Mengikuti Upacara Tradisi Petekan, Tes Kehamilan ala Suku Tengger, di Desa Ngadas, Malang

Yang Hamil di Luar Nikah Didenda 50 Sak Semen

Selasa, 07 Juli 2015 – 07:37 WIB
TRADISI LAMA: Rendra Kresna (berkopiah) menyaksikan upacara petekan di Desa Ngadas, Kabupaten Malang. Upacara itu melibatkan para gadis dan janda di kalangan suku Tengger. Foto: Doli Siregar/Radar Malang

jpnn.com - Suku Tengger yang tinggal di Kabupaten Malang punya tradisi unik. Namanya tradisi petekan. Dengan tradisi itu, kehamilan perempuan Tengger dari hubungan di luar nikah akan diketahui.

Laporan Kurniawan Muhammad, Malang

BACA JUGA: Seperti Inilah Hari-hari Pertama Martunis di Sporting Lisbon

TRADISI petekan berlangsung di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Di desa itulah suku Tengger di wilayah Malang tinggal. Selain di Malang, suku Tengger hidup di pegunungan Tengger di Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, dan Lumajang.

Desa Ngadas termasuk desa tertinggi di Pulau Jawa karena berada di ketinggian 2.000–3.000 meter di atas permukaan laut. Lokasinya sekitar 8 km dari puncak Gunung Bromo. Sedangkan dari Kota Malang berjarak 32 km. Setiap tahun semakin banyak wisatawan ke Bromo yang menempuh jalur itu (dari Malang). Pemandangan di jalur tersebut jauh lebih indah ketimbang jalur ke Bromo lewat Surabaya–Probolinggo.

BACA JUGA: Yuli Yanika, Sudah Biasa Ngebut saat Membawa Jenazah

Di Desa Ngadas yang berlokasi di lereng barat daya pegunungan Tengger, tinggal sekitar 1.800 warga suku Tengger. Mereka tersebar di dua dusun, Ngadas dan Jarak Ijo.

Dalam struktur masyarakat Tengger, ada yang ditunjuk sebagai dukun adat. Dia dibantu dua orang. Yakni, wong sepuh yang tugasnya berkaitan dengan kematian dan Pak Legen yang bertugas dalam hal perkawinan warga Tengger. Dia juga bertugas untuk melaksanakan tradisi petekan. Selain dukun adat, ada dukun bayi yang juga dilibatkan dalam upacara petekan.

BACA JUGA: Upaya Tim Peneliti UI Menawarkan Air Laut dengan Limbah Tahu-Tempe

Bagaimana tradisi petekan dijalankan? Tradisi itu dilakukan setiap tiga bulan sekali. Biasanya wong sepuh yang mengumumkan bila akan ada upacara tradisi turun-temurun itu. Wong sepuh kemudian memberi tahu Pak Legen yang lalu diteruskan kepada dukun bayi.

Upacara petekan dilangsungkan di tempat tertutup di rumah Pak Legen saat malam, pukul 19.00–21.00. Peserta upacara yang harus ikut para perempuan yang sudah beranjak dewasa namun belum menikah serta para janda yang masih dalam usia subur.

”Yang ikut petekan tidak hanya warga yang tinggal di Ngadas. Mereka yang tinggal di luar desa atau sedang merantau, begitu diberi tahu ada petekan, mereka harus pulang,” kata Bupati Malang Rendra Kresna yang pernah melakukan penelitian untuk disertasi di bidang ilmu sosial pascasarjana Universitas Merdeka Malang.

’’Bahkan, jika akan ada petekan, aparat desa diterjunkan untuk menjemput warganya yang berada di luar Ngadas,’’ tambahnya.

Petekan berasal dari kata dipetek (Jawa, ditekan). Dalam upacara itu, si dukun bayi memang menekan dan meraba perut para perempuan peserta petekan. Yang ditekan dan yang diraba adalah bagian perut di antara pusar dan kemaluan.

”Ini kalau dalam dunia medis disebut teknik palpasi, yang biasa dilakukan para bidan untuk mendeteksi keberadaan janin di dalam perut,” jelasnya.

Dukun bayi yang melakukan petekan, dengan kemampuan yang dimiliki, akan bisa mendeteksi apakah perempuan yang diperiksa sedang hamil atau tidak. Bahkan, kadang bisa juga dideteksi apakah si perempuan yang diperiksa itu masih perawan atau sudah tidak perawan.

Petekan niku nek sing perawan nggih tes perawan. Nek janda nggih tes kehamilan (Petekan itu kalau yang perawan ya untuk tes keperawanan. Kalau janda untuk tes kehamilan, Red),” kata Tugik, 29, warga Ngadas.

Yang jelas, tujuan upacara petekan adalah mencegah agar tidak terjadi hubungan seks dan kehamilan di luar pernikahan. Bagaimana jika dalam tradisi petekan itu diketahui ada yang hamil di luar nikah?

Dukun bayi yang melakukan upacara petekan memang bisa mendeteksi kehamilan pada usia 1,5–2 bulan. Jika berdasar hasil pengecekannya ada yang hamil di luar nikah, akan berlaku hukum adat. Bila yang hamil di luar nikah itu berstatus gadis, pria yang telah menghamilinya akan dicari. Jika pria yang menghamili berstatus belum menikah atau belum berkeluarga, pasangan itu akan didenda harus membayar masing-masing 50 sak semen kepada desa. Tak peduli apakah yang terkena denda tersebut dari keluarga mampu atau dari keluarga tidak punya. Setelah itu, mereka akan dinikahkan secara adat maupun secara agama.

Hukuman yang lebih berat akan dijatuhkan kepada perempuan hamil di luar nikah dengan pria yang sudah berkeluarga. Jika itu yang terjadi, si pria akan didenda 100 sak semen, sedangkan si perempuan harus membayar 50 sak semen. Selanjutnya, pasangan tersebut dipermalukan. Yakni, keduanya harus menyapu jalanan desa hingga bersih, mulai ujung atas hingga ujung bawah jalan yang ditentukan. Tak cukup hanya itu. Pihak perempuan dan keluarganya akan dikucilkan warga.

Terakhir, pasangan tersebut akan dinikahkan, tapi hanya secara adat. Tidak secara agama. Dan, umur pernikahan tersebut hanya sampai si perempuan melahirkan anaknya. Setelah itu, si laki-laki harus menceraikannya.

”Karena dalam masyarakat Ngadas tidak dikenal poligami. Jadi, kalau ada pria yang sudah berkeluarga sampai menghamili wanita lain di luar pernikahan, dia hanya wajib mengawini secara adat wanita itu. Selama menjadi suami adat, si suami tidak boleh mendekati istrinya, apalagi sampai berhubungan intim,’’ ujar bapak empat anak itu.

Hukum adat petekan tersebut, kata Rendra, ternyata sangat efektif untuk menciptakan efek jera bagi warga Tengger. Buktinya, tradisi itu bisa mencegah atau mengurangi angka pemerkosaan atau perbuatan asusila lainnya di kalangan warga Tengger.

”Dengan adanya hukum adat itu, wanita Ngadas menjadi sangat berhati-hati dalam bergaul dengan pria,” ujarnya.

Tradisi petekan ini hingga kini terjaga dengan baik di kalangan warga Tengger. Padahal, menurut literatur, tradisi itu sudah ada pada 1772, sejak Desa Ngadas terbentuk. ”Bagi masyarakat Tengger, seks adalah sesuatu yang sangat sakral. Nah, tradisi petekan ini dibikin dalam rangka untuk menjaga kesakralan seks itu,” imbuhnya.

Masyarakat Tengger meyakini bahwa bencana alam atau wabah penyakit akan datang bila mereka tidak bisa menjaga kesakralan seks. ”Kalau di antara mereka ada yang hamil di luar nikah atau ada yang berhubungan intim di luar pernikahan, dan itu tidak terdeteksi lewat petekan, maka akan ada tanda-tanda alam yang tidak wajar atau wabah penyakit. Ini menurut cerita tokoh masyarakat atau para sesepuh di desa itu,” cerita Rendra.

Tanda-tanda alam tersebut, misalnya, ayam berkokok sebelum waktunya, ada jejak kaki harimau di jalan desa, dan warga diserang penyakit secara masal. ”Pernah suatu saat banyak para wanitanya muntah-muntah, perutnya mual, padahal mereka tidak sedang hamil,” jelasnya.

Dalam kondisi seperti itu, Pak Legen atas perintah dukun adat akan langsung mengadakan upacara petekan, di luar tradisi rutin tiga bulan sekali. ”Benar saja, begitu dilakukan petekan, ternyata memang ada yang hamil di luar nikah. Kalau sudah demikian, yang bersangkutan harus diberi sanksi dan gangguan alam serta penyakit yang sebelumnya menyerang akan hilang dengan sendirinya,” tandas dia. (*/c10/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wow, Begini Rasanya Melintas Tol Cipali yang Bersolek Menjelang Arus Mudik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler