jpnn.com - YOHANES de Capsetrano Jambru Pasirua. Bocah asal Kabupaten Ende yang biasa dipanggi Chano itu, mengharumkan NTT hingga level internasional karena kepiawaiannya bermain musik.
Alexius Raja Seko, Ende
BACA JUGA: Salut si Penjaga Hutan, Tidak Dapat Gaji, Nyawa Jadi Taruhan
CHANO kecil kala itu belum genap tiga tahun. Dia merengek-rengek, bahkan berguling-guling di tanah meminta ibundanya untuk membeli harmonika saat keduanya berbelanja di sebuah pasar. Tidak digubris sang ibu, tangis sang bocah semakin menjadi-jadi.
Akhirnya luluh sudah hati sang bunda yang kemudian membeli harmonika untuk buah hatinya. Inilah awal kisah Chano yang pada akhirnya bisa berlaga di Kejuaraan Dunia Seni Pertunjukan atau “World Championship Perfoming Arts” (WCOPA) 2016” di Long Beach, California, AS, 7-19 Juli 2016. Dia berhasil meraih sukses yang sangat luar biasa.
BACA JUGA: Dicemooh, Dikejar Orang Bawa Golok, Akrab dengan Binatang Buas
Sepenggal kisah mengawali bincang wartawan TIMOR EXPRESS (Jawa Pos Group) bersama ibunda Chano, Ermelinda Ndiki di rumahnya di jalan Anggrek kelurahan Paupire kecamatan Ende Tengah, Minggu (31/7).
Dengan rasa haru dan berkaca-kaca, dia menceritakan kisah sukses sang buah hati yang memenangkan medali emas dan plakat bergengsi saat mengikuti ajang kompetisi di California AS.
BACA JUGA: Kisah Mama Alegonda, Berjualan Sagu Demi 3 Anak Asuhnya
Meski terasa lelah karena baru pulang dari kampung, Ermelinda dengan senyumnya masih mau diajak berbincang soal keberhasilan anaknya di pentas dunia.
Chano lahir pada tanggal 24 November 2004 dari keluarga asal Maukaro, Ende, NTT. Ayahnya Kristoforus Jambru dan ibunya, Ermelinda Ndiki. Chano, memiliki dua adik yaitu Yohanes de Brito Affrettando Pasirua dan Yohanes Accelerando Pasirua.
Dalam keseharian, demikian tutur Linda, Chano sejak kecil tidak lepas dari Harmonika. Ke mana-mana alat musik tiup itu selalu dibawanya. Talenta seni terlihat manakala Chano kecil tengah menonton tayangan televis khususnya acara musik.
"Dia pasti berdiri dekat televisi untuk memperhatikan. Orang yang sedang main piano atau keyboard. Meski kita larang karena akan membahayakan kesehatan mata, namun dia tidak menggubrisnya," kenang Ermelinda.
Darah seni Chano kata Ermelinda dari sang ayah yang adalah seorang pemusik. Sejak masa kuliah di Jurusan Tenik Informatika-Fakultas Teknik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, sang ayah sering tampil dan mengisi acara baik di dalam maupun luar kampus.
Ayahnya yang tamatan Sekolah Menengah Seminari Mataloko ini, kemudian mengikuti kuliah di ISI Jogjakarta namun hanya sampai semester III. Keluarga tidak mendukung karena takut masa depan anak mereka suram jika hidup sebagai musikus. Karena itu dia melanjutkan kuliah di Unwira Kupang.
Darah musik sang ayah Kristo diwariskan ke putra sulungnya Canho. Demikian cerita Ermelinda yang mengaku melihat Chano selalu menggerakkan tangan dan kaki layaknya orang tengah bermain piano ketika mendengarkan lagu-lagu atau menonton tayangan TV acara musik.
Cerita keluarga ini, selepas kuliah di Kupang, Canho dan keluarga kembali ke Ende. Di Ende, ayah dan ibunya bekerja di Pemerintah Kabupaten Ende hingga sekarang ini. Sang Ayah bekerja di kelurahan Lokoboko kecamatan Ndona. Sedangkan ibunya di Sekretariat Daerah sebagai Sekretaris Bupati Ende.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang abdi negara, Kristo Djamru membuka lembaga kursus musik yang diberi nama Affrettando Music Course.
Kehadiran kursus ini, setidaknya bukan untuk menjalankan bisnis namun hanya menjadi media penyaluran hobinya di bidang musik. Tentu juga untuk mengasah anak-anaknya dalam bermusik.
Lembaga kursus ini, tidak saja diperuntukkanbagi anak-anak di seputaran kota Ende, namun Canho juga belajar musik secara profesional melalui lembaga kursus ketika dirinya baru menginjak usia 3 tahun.
Sejak menjadi siswa di Affrettando Music Course, Canho telah mengikuti berbagai ajang konser yang diselenggarakan di Ende maupun kota-kota lainnya di Pulau Flores.
Linda sang ibu terus bercerita, selain mengikuti berbagai ajang konser sebagai peserta, Canho terus diasah kemampuan bermusik dalam tajuk konser tunggal di beberapa kota. Di Ende, misalnya, konser dilaksanakan saat berusia 10 tahun tepatnya 07 November 2014.
Sementara itu di Maumere, Chano melakukan konser tunggal tanggal 19 Desember 2014 di usianya yang ke 9 tahun. Di Mbay, sebut Linda lagi, konser digelar 14 Februari 2015 dimana usianya saat itu 10 tahun; Kemudian di Ende, 05 April 2015 dan terakhir di Mataloko, 27 Januari 2016 saat itu berusia 11 tahun. Inilah catatan perjalanan bermusik Chano sang anak ajaib.
Berbagai ajang konser di daratan Flores sudah digelar, Canho melalui orang tuanya pun melirik ajang yang bertaraf internasional. Kesempatan itu datang dengan adanya informasi dari World Championship of Performing Art (WCOPA) Indonesia sekitar akhir Desember 2015. WCOPA Indonesia menyelenggarakan audisi untuk kejuaraan dunia seni pertunjukan dari peserta seluruh Indonesia yang memiliki bakat di bidang seni pertunjukan seperti vokal, tarian, musik instrumen, modelling, dan acting. (bersambung/boy/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kematian Suami jadi Titik Balik Kehidupan Sulastri
Redaktur : Tim Redaksi