jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Corps Puteri Muslimin Indonesia (Copmi) Zahra meminta polemik Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggu harus disikapi serius.
Menurutnya, kehadiran negara sangat diperlukan untuk menindak para pelaku kekerasan seksual terutama bila terjadi di lingkungan pendidikan.
BACA JUGA: Kekerasan Seksual di Indonesia, Korban Terbanyak di Kampus dan Pondok Pesantren
Mulai dari tinggat SMP, SMA, hingga masuk ke dalam Perguruan Tinggi (PT).
Oleh karena itu Zahra turut mendukung agar Pemendikbudristek tersebut segera diterapkan di seluruh lembaga pendidikan di Indonesia.
BACA JUGA: Surat Novia Widyasari Ungkap Kekerasan Seksual yang Dialaminya Secara Terperinci
Dengan begitu bisa mencegah timbulnya korban baru sehingga bisa mencegah para pelaku melancarkan aksinya kembali.
"Intinya kami mendukung hukuman seluruh tindakan kejahatan seksual, termasuk hubungan di luar pernikahan," kata Zahra di Jakarta.
BACA JUGA: Permendikbud ini Disebut Berorientasi Melindungi Korban Kekerasan Seksual
Dia menambahkan pihak berwajib harus bisa mengusut tuntas semua laporan-laporan terkait kekerasan seksual terutama yang terjadi terhadap perempuan.
Mengingat para korbannya tidak hanya mendapatkan luka secara fisik tetapi juga mental dan trauma yang mendalam.
Meski ikut memberikan dukungan, Zahra pun tidak menampik perlu ada perbaikan dalam susunan frasa atau padanan kata pada Permendikbud PPKS.
Dia khawatir frasa yang keliru justru disalahgunakan lantaran menimbulkan penafsiran ganda di masyarakat.
"Dari namanya sudah jelas, peraturan ini ini memang bertujuan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Hanya saja memang ada sedikit kekeliruan dan jadi ramai diperbincangkan," terang Zahra.
Untuk itu Zahra pun menyarankan supaya Kemendikbudristek bisa merevisi beberapa poin yang berpotensi memiliki multi tafsir.
Terutama kata frasa “tanpa persetujuan korban” pada pasal 5 ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m.
Pasalnya dalam frasa tanpa persetujuan korban terkandung makna persetujuan seksual atau sexual consent. Itu artinya hubungan seksual dibolehkan asal dilakukan atas dasar suka sama suka.
Kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia, yang mana perzinahan dianggap sebagai perilaku asusila dan diancam pidana.
Seperti pada Pasal 284 KUHP yanh mengancam hukuman penjara bagi yang melakukan perzinahan walau didasari suka sama suka.
"Karena ada kata persetujuan di situ. Jadi kalau ada persetujuan makna bergeser jadi seks bebas. Mestinya semua kejahatan seksual harus dipidana termasuk seks bebas itu," pungkas Zahra. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia