PALANGKARAYA - Sepanjang 2010, ada 243 pilkada (pemilihan kepala daerah)Hingga awal Juni ini saja, sudah berlangsung sekitar 50 pilkada
BACA JUGA: Hanura Dukung Dana Aspirasi
Menurut Ketua Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Nur Hidayat Sardini, dua kasus yang paling disorot adalah amuk massa dan pencoblosan tembus."Kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah ternyata cukup besar karena berujung pada amuk massa," kata Nur Hidayat Sardini, ketua Bawaslu, di sela-sela pengawasan di pemilihan gubernur Kalimantan Tengah di Palangkaraya kemarin (6/6)
BACA JUGA: Peringati 1 Juni, PDIP Gelar Wayang Kulit
Angka itu cukup tinggiBACA JUGA: Dana Aspirasi Bisa Tekan Mafia Anggaran
"Ada politik uang yang menjadi indikasi penyebab aksi massa ini," ujar Hidayat.Kedua aksi kerusuhan itu belum seberapaTiga kerusuhan dalam pilkada Sibolga (Sumut), Mojokerto (Jatim), dan Bengkayang (Kalbar) memiliki skala yang lebih besarDi Mojokerto, misalnya, terjadi perusakan fasilitas dinas milik kabupatenKerugian daerah pun tak terhindarkan.Menurut Hidayat, jika terdapat kerusuhan, pihak yang dianggap bersalah adalah KPU dan pengawas pemiluStigma itu seharusnya tidak terjadiSebagai penyelenggara pemilu, KPU memiliki tugas melaksanakan setiap tahapSementara pengawas pemilu sesuai dengan fungsinya adalah sebagai wasit atas pelanggaran pemilu yang terjadi"Tugas untuk penanganan kerusuhan tetap saja pada pihak keamanan (kepolisian, Red)," ujarnya.
"Antisipasi atas potensi kerusuhan itu sejatinya sudah dilakukan pengawas pemilu setempatDi pilkada Sibolga misalnya, panwas sudah meminta pihak keamanan agar mengantisipasi potensi kericuhan saat penghitungan suaraNamun, panwas tidak memiliki fasilitas tersendiri untuk mengawal proses ituKericuhan saat penghitungan suara pun tak terhindarkan"Pengawalan itu penting, terutama pada hari-hari H -7, H +7, dan saat pemungutan suara," jelasnya.
Tidak kalah, kasus yang juga marak terjadi adalah masalah coblos tembusBeberapa terjadi sangat masifMulai Lamongan, Medan, Ngawi, Phakpak Barat, hingga Surabaya adalah contoh pilkada yang memiliki kasus coblos tembus yang masif"Sejatinya hampir di semua daerah," kata dia"Menurut Hidayat, penyebab utama kasus coblos tembus adalah desain surat suara pilkadaKerap ditemui pengawas pemilu bahwa para pemilih tidak sepenuhnya membuka surat suara"Petugas terkadang lupa mengingatkan, dan saat diserahkan sudah terlipat," tuturnya.
Seharusnya setiap KPU mengundang para ahli ergonomiMereka mampu mendesain surat suara yang bisa terbuka secara utuhHal itu pernah dilakukan KPU pada pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009"Jika tidak, sebaiknya surat suara sudah diserahkan dalam posisi terbuka saat akan memilihSebab, pemilih biasanya kan sudah menentukan pilihannya," ujarnya.
Dari catatan Bawaslu, puluhan pilkada harus diselesaikan di tingkat Mahkamah KonstitusiMenurut Hidayat, ada 24 pilkada yang sudah mengajukan gugatan di MKSebagian besar gugatan itu ditolak MKApakah penolakan itu dilakukan karena kerja penyelenggara yang sudah berhasil? Menurut Hidayat, penyelenggara pemilu masih memiliki catatan atas sejumlah pelanggaranNamun, hal itu tidak memengaruhi hasil akhir dari sebuah pilkadaRata-rata para penggugat yang maju ke MK seperti mencari keberuntungan, andai saja putusan KPU bisa diubah"Ya ibaratnya kipas-kipas cari angin, namun ternyata gugatannya lemah," sebut Hidayat.
Lebih lanjut, alasan para penggugat maju ke MK, bagi Hidayat, menunjukkan sikap tidak siap kalah dalam pilkadaHal itu merupakan salah satu faktorKetika terdapat penyelenggara pemilu yang tidak benar, saat bersamaan ada keinginan untuk jadi pemenang"Akhirnya menggugat ke MKSebab, itu diperkenankan dan dimungkinkan oleh UUDMaka, peluang itu sering dimainkan," jelasnya(bay/c4)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Teras Teratas, Hanya Terpaut 3 Persen
Redaktur : Tim Redaksi