Cukur sebagai Ungkapan Syukur untuk Eks Wali Kota Jogja Tangkapan KPK

Senin, 06 Juni 2022 – 22:53 WIB
Salah satu aktivis Dodok Putra Bangsa mencukur rambut di depan Balai Kota Yogyakarta, Sabtu (4/6). Aksi cukur rambut itu sebagai bentuk rasa syukur atas ditangkapnya eks Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti oleh KPK. Foto: M. Syukron Fitriansyah/JPNN.com.

jpnn.com - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap mantan Wali Kota Jogja Haryadi Suyuti ternyata disambut dengan sukacita warganya.

Kasus suap yang menyeretnya menjadi bukti adanya persoalan soal pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) untuk hotel maupun apartemen di ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu.

BACA JUGA: KPK Tetapkan Wali Kota Yogyakarta dan Petinggi Summarecon Agung Sebagai Tersangka

Laporan M. Sukron Fitriansyah, Yogyakarta

SEMESTINYA kantor Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta libur pada Sabtu lalu (4/6).

BACA JUGA: Oalah, Ternyata Gegara Kasus Ini Wali Kota Yogyakarta Ditangkap KPK

Namun, suasana riuh justru terjadi di Balai Kota Jogja.

Puluhan orang berkumpul di kantor yang beralamat di Jalan Kenari Nomor 56, Muja Muju, Umbulharjo, Jogja, itu.

BACA JUGA: Berapa Dolar yang Diamankan KPK dari OTT eks Wali Kota Yogyakarta?

Di situ ada seorang pria paruh baya berambut gondrong duduk bersila persis di depan tembok bertuliskan Kantor Wali Kota Yogyakarta.

Pria tersebut tak asing bagi sejumlah masyarakat Yogyakarta. Namanya Dodok Putra Bangsa.

Aktivis lingkungan itu dikenal getol menolak pembangunan hotel maupun apartemen pada masa kepemimpinan Haryadi Suyuti di Pemkot Jogja.

Di bawah terik sinar mentari, Dodok menggelar syukuran atas langkah KPK menangkap Haryadi.

Komisi antirasuah itu menetapkan eks wali kota Jogja tersebut sebagai tersangka kasus suap proyek Apartemen Royal Kedhaton.

Pada hari itu, aktivis yang dikenal kritis soal kondisi ruang publik di Yogyakarta tersebut merelakan rambutnya yang panjang dipangkas hingga cepak.

Cukur rambut itu sebagai cara Dodok membayar nazarnya.

"Rambut ini adalah simbol mahkota. Mahkota Jogja ini, ya, ada di kepala daerah,” ucap Dodok.

Salah satu aktivis Dodok Putra Bangsa mencukur rambut di depan Balai Kota Yogyakarta, Sabtu (4/6). Aksi cukur rambut itu sebagai bentuk rasa syukur atas ditangkapnya eks Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti oleh KPK. Foto: M. Syukron Fitriansyah/JPNN.com.

Helai demi helai rambut pegiat ‘Jogja Ora Didol’ itu dipangkas oleh rekan seperjuangannya.

Dodok yang terlihat mengenakan surjan itu juga memanjatkan harapan-harapannya demi kesejahteraan masyarakat Yogyakarta.

“Ini sebagai pengingat saja, saya melepaskan mahkota, memulai hal baru karena dalam mahkota ada otak yang harus digunakan dengan benar untuk menyejahterakan rakyat," kata Dodok.

Haryadi Suyuti yang memimpin Kota Jogja selama dua periode itu mengakhiri jabatannya pada 22 Mei 2022.

Namun, KPK menangkap mantan ketua DPD Golkar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut pada Kamis (2/6).

Pada masa kepemimpinan Haryadi Suyuti di Jogja, pembangunan hotel di Kota Gudeg itu begitu marak.

Hal tersebut mendorong Dodok dan rekan-rekannya melakukan sejumlah aksi penolakan dan menggemakan ‘Jogja Ora Didol’ yang artinya Jogja tidak dijual.

Dodok bukan hanya aktivis, melainkan juga terdampak maraknya pembangunan hotel di kotanya. Sumur rumahnya di Miliran, Jogja, tiba-tiba kering karena pembangunan hotel.

“Artinya sumber masalahnya ada di tata ruang yang tidak memedulikan bagaimana mayoritas warga Kota Yogyakarta mengandalkan air dari tanah," katanya.

Menurut Dodok, selama bertahun-tahun Pemkot Jogja mengesampingkan dampak pembangunan hotel pada ketersediaan air warga.

Buktinya, sejak Haryadi menjadi wali kota Jogja pada 2012, pembangunan hotel kian marak.

Dodok juga menganggap Haryadi tak menggubris protes dari warga yang terdampak pembangunan itu.

Alih-alih merespons keluhan warga, Pemkot Jogja justru menyebut sumur yang kering disebabkan kemarau panjang.

Namun, Dodok punya temuan lain. Menurutnya, air sumur di kawasan tempat tinggalnya kembali muncul saat pembangunan hotel dihentikan.

“Saat warga Miliran menggelar aksi, terus hotel disegel, delapan hari kemudian muncul air sampai saat ini. Tidak terjadi masalah," ucapnya.

Oleh karena itu, Dodok menganggap Pemkot Jogja selama bertahun-tahun menutupi barang busuk.

Dia pun bersyukur dan mencukur rambutnya setelah kecurigaannya tentang patgulipat di balik maraknya pembangunan hotel di Jogja ternyata benar adanya.

Aksi menyeleneh bukan hal baru bagi Dodok.

Demi menolak pembangunan hotel, aktivis gerakan sosial itu pernah mandi air tanah pada 6 Agustus 2014.

Syahdan, Dodok memandikan papan nama Kantor Wali Kota Yogyakarta dengan dan air dari tujuh sumur dan kembang tujuh rupa pada 2016.

Terakhir pada 2019, Dodok mengencingi papan nama yang terbuat dari beton itu.

Warga maupun rekan-rekan Dodo menganggap aksi itu di luar nalar.

Namun, dia menyebut aksinya untuk menyadarkan Pemkot Jogja yang telah membuat kebijakan semena-mena terhadap warga.

"Menurut embah saya dulu, kencing paling manjur dan terbukti akhirnya (Haryadi) tertangkap. Artinya,

kencing rakyat itu lebih manjur untuk mengungkap aura negatif," ujar Dodok.

Pada Jumat lalu (3/6), KPK menetapkan Haryadi Suyuti sebagai tersangka penerima suap dari Vice President Real Estate PT Summarecon Agung Tbk Oon Nusihono.

Selain Haryadi Suyuti, ajudannya yang bernama Triyanto Budi Yuwono juga menjadi tersangka. Adapun birokrat Pemkot Jogja yang menjadi tersangka kasus itu ialah Nurwidhihartana (kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu).

Dodok mengharapkan pengungkapan kasus itu membuka patgulipat dalam berbagai perizinan pembangunan hotel di Kota Jogja. “Kalau apartemen itu ada suap berarti 104 hotel lainnya harus dilihat bagaimana izinnya oleh KPK," ucap Dodok.

Krisis air tanah merupakan salah satu dampak nyata yang kerap dialami warga Kota Yogyakarta yang bermukim di sekitar hotel. Problem itu pula yang menjadi pemicu konflik antara Pemkot Jogja dengan warganya.

Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Mohammad Pramono Hadi mengatakan maraknya pembangunan hotel tidak lepas dari potensi Yogyakarta sebagai destinasi wisata. Menurut dia, seharusnya pengembangan Yogyakarta mensyaratkan ketersediaan air tanah.

Pramono menyebut kehadiran hotel maupun apartemen di Jogja membuat warga kehilangan sumber airnya sehingga memunculkan konflik.

“Rakyat dengan pompa kecil itu terganggu, terutama pada musim kemarau," katanya.

Ahli hidrologi itu menyatakan semestinya hotel tidak menggunakan air tanah. Pramono mencontohkan Kabupaten Kulon Progo memiliki Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).

"Kulon Progo menggunakan SPAM karena kalau hanya dengan air tanah itu tidak mungkin memenuhi kebutuhan operasional," ujar Pramono.

Menurut dia, sistem itu menggunakan air permukaan atau sungai yang diolah menjadi air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Sistem tersebut telah digunakan di kota besar seperti Jakarta yang kebutuhan akan airnya sangat tinggi.

Namun, Kota Jogja seakan-akan dininabobokan oleh kemudahan memperoleh air tanah.

Mayoritas masyarakat Kota Pelajar itu bergantung pada akuifer yang menyaring hujan di lereng Gunung Merapi.

Kondisi itu juga mendorong hotel dan apartemen menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berdasar hal itu, Pramono menilai Pemkot Jogja tidak siap mengganti penggunaan air tanah bagi hotel sehingga memunculkan konflik di masyarakat.

"Sumber air ini, kan, vital karena nanti ujung-ujungnya nanti ke konflik yang disebabkan ketidaksiapan pemerintah kota tadi," katanya.

Pramono menambahkan sebaiknya Pemkot Jogja menyediakan fasilitas SPAM untuk memenuhi kebutuhan perhotelan maupun apartemen.

“Hotel-hotel itu tidak mungkin lagi menggunakan air tanah, tetapi faktanya ESDM (instansi yang membidangi energi dan sumber daya mineral, red) masih mengizinkan sumber dari air tanah," pungkasnya. (mcr25/JPNN.com)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : M. Sukron Fitriansyah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler