Citibank dan Praktik Premanisme Eksklusif

Oleh : Rhenald Kasali

Senin, 04 April 2011 – 09:09 WIB

DUA peristiwa besar memorak-porandakan CitibankNasabah kartu kreditnya tewas di tangan debt collector dan seorang karyawannya diduga ’’menilap’’ dana nasabah

BACA JUGA: Harta Malinda di Mancanegara Tetap Aman

Yang satu menimbulkan kesan perusahaan asing itu melakukan praktik pelanggaran HAM, jauh dari sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
Yang  kedua mengesankan kurang aman bagi nasabah.

Hampir setiap hari saya membaca liputan-liputan dan editorial berbagai media massa yang secara implisit mengatakan bahwa bank tersebut hanya peduli mendapatkan nasabah sebanyak-banyaknya, merusak tatanan sosial dengan merangsang pemakaian kredit konsumsi, lalu menekan yang kesulitan membayar.

Liputan televisi secara intensif juga menurunkan talk show dengan narasumber pimpinan etnik tertentu yang diketahui masyarakat sebagai koordinator debt collector

BACA JUGA: Umar Patek Tertangkap, Zulkarnain Pegang Komando

Talk show itu menambah kesan korporasi menumbuhsuburkan praktik premanisme eksklusif berbasis simbol-simbol agama atau etnik telah menjurus kepada kekerasan dan perpecahan bangsa


Jangankan merekrut debt collector, merekrut tenaga sekuriti atau manajer saja kita harus menjauhi praktik-praktik sempit yang mengedepankan hal-hal yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan diskriminatif

BACA JUGA: TKI Arab Saudi Ditemukan Tewas di WC

Hanya penjajah Belanda yang dulu membagi-bagi profesi anak bangsa berdasar etnik dalam politik devide et impera.

Korporasi yang terlibat bisa saja berkelit mereka bukan karyawan tetap, melainkan tenaga outsourcingTetapi, itu tidak cukup menghibur kemarahan publik karena outsourcing tidak ada dengan sendirinya.

Outsourcing adalah sebuah pilihan, diambil secara sadarApalagi, korban tewas di halaman korporasi yang seharusnya memberikan pelayanan dan perlindungan kepada nasabahnyaSedangkan kejahatan orang dalam juga bukan hal baruSemua terjadi karena ada atasan yang lalai dan sistem yang tidak bekerja.

Strong Brand

Kejadian di atas merupakan ujian bagi konsep brand equity yang dikenal luas para eksekutif bisnisMenurut konsep itu, brand yang kuat menimbulkan kepercayaan,  membuat nasabah bersedia membayar lebih, dan kalau melakukan kesalahan, konsumen cenderung ’’memaafkannya’’.

Dal am kasus pembobolan dana, nasabah masih dapat memaafkannyaPerusahaan telah cepat mengatakan bahwa semua kerugian ditanggung bankSaya tidak melihat kegelisahan signifikan mewarnai perilaku nasabah CitibankApalagi, rata-rata nasabah bank tersebut self confidence-nya di atas rata-rata.

Yang signifikan justru entertainment terhadap MD melalui jaringan media sosial yang kebetulan kaya cerita, mulai usia, suami, harta, hingga soal fisikJadi secara bisnis, dalam jangka pendek, Citibank praktis tidak akan mengalami banyak gangguan

Bagaimana jangka panjangnya? Saya melihat ketidaknyamanan justru beredar di kalangan pendidik dan para penggiat civil society, seperti para aktivis HAM, pluralisme, dan persatuan bangsa, serta para social entrepreneurDi kalangan itu, dua kasus tersebut menjadi perbincangan yang hangat dan menimbulkan rasa antipati yang besar kepada korporasi besar. 

Bila dulu Citibank Peka pernah dikenal, kini ia terkesan lebih sibuk dengan urusan bisnisPadahal, hampir semua bank sangat aktif mendukung kegiatan sosial yang dilakukan masyarakatBNI agresif dengan kampanye green-nya, Mandiri men-support kewirausahaan, serta Niaga dan Danamon besar-besaran mendukung pendidikanDemikian pula BTN, BTPN, BJB, HSBC, BCA, dan NISPSemua terbuka terhadap proyek-proyek sosial dari masyarakat

Di mana Citibank? Jangan-jangan hanya orang Citibank yang tahuDi kalangan aktivis sosial dan pendidik, sumbangan Citibank tidak signifikan.

Dalam bidang jasa, apalagi jasa kepercayaan, mustahil strong brand dipertahankan hanya dengan teknologi dan servisKeterlibatan karyawan dan perusahaan dalam perbuatan sosial signifikan impaknya keluar dan ke dalam, mereduksi arogansi

Alih-alih giving back to society, perusahaan yang arogan malah merusaknyaKebesaran sebuah bank berpotensi membentuk arogansiDan arogansi dapat memudarkan posisi strong brandItu tampak dalam upaya bank meng-handle krisisJauh sebelum kejadian meledak, setiap krisis mengirim signal-awal

Kala arogansi membelenggu, strong brand mengabaikan signal-signal kecil itu sehingga kesaktiannya memudarAmbil saja contoh betapa seringnya nasabah kartu kredit mengeluh tentang perilaku debt collector etnik tertentu yang mengancam hidup mereka melalui surat-surat pembacaDan Anda lihat sendiri, Bank Indonesia (BI) maupun strong brand terkait mengabaikan ituSampai terjadilah ledakan itu

Anda bisa berkomunikasi lewat public relations, tetapi tidak bisa merevisinyaSaya perlu mengingatkan para eksekutif agar berkontribusi  untuk  membangun masyarakat majemuk ini dengan mengedepankan tata nilaiIni tidak hanya berlaku bagi Citibank, tetapi juga untuk bank-bank dan perusahaan yang lain(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ary Muladi Keberatan Bibit-Chandra Jadi Saksi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler