Orang-orang yang Revolusioner

Jumat, 22 Januari 2010 – 15:00 WIB
INDONESIAKUSepuluh ribu mahasiswa akan berderap langkah bergerak mengepung istana dan meminta Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono mundur dari jabatannya

BACA JUGA: Sleeping Money, Bangunkan Saja

Jika tak ada aral melintang, aksi itu berlangsung pada 28 Januari 2009, persis 100 hari pemerintahan baru
Kita ingat 1966 dan 1998, mahasiswa selalu saja mendabik dada dengan gairah teks yang bergelora.

Sebaliknya, kita yang sudah tua ini lebih menggemari perihal yang kata kita “rasional dan logis”

BACA JUGA: Matahari Tak Bertanya Kepadamu

Bahwa hidup tak sekadar meneriakkan yel-yel yang menggugat dan mengacung-acungkan tinju.

Hidup juga membutuhkan solusi, sederet kata-kata bijaksana yang kedengarannya sudah lelah karena kita bosan diamuk oleh krisis
Kita trauma harus antri beras, gula, minyak tanah, atau apalagi jika bertikai sesama, dan darah membasahi tanah ibu pertiwi.

“Kita juga muak didera kekecewaaan,” balas mahasiswa

BACA JUGA: Makna Kepergian Gus Dur

Kasus Lapindo belum selesaiKorban tsunami Aceh belum semua tertampungKisah Munir belum terang benderangKasus Bank Century juga belum tuntas, dan sebagainya.

Tokoh seperti Mahfud MD tentu akan bilang bahwa Pemilu dan pemilihan presiden (Pilpres) baru saja usai, tapi inilah  sebuah sistem formal dan sah untuk suksesi kepemimpinan nasionalTentu saja peristiwa politik itu belum menyelesaikan soalIni hanya sebuah fundamen, dan ikhtiar bangsa, Negara dan rakyat berjalan di atasnya.

Demikianlah halnya, teman sebangsakuSelalu saja si pragmatis-gradual berseberangan dengan si revolusionerYang terakhir ini, jika “meja-meja” sudah kotor, mereka cenderung mencampakkannya, dan lalu mencari meja yang baruIbarat gunung merapi yang meletus, kelak setelah reda,  maka lembah  semakin subur.

Sebaliknya si pragmatis hanya lebih alotSelangkah demi selangkah menuju kondisi yang lebih baikMeja yang bau anyir perlahan  dibersihkan seraya memakai maskerPersis peredaran matahahari yang lamban dari fajar hingga tenggelamAlami, walau membuat tak sabar“Sabar itu bukan dosa,” kata si pragmatis.

Dua-duanya punya kelemahan dan kekuatan masing-masingYang satu menghardik, yang lain terlalu manis.

Lalu, apa yang harus kita katakan kepada anak-anak muda itu? Lagi-lagi suara yang bijak, walau kau sebut sudah lelahBahwa sejarah tak bisa kita susun semau impian kita, karena orang lain juga punya impian yang beragamDus, berbagai ikhtiar yang beda dan sama akan saling berinteraksi membentuk solusi dengan logika dan dinamikanya sendiri.

Kita lelah bertengkar sejak 1945, 1950-an, 1966 dan 1998Mengapa tidak berani dan tulus bersintesa di jalan tengah,  dan kemudian berproses menuju kuala sejarah? Apakah sejarah hanya terdiri dari pertikaian-pertikaian, sedang dengan Belanda kita berunding di Linggarjati, Renville, Konferensi Meja Bundar?

 *
Ilusi kadang suka bertebaran di angkasa pemikiran sebagian orangTermasuk tentang aksi 28 Januari 2010Jika hari itu  benar-benar ada gerakan 10.000 mahasiswa mengepung istana negara, dan meminta duet SBY-Boediono turun panggung, akankah tragedy Soeharto dan Gus Dur yang lengser dari tahtanya kembali terulang?

Saya tidak ahli revolusiTapi saya membayangkan bahwa selembar daun tua akan luruh dari ranting pohon kendati tak ada badaiTetapi jika badai bertiup kencang, bahkan dedaunan hijau juga gugur, berikut ranting, cabangnyaBahkan, pohonan itu terserabut bersama akar-akarnya.

Unsur daun tua dan badai itu yang tidak menggejala dalam iklim sosial politik di negeri ini, hari-hari ini

Dedaunan melapuk, mungkin adalah metafor dari barisan eksekutif, para menteri kabinet koalisi, tetapi toh mereka tidak terusik oleh gebrakan Pansus CenturyTak terlihat adanya perpecahan kabinet seperti di zaman SoehartoKita ingat kala itu sejumlah menteri mundur dari kabinet, seperti Ginanjar Kartasasmita dan Akbar Tandjung.

Jika hanya demonstrasi mahasiswa saja, tanpa diikuti kerusuhan massif di Jakarta, dan beberapa kota besar di Inonesia pada 1998, Soeharto tidak akan lengser, apalagi  jika nilai rupiah tidak terjun bebas dari Rp2.500 menjadi Rp 17.500 per USDBelum lagi oleh faktor banyak bank yang bangkrut karena diembus oleh krisis moneter dan berubah menjadi krisis multidimensional yang mengakibatkan instabilitas nasional.

Prasyarat revolusi itu tak menggejala baik secara vertikal dan horizontal seperti pada bulan Mei 1998 silam di bulan Januari 2010 iniApakah saya salah banding, dan salah baca, tolong diluruskan.

Memang ketakpuasan kepada pemeritahan baru yang berusia 100 hari pada 28 Januari 2010, terdengar jugaBacalah media cetak dan elektronik.  Tapi rakyat tak turut resah gelisahSopir angkot di berbagai kota terus saja ngebut kejar setoranPetani kesal harga jual yang diterimanya tak setebal untung saudagar beras, tapi mereka tidak berunjukrasa ke istana negara.

Ketakpuasan terdengarTapi seberapa banyakkah yang simultan tergerak otomatis ikut mengepung istana negara? Jika tidak dengan fisiknya, setidaknya dengan batinnya?

Jangan-jangan gerakan ini elitis belakaSah sajaBetapapun demonstrasi adalah ekspresi dari demokrasiMereka mungkin kecewa, seperti banyak orang, tetapi solusinya tak samaKalangan elitis walau tak semuanya mengendaki perubahan rezim, tetapi rakyat lebih menghendaki perubahan nasibSama tapi tak serupa

Perubahan itu kehendak zamanDia harus matangTak dikarbit-karbitOrang yang memuja revolusi memang heroisTetapi jika tidak menggejala secara sosiologis, politis, psikologis, dan oleh faktor ekonomi yang morat-marit dan meletupkan kemarahan masal, ia hanya ilusiFatamorganaIa ada di otak kecil, yang lalu padamSenyap.***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan, Small is Beautiful


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler