jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah mengusulkan plastik berbahan dasar minyak (petroleum based) dikenai cukai Rp 200 per lembar.
Plastik tersebut baru terurai setelah lebih dari seratus tahun. Jika dibulatkan per kg, besaran cukai sekitar Rp 30 ribu.
BACA JUGA: Fahri Hamzah Geram ke Sri Mulyani, Begini Alasannya
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, cukai Rp 30 ribu per kg itu masih lebih murah daripada negara-negara lain yang bisa mencapai ratusan ribu rupiah per kg.
BACA JUGA: Bea Cukai Bandung Menggagalkan Penyelundupan 1.595 Gram Sabu-sabu
BACA JUGA: Kejar Pertumbuhan Ekonomi 5,6 Persen, Pemerintah Butuh Rp 5.823 Triliun
”Memang kami mengkajinya juga dengan best practices di negara lain,” katanya, Selasa (2/7).
Menteri yang kerap disapa Ani itu menambahkan, tahun ini sebetulnya pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai plastik Rp 500 miliar.
BACA JUGA: Sekali Lagi, Warning Misbakhun kepada Sri Mulyani demi Kehormatan Jokowi
Namun, hingga awal semester II kebijakan pengenaan cukainya belum jelas. Isu cukai plastik sebenarnya sering dibahas sejak beberapa tahun lalu, tetapi keputusan belum pernah final sampai sekarang.
Penerimaannya dalam pendapatan negara masih nol. Plastik pada dasarnya adalah barang yang berisiko tidak baik bagi lingkungan.
Karena itu,, plastik dapat dijadikan barang kena cukai seperti yang tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan UU tentang Cukai.
Menurut mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu, 60 persen lebih sampah merupakan bahan plastik.
”Kita harus mulai memikirkan tentang ini sesegera mungkin. Apalagi kita tahu bahwa plastik adalah sampah yang paling sulit dan lama terurai,” katanya.
Sebelumnya, meski belum ada cukai plastik, banyak pelaku ritel dan pemda yang menarik biaya untuk kantong plastik. Beberapa toko ritel mematok harga Rp 150 hingga Rp 200 kepada konsumen.
Ani menambahkan, jika plastik dikenai cukai, mungkin semakin terjadi inflasi pada komoditas tersebut. Namun, dampaknya tidak akan besar.
Di sisi lain, Ani memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal II bergerak di bawah perkiraan. Potensi pertumbuhan ekonomi, menurut Ani, 5,02–5,13 persen.
Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun lalu 5,27 persen.
Untuk full year, dia memprediksi pertumbuhan ekonomi 2019 mencapai 5,2 persen.
Capaian tersebut lebih rendah daripada target APBN 2019 yang mematok pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,3 persen.
Ekonom DBS Indonesia Masyita Crystallin mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi global memang sedang tertekan akibat isu perang dagang.
Ekspor sulit ditingkatkan, risiko nilai tukar masih tinggi, serta defisit neraca dagang masih menghantui Indonesia.
”Menurut saya, kita masih bisa bertahan di tengah situasi ini dengan mendorong konsumsi dan manufaktur. Kalau hanya negosiasi-negosiasi dagang, saya rasa dampaknya itu kecil,” kata dia. (rin/c6/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Kejar Pajak Perusahaan Teknologi
Redaktur : Tim Redaksi