Cermin dari De Soto dan Yunus (1)

Sabtu, 30 Januari 2010 – 04:52 WIB
ANTHONY Reid pernah meneliti dan menyimpulkan bahwa Indonesia adalah salah satu bagian dunia yang urbanBukan negeri petani

BACA JUGA: Orang-orang yang Revolusioner

Setidaknya di sekitar abad ke-15 hingga 17.

Kota terpenting, kala itu adalah Malaka, Tuban, Banten, Gresik, Surabaya dan Aceh di bawah Iskandar Muda pada 1607-1636
Di semua kota itu tak sebidang sawah pun ditemukan

BACA JUGA: Sleeping Money, Bangunkan Saja

Mereka lebih cenderung mengimpor beras dari Thailand, atau secara lokal dari Mataram
Kala itu, Nusantara dikenal sebagai negeri maritim yang makmur.

Kota-kota itu, menurut Reid, berpenduduk di antara 50 ribu sampai 100 ribu, mirip dengan di Eropa

BACA JUGA: Matahari Tak Bertanya Kepadamu

Saat itu hanya Napoli dan Paris yang berpenduduk 100 ribu jiwa.

Arus balik terjadi ketika Portugis merebut Malaka sebagai pelabuhan transito perdagangan pada 1511, dan dalam kurun panjang Singapura jatuh ke tangan Inggris pada 1854 (Traktat London)Sejak itu, Indonesia bergeser menjadi kerajaan pedalaman yang fokus kepada dunia pertanian.

Indonesia itu ironiBagian terbesar dari wilayahnya adalah lautanSehingga lebih tepat jika dinamai sebagai negeri lautan yang berpulau-pulauBukan negeri kepulauanTragisnya, laut dianggap sebagai pemisah antarpulauPadahal mestinya adalah penghubung, seperti kata Pramoedya Ananta Toer.

Tak heran jika kekuatan TNI AD lebih kuat dibanding TNI-ALJangan kaget jika illegal fishing pun merajalelaYales Veva Jaya Mahe, tinggal kenangan belaka.

***
Tapi bukankah kita negeri petani? Jika merunut teori-teori comparative advantage dari David Ricardo, diyakini bahwa Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang luas dan kaya akan lebih sukses jika fokus kepada sektor pertanian.

Sementara AS dan Jepang cocok untuk industri mobil, karena keunggulan tekonologi dan knowledgeTernyata teori itu dibantah oleh Paul Krugman, kolumnis New York Times, peraih Nobel Ekonomi 2008.

Fakta menunjukkan ternyata AS juga unggul di industri pertanian dengan cost yang irit dalam skala besar, yang dipasarkan pula secara globalIndonesia sebagai bagian dari masyarakat global akhirnya dimasuki oleh impor beras dan kedele dari ASLogis belaka, kita kalah bersaing.

Jadi meskipun stok pangan kita cukup, dan mungkin terjangkau oleh masyarakat, tetapi petani kita tetap saja miskinSoalnya, harga yang diterima petani jauh lebih rendah dibanding yang dibayar konsumen di pasar.

Barangkali, itu sebabnya dirasa perlu membantu petani dengan berbagai kreditMungkin, mirip kredit Bimas-Inmas di masa Orde BaruSampai ada pameo, bahwa Bimas adalah singkatan dari, maaf, "Biar Mati Asal Stan"Dilanjutkan dengan KUT, dan ada juga pameonya, kaut-mengkaut.

Hasilnya, mengecewakanBanyak kredit macet, baik karena puso dilanda hawa wereng, maupun karena tidak bankableTak lagi rahasia kala itu, ada motivasi politik pemenangan sebuah partai, sehingga sasaran kredit melenceng.

***
Sekarang di era reformasi ini, melalui Peraturan Menkeu 17 Juli 2007, dilansir pula KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi)Ternyata, banyak kendala yang dialamiSelain trauma karena "gagal kredit” di masa lalu, penyebab penting lainnya adalah tidak adanya agunan petani.

Profil petani tidaklah miskin-miskin amatPetani di Sumut ternyata 81,6 persen punya rumah meski luasnya kurang dari 100 meter persegiMereka juga punya sawah sendiri walau rata-rata di bawah 0,5 hektare (58,7 persen)Bahkan ada yang di antara 0,6 hingga 1 hektare sebanyak 28,2 persenDi atas dua hektare ada 4,9 persen.

Mestinya ini modal utama meraih kredit ke bankAgunan utama mereka adalah diri mereka sendiri, yang secara kultural telah bertani secara turun-temurunSudah mendarah daging, merasuk ke ubun-ubun dan ke sukmaMereka bukan tergolong "mendadak petani" berdasi.

Saya tiba-tiba terkenang Hernando De Soto, ekonom asal Peru ituOrang miskin menjadi miskin bukan karena tak punya modalMelainkan karena negara tidak melegalisasi aset-aset merekaDe Soto menganjurkan agar pemerintah mendata ulang aset si miskin dan memberikan mereka sertifikat agar bisa meminjam modal ke bank, sehingga masuk ke sektor formal dalam sistem ekonomi pasar.

Mereka punya rumah dan sawah, tapi mengapa dibiarkan menjadi dead capital alias modal mati? Begitulah, De Soto menulis dalam buku Mistery of Capital pada 2000 silam.

***
Tatkala meresmikan Fakultas Pertanian di Bogor pada 1952, Bung Karno memberi judul pidatonya "Soal Hidup atau Mati""Kalau masih seperti sekarang, tahun 1960 kita impor sekian juta ton beras, tahun 1970 kita tekor sekian juta ton," katanya.

Inspirasi Bung Karno, agaknya, adalah Presiden AS Abraham Lincoln pada 1859"Pertanian membuat kita saling tenang, saling bersahabat dan bersatu," kata Lincoln dalam pidato pada 1859.

Hampir satu setengah abad kemudian, mulai terdengar suara bahwa Indonesia harus lepas dari perangkap pangan negara maju dan kapitalisme globalSebagai negeri agraris, alangkah memalukan jika kita masih impor beras, kedele, gula, pakan ternak dan sebagainya.

Bedanya, Lincoln bertindakSaat itu, keluarlah Homestead Act pada 1862Tanah negara per unit seluas 65 hektare dijual kepada petani dengan harga murahKini di AS, jumlah petani menyusut jadi  2 persen, tapi masing-masing memiliki sekitar 190-200 hektare per petani.

Ironisnya, di Indonesia, muncul Agrarische Wet pada 1870, cikal-bakal UU AgrariaBukannya negara memberi tanah kepada rakyat, tetapi tanah rakyat diberikan kepada pengusaha swastaBelakangan ada pula yang menjadi lapangan golf, villa dan sebagainya.

Tahun yang sama di AS lahir Morril Act yang jadi landasan Land Grant dan Sea Grant sehingga universitas mendirikan fakultas pertanian lengkap dengan lahan dan risetnyaHasilnya produksi kapas melonjak 200 persen, apalagi petani di sana dilindungi dengan lebih 100 UU(Bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Makna Kepergian Gus Dur


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler