Matahari Tak Bertanya Kepadamu

Jumat, 08 Januari 2010 – 20:18 WIB
MATAHARI tidak pernah bertanya kepadamu kapan ia terbit dan tenggelamTiba-tiba sekarang sudah 2010, padahal sorak-sorai kampanye Pemilu 2009 rasanya masih terngiang-ngiang di gendang telinga

BACA JUGA: Makna Kepergian Gus Dur

Bahkan, mereka yang sekarang berusia sekitar 60-an tahun, bisa membayangkan gelora demonstrasi anak-anak muda pada 1966 mengganyang Orde Lama.

Kala itu, saya masih anak SMA
Saya ingat banyak yang dilanda euforia bahwa perjuangan telah selesai

BACA JUGA: Dahlan, Small is Beautiful

Sampai-sampai RRI saat itu kerap memperdengarkan lagu "Sorak-sorak Bergembira" pertanda perjuangan telah dimenangkan
Tapi seiring waktu berjalan di saat uban mulai tumbuh satu-satu di kepala, saya merasa kemenangan itu semu belaka.

Zaman hanya berulang

BACA JUGA: On Time Tidak On Time

Ketika kita berhasil mengusir kolonial yang hendak kembali bercokol pada 1945-1949, sejarah menulis betapa era demokrasi parlementer berkecamukPolitik sangat berkuasa, menjadi "panglima" sampai kemudian dikoreksi oleh Orde Baru, walau anehnya kembali diulangi Orde BaruApa yang ia kecam malah ia lakukan.

Di masa Orde Baru, politik menjadi mesin yang mengatur kehidupan publik, bahkan pribadi, walaupun pembangunan berkiprah di permukaanDemokrasi dan ekonomi "kekeluargaan" tegak, tapi jika Anda tak termasuk "keluarga", ya, tersingkir dari "rumah politik dan ekonomi" Orde Baru.

Kita ingat orang-orang Petisi 50 bahkan mati hak-hak keperdataannya, seperti Ali Sadikin dan kawan-kawanWarga Kedungombo diusir dari tanah mereka karena sebuah waduk besar akan dibangun, sementara "ganti untung" mereka belum jelasSinar Harapan dan Tempo pernah dibredelPartai hanya boleh tiga, sehingga PPP bahkan lebih "Golkar" dibanding Golkar.

Memang, mahasiswa merayakan tumbangnya Orde Baru pada 1998Tetapi, lagi-lagi kita kembali gandrung berpolitikGus Dur disokong menjadi presiden, kemudian dijatuhkanMegawati naik, lalu Yudhoyono, tetapi keranjingan berpolitik selalu mencemaskan.

Untuk siapa sebenarnya mereka berpolitik? Untuk rakyat, yang katanya, dibela atau semata demi kekuasaan, baik bagi yang belum dan sudah berkuasa?

Anehnya, kaum miskin dan pengangguran tetap mencemaskan sejak era BJ Habibie hingga YudhoyonoProgram "beras miskin" dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) entah kapan berakhir, dengan pengertian orang-orang lemah itu telah berhasil naik kelas alias diberdayakanMelestarikan mereka bukannya kebaikbudian, tetapi kegagalan.

Sebaliknya demokrasi semakin gagahSistem multipartai lebih demokratis, seperti halnya sistem pemilihan langsungAnggota parlemen kita semakin vokal, bahkan kadang sesama mereka melontarkan kalimat tak senonoh seperti dipertontonkan dalam sidang Pansus Bank Century.

Padahal, demokrasi itu tatanan, dan cita-cita yang menggairahkan kehidupan, termasuk perekonomianBukan cuma sekadar membuka keran politik selebar-lebarnyaNah, itu dia: perekonomian! Pentas ini yang kurang digeluti, jika tak disebut kurang populer karena memang susah untuk menjadi headline.

Bahkan, pentas perekonomian kerap diguncang oleh kaum politik, sehingga kapan lagi bisa bekerja, seperti pernah dikeluhkan oleh Jusuf Kalla, semasih ia menjadi Wakil PresidenMestinya politik adalah energi yang mendorong ekonomiPolitik mengawal perekonomian agar tak menerkam rakyat, yang masih banyak bergelimang dengan kemiskinan dan tanpa pekerjaan.

Saya kira, APBN dan APBD itu politik perekonomianPara politikus di DPR dan DPRD bersama kaum birokrat merekayasa anggaran agar dunia usaha dan masyarakat diberi ruang untuk bertumbuhRegulasi izin satu pintu, tanpa pungli, akses ke bank okePokoknya merangsangBukan mematikan.

Eh, belum 100 hari pemerintahan baru, muncul Perdagangan Bebas China-ASEANIni juga "politik perekonomian"Perang antara free market dan ekonomi nasionalIbaratnya, kita diserbu selagi sedang "tidur" nyenyakGugup dan gagapLintang-pukang.

Tapi perhatian politikus bagai luput dari kasus iniBayangkan apa yang terjadi jika ribuan produk China yang lebih bermutu, massif, bisa masuk ke Indonesia dengan bea 0%Dipastikan sektor industri kita kalah bersaing, dan barangkali akan beralih menjadi pedagang, trader, sehingga lambat atau cepat akan terjadilah de-industrialisasi.

Apalagi jika politik terlalu akrobatik, dan bernafsu merebut kekuasaanDunia usaha akan cemasLalu, wait and seeMacetTrauma masa silam berjangkit: era politik-politikan bangkit bagai zombie? Investor minggatDevisa dan multiplier effect  terbangRakyat sebalKemudian, menangis!

Mestinya, politik itu api dan ekonomi itu airMaka tanaklah air dengan api sehingga terhidang kopi yang aduh nikmatnyaJangan pertentangkanTapi godaan politik selalu berkilauan sehingga bisa mengakibatkan panggung ekonomi semakin muramBahkan, lama-lama gelap tanpa seberkas cahaya.

Sebaliknya, jika politik menjadi air dan ekonomi adalah api, maka si "api" akan padam jika disiram dengan airOngkosnya akan sangat mahalJika para menteri dan dirut BUMN asyik dipanggil ke DPR, lalu dicecar dengan berbagai soal yang sebetulnya akan dipertanggung-jawabkan pada waktunya, maka waktu akan habis hanya untuk "berbalas pantun" di parlemen.

Gejala heavy polititics ini tak hanya di pusat, tetapi juga di daerahTak heran jika terbetik kabar bahwa banyak provinsi yang belum melaporkan APBD-nya ke pusat karena belum disahkan oleh DPRDGejala itu juga terjadi di tingkat kabupaten dan kotaPadahal, APBD kabupaten dan kota itu menyangkut kepentingan masyarakat, tetapi tersandera oleh berbagai konflik dan kepentingan politik.

Fenomena ini tampaknya yang belum menemukan formula dan porsinya sedari dulu hingga kiniKetika kita asyik bertengkar, matahari tak pernah bertanya kapan ia hendak terbit dan tenggelamTahu-tahu 2010 pun lewat, dan menyusul 2011 dan 2012Sementara bejibun masalah masyarakat belum juga tertunaikanOh, politik, bisakah Anda lebih ramah? (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Prita Sukses, Tiananmen Berdarah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler