'Sleeping Money', Bangunkan Saja

Jumat, 15 Januari 2010 – 10:41 WIB
SLEEPING money alias "dana tidur", apa pula itu? Metafor ini diilhami istilah "lahan tidur" yang tersia-sia tak digunakan untuk produksiPadahal jika digunakan untuk pertanian padi, logikanya akan menaikkan produksi pangan, apalagi jika "lahan tidur" itu cukup luas.

Supaya terang-benderang, contohnya adalah dana APBN yang dialokasikan ke daerah, melalui APBD

BACA JUGA: Matahari Tak Bertanya Kepadamu

Beberapa waktu lalu, terbetik kabar bahwa di banyak provinsi, banyak sekali "dana tidur" yang tidak terpakai hingga batas akhir tahun anggaran.

Tahun ini, berbagai provinsi juga kecipratan dana DIPA (Daftar Isian Proyek Anggaran) dari APBN 2010
Kita berharap tidak ada lagi "dana tidur" menjelang akhir tahun.

"Dana tidur" itu tidak efisien, malah merugi

BACA JUGA: Makna Kepergian Gus Dur

Jika dipakai membangun jalan, maka efek multiplier-nya tak sedikit
Kalau ditunda, dananya bisa membengkak jika digunakan untuk proyek yang sama tahun depan, baik karena kenaikan harga bahan maupun karena inflasi.

Pengguna anggaran niscaya tepat waktu mengambil keputusan

BACA JUGA: Dahlan, Small is Beautiful

Bukan justru di akhir tahun yang pasti terburu-buruPengerjaan di lapangan yang kian terlalu singkat pun akan mengancam standar dan kualitas.

Tapi kok, pengguna anggaran gamang? Apakah karena khawatir jika terjadi kesalahan kemudian dituduh korupsi? Maklum, gebrakan si "tiga huruf" alias KPK kini ditakuti pengguna dana proyek.

Sebetulnya positif sajaOrang mulai berpikir (panjang) melakukan perbuatan korupsiTapi di sisi lain, fenomena ini menunjukkan seakan-akan penegakan hukum menjadi momokPadahal, hukum pada galibnya tak pernah bertentangan dengan pembangunanBukankah ada adagium, "solus populi lex supreme"? Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi!

Salah satunya adalah dugaan korupsi APBD Langkat di Sumatera Utara senilai Rp 102,7 miliar, yang akan dibawa dalam rapat Komisi III DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang rencananya digelar akhir bulan iniAnggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan mengatakan, dalam rapat itu nantinya dia akan menanyakan progres pengusutan perkara ini.

Mantan ketua komisi yang membidangi masalah hukum itu juga akan mempertanyakan status uang Rp 62 miliar yang sudah dikembalikan mantan Bupati Langkat, Syamsul Arifin, yang kini Gubernur Sumut, ke kas Pemkab Langkat.

Trimed, begitu ia biasa dipanggil, menilai status uang yang sudah dikembalikan itu perlu ditegaskanMestinya, KPK melakukan penyitaan uang tersebut, karena tugas KPK adalah menyelamatkan uang negara"Penyitaan bukan berarti uang itu diambil untuk dibawa ke KPKYang penting dibuatkan surat penyitaan, uang bisa tetap ada di daerah," ujar mantan pengacara itu kepada JPNN di gedung DPR, Senayan, Kamis (14/1).

Politisi dari PDI Perjuangan itu menjelaskan, (bahwa) memang pengembalian uang yang diduga terlibat kasus korupsi, tidak harus diserahkan ke KPKDalam kasus korupsi di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim, Syaukani yang saat itu masih bupati, mengembalikan uang juga ke kas daerah"Tapi KPK langsung membuatkan surat penyitaanNah, kenapa untuk kasus Langkat ini belum, nanti akan kita tanyakan," ujarnya.

Namun, dia percaya KPK punya alasan sendiriBisa saja, penyitaan yang Rp 62 miliar itu belum dilakukan karena masih tahap penyelidikan"Bisa saja belum disita karena belum dijadikan tersangkaMakanya, nanti kita tanyakan apa alasannya," kata Trimed.

Dalam kesempatan yang sama, Trimed juga menyatakan keyakinannya bahwa kasus Langkat ini akan tetap diproses KPK hingga tuntasJika muncul kesan lamban, katanya, ini semata-mata demi kecermatan dan kehati-hatian saja"Karena KPK itu beda dengan kepolisian dan kejaksaanKPK itu tidak mengenal SP3Ya, Syamsul harus siap-siap saja," ujar Trimed enteng, tanpa menjelaskan lebih lanjut apa maksud kata 'siap-siap saja' itu.

Trimed menegaskan, sebagai wakil rakyat Sumut di Senayan, dirinya akan mengawasi penanganan perkara ini"Saya pasti mengawal kasus ini," ucapnya.

Tapi tunggu duluApakah berarti karena kelambanan KPK, maka dana sekitar Rp 60 miliar yang dikembalikan mantan Bupati Langkat Syamsul Arifin ke kas Pemkab Langkat pada Desember 2009 lalu itu menjadi "dana tidur", atau sebaiknya dimanfaatkan saja untuk pembangunan di Langkat?

Orang keuangan bilang dana itu jelas merupakan "penerimaan dan lain-lain" di kas Pemkab LangkatKonsekuensi logisnya, ia harus masuk ke APBD-P mendatang, dan kemudian dialokasikan penggunaannya untuk kepentingan pembangunanAda dana, kok dibikin menganggur?

Boleh jadi, otoritas di Langkat, baik eksekutif dan legislatif, khawatir menjamah dana ituPadahal, kasus di Langkat itu masih "tahap penyelidikan", belum "penyidikan", dan karenanya dana Rp 60 miliar itu belum berstatus apa-apa secara hukum.

Jangan-jangan kasus sejenis juga ditemukan di banyak provinsi, kabupaten dan kota di IndonesiaAlangkah sayangnya jika menjadi "dana tidur", mirip orang-orang tua di zaman dulu menyimpan uang di bawah kasurPadahal, kalau ke bank ada bunganyaKalau diputarkan dalam bisnis akan memacu pertumbuhanJadi mengapa yang "tidur" itu  tak dibangunkan saja?

Gejala ini menunjukkan interplay antara "penegakan hukum" dan roda pembangunanPadahal, solus populi lex supreme! Apa solusinya agar penegakan hukum seiring sejalan dengan pembangunan? Bagaimana ini, Bapak-Ibu?

Kasus ini dan kasus-kasus sejenis, toh tak bisa dianggap menghilangkan barang buktiBisa dibikin berita acaranya, termasuk berita acara jika dana itu digunakan untuk proyek demi kepentingan umum.

Lagipula, unsur terpenting dari korupsi adalah merugikan keuangan negaraJika sudah dikembalikan, setidaknya unsur itu tak terpenuhi, sehingga bisa meringankan hukumanHakim-hakim modern yang radikal bahkan berani membebaskannyaMengapa tidak?

Justru membiarkan dana itu "tertidur" tanpa status mirip-mirip "lahan tidur", yang tidak produktifBagaimana sih sebetulnya hukum memandang kasus seperti ini? Apakah bagai "memakai kacamata kuda" tanpa melihat kerugian yang diderita publik karena membiarkan dana itu menganggur? (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... On Time Tidak On Time


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler