi yang cukup baik.
Dia pernah melakukan pengiriman ke Singapura dari Jakarta. Namun, bukannya diperlakukan dengan sangat hati-hati, bambu-bambu itu justru dibanting karena dianggap sama dengan barang lainnya. Sesampai di Singapura, bambu-bambu tersebut sudah menjadi sampah.
’’Banyak yang hancur. Saya harus memilih bambu mana yang masih bisa digunakan. Setelah itu, saya tidak mau lagi mengirim dari Jakarta,’’ tegasnya.
Selain pengawetan pada batang bambu, Joko melakukan sertifikasi. Dia menuturkan, penyelenggara pameran meminta sertifikat kelayakan material. Terutama untuk daya tahan dari api.
Kebetulan, saat pameran nanti pada akhir September 2015, Jerman memasuki musim dingin. Saat musim dingin, orang cenderung menghangatkan badan dengan merokok. Apalagi instalasi Joko akan diletakkan di luar ruangan.
’’Lokasi pameran nanti memang tempat orang berkumpul. Nah, karena hawanya dingin, pengunjung biasanya lantas merokok. Itulah yang dikhawatirkan penyelenggara. Karena itu, saya harus melakukan sertifikasi terhadap bambu-bambu tersebut. Alhamdulillah lulus,’’ ungkap Joko yang sudah beberapa kali berpameran di luar negeri dengan instalasi bambunya.
Dia bercerita, begitu diberi tahu bahwa tema pameran kali ini adalah ’’roots’’, dia langsung memutar otak. Pohon menjadi hal pertama yang terlintas. Kebetulan, saat melakukan riset, dia melihat lokasi pamerannya, Frankfurter Kunstverein, dulu punya pohon-pohon di bagian depannya.
Namun, pohon-pohon tersebut kini sudah tidak ada. Nah, Joko lalu terpikir untuk menghadirkan kembali pohon-pohon itu di depan Frankfurter Kunstverein. Namun, kali ini pohonnya terbentuk dari rangkaian bambu karyanya.
Di luar itu, pohon punya makna yang cukup mendalam. Pohon merupakan tempat orang berkumpul. Hampir semua alun-alun di Indonesia punya pohon yang menjadi titik temu. Di Alun-Alun Jogjakarta, misalnya, ada dua pohon beringin di tengahnya. Di Cimahi yang merupakan kampung halaman Joko juga seperti itu. Itulah yang akhirnya membuat Joko yakin untuk menghadirkan pohon di lokasi pameran.
’’Judul karya saya nanti Big Tree. Bentuknya memang pohon besar dengan empat base di bawahnya. Karya itu akan diletakkan di depan galeri,’’ jelasnya.
Joko menyatakan, ada empat footing (kaki-kaki) yang akan menahan ’’batang’’ pohon bambu karyanya. Footing itu terbuat dari semen yang dibentuk kotak berukuran 1 x 1 meter yang dalamnya diisi pipa-pipa. Pipa-pipa tersebut nanti diisi bambu-bambu yang menjadi konstruksi ’’pohon’’ itu.
Ada sekitar 25 bambu petung yang dimasukkan ke pipa-pipa di dalam footing itu. Konstruksi tersebut dapat menahan ’’daun-daun’’ pohon bambu berukuran 10–12 meter di atasnya. Untuk membuat ’’pohon’’ bambu itu, Joko mengalokasikan waktu selama 21 hari. Dia tidak bekerja sendiri. Dia dibantu tiga asisten dan seorang bagian dokumentasi.
’’Semua kami kerjakan sendiri. Kalau merekrut pekerja dari Jerman, bayarnya mahal. Sehari Rp 1 juta. Saya tidak kuat membayarnya,’’ ujar alumnus ITB itu.
Bagaimana halnya dengan hawa dingin di Jerman nanti? Joko tidak khawatir. Dia justru merasa terbantu. Sebab, berdasar pengalamannya, bambu akan semakin kukuh dan kuat jika disimpan di tempat yang dingin. Yang dia khawatirkan justru saat pembuatan seni instalasi tersebut. Dengan suhu udara yang cukup dingin, mereka butuh effort lebih untuk bekerja di luar ruangan.
’’Rata-rata suhu di sana 3-15 derajat Celsius. Dengan suhu 9 derajat Celsius saat survei beberapa waktu lalu saja, tangan saya sudah tidak bisa menekan tombol kamera. Apalagi di bawah itu,’’ tandas Joko. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Upaya Tim Peneliti UI Menawarkan Air Laut dengan Limbah Tahu-Tempe
Redaktur : Tim Redaksi