Chandra Menilai Langkah KPK Menetapkan Marsdya Henri Alfiandi Tersangka Sudah Benar

Sabtu, 29 Juli 2023 – 18:56 WIB
Penyidik KPK perlihatkan barang bukti uang tunai yang disita dalam operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan korupsi suap pengadaan barang di Basarnas, pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2023). ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

jpnn.com, JAKARTA - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai penetapan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi tersangka suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah benar.

Hal itu disampaikan Chandra merespons pernyataan pimpinan KPK yang mengaku khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI terkait kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi di kasus suap Basarnas.

BACA JUGA: Sebegini Harta Kepala Basarnas Marsdya Henri, Ada Pesawat Terbang

Dalam pendapat hukumnya, Chandra menilai langkah penyelidik dan penyidik KPK sejauh ini tidak melebihi kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (UU).

"Menurut saya sudah benar jika merujuk UU Peradilan Militer dan UU KPK," kata Chandra dalam pendapat hukumnya kepada JPNN.com, Sabtu (29/7).

BACA JUGA: Anggota Densus 88 Bripda IDF Tewas Tertembak Senpi Rakitan Ilegal

Dalam pendapat hukumnya, Chandra mengajak publik memahami kewenangan KPK, Peradilan Militer, dan Pengadilan Tipikor.

"Hal ini merujuk Pasal 42 UU KPK," lanjut mahasiswa doktoral itu.

BACA JUGA: Didatangi Anak Buah Panglima TNI, KPK Mengaku Khilaf, Minta Maaf Proses Hukum Kepala Basarnas

Chandra menjelaskan bahwa Pasal 42 UU KPK menyatakan KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

Kemudian, Pasal 89 Ayat (1) KUHAP menyatakan; apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subjek hukum yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan peradilan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum.

"Pasal 89 Ayat (1) mengamanatkan suatu pesan kuat untuk mendahulukan peradilan umum daripada peradilan militer," lanjut Chandra.

Berikutnya, kata dia, hal itu diperkuat oleh UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menjelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham) perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

"Oleh karena itu, selama belum ada keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham) maka KPK masih dapat memungkinkan (punya kewenangan, red) berdasarkan undang-undang Peradilan Militer," tuturnya.

Menurut Chandra, perlu diketahui kapan perkara koneksitas diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer. Terkait itu, rujukannya mengacu pada UU Peradilan Militer, yaitu untuk menentukan apakah lingkungan peradilan militer yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara koneksitas, diukur dari segi "titik berat kerugian" yang ditimbulkan tindak pidana itu.

Apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kerugian lebih banyak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Jika titik berat kerugian ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada lebih banyak kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan militer.

Apabila kerugian yang ditimbulkan tindak pidana titik beratnya merugikan “kepentingan militer”, sekalipun pelaku tindak pidananya lebih banyak dari kalangan sipil, pemeriksaan perkara koneksitas akan dilakukan oleh lingkungan peradilan militer.

"Selama kerugian yang ditimbulkan tidak merugikan kepentingan militer, sekalipun pelakunya lebih banyak dari militer, berlakulah prinsip perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan umum," tutur Chandra.

KPK sebelumnya telah menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi (HA) sebagai tersangka lantaran diduga menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.

Wakil Ketua KPK Alexander menerangkan dalam perkara itu penyidik menetapkan lima tersangka, yakni Kabasarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.

Kemudian Komisaris Utama PT. Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan (MG), Direktur Utama PT IGK (Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya (MR), dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.

Kasus tersebut terungkap setelah penyidik lembaga antirasuah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7) di Cilangkap dan Jatisampurna, Bekasi.(fat/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler