Curhatan Ade Armando Ditolak jadi Guru Besar UI

Kamis, 01 Agustus 2019 – 14:53 WIB
Ade Armando. Foto: Jateng Pos

jpnn.com, JAKARTA - Penggiat media sosial yang juga dosen di Universitas Indonesia (UI) Ade Armando menceritakan nasibnya ditolak menjadi Guru Besar UI, karena diduga postingan-postingan di dunia maya selama ini.

Ade memposting curahan hatinya lewat akun Facebooknya: Ade Armando, pada Kamis (1/8) sekitar Pukul 09.30 WIB. Hingga Kamis siang pukul 12.20, postingan itu disukai sebanyak 2.246 kali, dikomentari sebanyak 861 kali dan dibagikan 282 kali.

BACA JUGA: Hasil Investigasi Ombudsman: KPU Abai Memberitahu Hak Petugas KPPS

"Seperti sudah saya duga, saya akhirnya ditolak menjadi Guru Besar di Universitas Indonesia. Sebenarnya tidak ada kata resmi 'ditolak', tapi Dewan Guru Besar (DGB) UI bersikap bahwa selama saya tidak berhenti menyuarakan pandangan saya yang menimbulkan ‘kontroversi’, mereka tidak akan menerima saya sebagai anggota DGB UI," ujar Ade mengawali postingannya.

Ade kemudian membeberkan pandangan sebagai catatan untuk dapat menjadi seorang guru besar di UI. Terlebih dahulu setiap calon harus mendapat persetujuan dari semua guru besar di UI. Baru kemudian nama tersebut bisa diajukan ke Departemen Pendidikan Tinggi UI untuk disetujui menteri.

BACA JUGA: Dituduh Memerkosa, Anggota Dewas BPJS Ketenagakerjaan Mundur

BACA JUGA: Ade Armando: Media Harus Kawal Calon Berkualitas

"Nama saya diajukan untuk menjadi guru besar oleh Departemen Ilmu Komunikasi pada Mei 2016. Kini, tiga tahun kemudian, sudah jelas DGB UI menolak permintaan tersebut," ucapnya.

BACA JUGA: Atur Gaji BPIP Cepat, Kok Giliran soal Nasib Honorer Lambat?

Ade menyatakan bahwa kualitas akademiknya tidak bermasalah. Tetapi yang menjadi masalah bagi DGB adalah soal ‘integritas, etika dan tatakrama’ dirinya. Itu diketahui dari hasil rapat DGB pada 20 Mei 2019 dan penjelasan dari Ketua Komite Etik Prof Adrianus Meliala, pada rapat di FISIP UI 31 Juli 2019 pukul 16.00 WIB.

Pada rapat DGB 20 Mei dinyatakan usulan guru besar atas nama Ade masih perlu mendapat pertimbangan lebih lanjut dari Komite Etik DGB terkait kinerja, integritas, etika, tata krama dan tanggung jawab.

"Apa yang dimaksud DGB saya tidak berintegritas dan tidak beretika? Tidak ada penjelasan. Kemudian pada rapat 31 Juli 2019, Prof Adrianus Meliala menyatakan komite etik tidak dapat menerima saya sebagai guru besar karena DGB tidak setuju dengan cara saya berkomunikasi melalui media sosial," ucapnya.

Berdasarkan penjelasan Adrianus, tulisan-tulisan Ade selama ini menimbulkan kontroversi yang memberi beban bagi UI. Komite Etik ingin agar setiap guru besar dapat menjaga martabat UI.

"Menurut Adrianus, pencalonan saya bermasalah karena ada masyarakat yang mengirimkan keberatan. Begitu juga, banyak pihak mengingatkan bahwa saya masih dalam status ‘tersangka’ dalam kasus tuduhan pencemaran agama (karena saya menyatakan 'Tuhan Bukan Orang Arab’ di status FB  dan Twitter saya), dan diadukan oleh masyarakat ke polisi dalam tujuh kasus lainnya," tutur Ade.

BACA JUGA: Tenang Saja, Kasus Ade Armando Segera Digarap

Adrianus, kata Ade, menyatakan komite etik menilai dirinya baru bisa diterima di DGB kalau bisa mengubah cara berkomunikasi dan seluruh kasusnya di kepolisian selesai sampai tuntas.

"Menurutnya, sebenarnya tidak ada aturan tertulis dalam Kode Etik DGB terkait dengan pelarangan seseorang berstatus tersangka atau teradu menjadi anggota DGB. Namun menurut Komite Etik, tidak pantas bagi saya untuk diajukan menjadi anggota DGB," katanya.

Ade menyebut, bahwa menurut Adrianus sikap komite etik bukanlah pendapat pribadinya sebagai ketua komite etik yang terdiri dari 12 orang dan mayoritas menolak menerima usulan Ade menjadi DGB.

Ade juga menyebut tidak satu kali pun DGB bisa menunjukkan bukti-bukti tulisan mana yang membuat dirinya dianggap ‘tidak berintegitas, tidak etis’ tersebut. Ade sudah berulangkali meminta, tetapi DGB tidak menunjukkannya.

"Seperti saya katakan, itu semua bisa diprediksi. Seperti saya juga sudah nyatakan di berbagai kesempatan lain, gerakan Islamis Tarbiyah sudah sangat menguat di UI, termasuk menduduki banyak posisi Guru Besar.  Mereka akan mempersulit karier mereka yang berani melawan gerakan tersebut. Saya duga, saya adalah korban politik Islamis Tarbiyah ini," katanya.

Ade juga menyatakan, penolakan terhadap dirinya sudah dimulai sejak awal, ketika namanya diajukan menjadi guru besar di tingkat FISIP pada 2016 lalu.

"Saat itu, seorang profesor yang dikenal rasis, mempertanyakan kelayakan saya diajukan departemen komunikasi untuk menjadi professor di UI. Profesor rasis anti-Tionghoa ini menganggap tulisan-tulisan saya di medsos selama ini tidak etis (walau sejujurnya, postingan dia di Facebook jelas-jelas menunjukkan kebencian dia terhadap ras Tionghoa dan pemerintahan Jokowi). Sikapnya ini kemudian didukung oleh seorang profesor perempuan yang memiliki orientasi politik kurang lebih serupa," tulis Ade.

Namun menurut Ade, penegakannya gagal,  karena mayoritas Guru Besar di FISIP dan pimpinan FISIP adalah kaum pluralis. Hanya saja upaya sabotase itu terus berlanjut di tingkat UI.

BACA JUGA: Novel Ungkap Postingan Ade Armando Hina Habib Rizieq

Proses pencalonan Ade terus dihambat selama tiga tahun. Dirinya sampai diundang dua kali ke DGB untuk memberikan penjelasan. Bahkan diminta menandatangani pakta integritas.

"Berarti saya satu-satunya orang dalam sejarah UI yang harus menandatangani pakta Integritas untuk menjadi guru besar. Hasil review tentang kelayakan saya menjadi guru besar dari dua guru besar senior yang terpandang di departemen komunikasi  diminta untuk diulang. Tulisan-tulisan saya dipertanyakan otentisitasnya, karena dianggap mengandung banyak unsur kesamaan dengan tulisan-tulisan lain," ucapnya.

Padahal saat dicek ulang, kesimpulan mengenai tingginya indeks kesamaan tulisan-tulisan Ade, sama sekali tidak dapat diandalkan. Misalnya, kesamaan terjadi karena tulisannya diterbitkan ulang oleh media lain.

BACA JUGA: Singgung Kencing Unta dan UBN, Ade Armando Dipolisikan Lagi

Ade menyebut, di sepanjang proses dirinya diminta oleh banyak pihak untuk lebih menahan diri. Tetapi Ade memilih tidak mau berhenti bersuara keras melawan mereka yang menyebarkan hoaks, fitnah, yang memecah belah bangsa, anti NKRI, penindas non-muslim, penindas sesama muslim yang berbeda pandangan, penyebar kebencian pada etnis Tionghoa, penghina dan pemfitnah Presiden Joko Widodo, pihak yang berusaha menegakkan syariah, berusaha menegakkan Khilafah, penindas kaum perempuan, dan hal-hal sejenis yang lazim Ade suarakan di media sosial.

"Saya selalu katakan, lebih baik tidak menjadi profesor daripada berhenti menyuarakan apa yang saya percaya sebagai kebenaran yang harus diperjuangkan. Karena itu, ketika sekarang saya tahu Dewan Guru Besar UI tidak akan membiarkan saya menjadi guru besar, itu hal yang sangat bisa diprediksi. Tentu saja masih banyak guru besar UI yang pluralis dan demokratis. Tetapi saya duga, mereka kalah suara dari kaum yang anti keberagaman dan fasis," ucapnya.

Ade menilai apa yang dihadapi saat ini merupakan hal yang biasa. "Suka-suka merekalah. Saya cuma berharap pengalaman saya ini tidak akan membuat para pembela NKRI surut semangatnya untuk memperjuangkan kemuliaan bangsa ini. Kalau kita terus memperjuangkan kebenaran, kita tidak akan kalah kok. Ever Onward," pungkas Ade. (gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menghina Azan, Ade Armando Dipolisikan


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler