Cyber Army

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 22 November 2021 – 12:08 WIB
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Isu cyber army ramai lagi setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta berencana membentuk tim siber untuk mengkonter berita-berita negatif terhadap pemda DKI.

Rencana ini memicu pro dan kontra karena dianggap sebagai upaya melindungi Gubernur Anies Baswedan dari serangan para buzzer.

BACA JUGA: Tim Siber Bela Anies Bertentangan dengan Fatwa MUI? Kiai Munahar Menjawab Lantang

Cyber army atau pasukan siber menjadi bagian dari lanskap politik yang tidak terpisahkan dalam dinamika politik Indonesia. Perang politik siber mencapai pada perhelatan pilgub DKI 2017 yang mempertemukan Anies Baswedan versus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang kemudian dimenangkan oleh Anies.

Banyak kalangan menganggap kemenangan Anies banyak dibantu oleh kekuatan pasukan siber yang digalang oleh para sukarelawan. Perang siber di dunia maya ketika itu lebih heboh dibanding perang politik di dunia nyata. Polarisasi pro dan kontra antara pendukung Anies vs pendukung Ahok memunculkan terminologi kampret dan cebong, yang menjadi kosa kata politik paling populer di Indonesia sampai sekarang.

BACA JUGA: MUI Bentuk Pasukan Siber Bela Anies Terkait Dana Hibah? Kiai Munahar Bilang Begini

Isu penistaan agama menjadi perdebatan sentral dalam perang siber itu. Para pembela Anies menyebut dirinya sebagai ‘’Muslim Cyber Army’’ (MCA) yang sangat gencar dan militan dalam menyuarakan serangan terhadap Ahok. Para pembela Ahok--yang disebut sebagai kelompok pendengung atau buzzer--tidak kalah militan dalam menyerang Anies dan membela Ahok.

Polarisasi dua kelompok ini menganga lebar dan terus berlanjut sampai pilpres 2019, yang mempertemukan Prabowo-Sandi dengan Jokowi-Ma’ruf Amin. Kali ini kampret vs cebong bermetamorfosa menjadi pasukan baru dengan cara perang lama.

BACA JUGA: MUI DKI Siapkan Tim Siber, Ferdinand Bereaksi, Sentil Anies

Perang siber siber lokal di arena pilgub DKI berkembang menjadi perang nasional dalam pilpres 2019.

Kali ini kelompok buzzer pendukung Jokowi berhasil membalas dendam dan bisa memenangkan jagonya. Skor berubah menjadi 1-1. Polarisasi bukannya reda, tetapi malah makin melebar. Upaya Prabowo melakukan rekonsiliasi dengan Jokowi bukannya menyatukan, tetapi malah memperlebar gap.

Perang siber tidak pernah mereda. Dua kelompok itu sama-sama tidak bisa move on dari kekalahan yang dialami. Pertandingan lanjutan akan berlangung rubber set pada pilpres 2024 mendatang.

Dua kekuatan tentara siber ini sudah melakukan pemanasan sepanjang tahun dan sudah sama-sama siap maju dalam palagan besar pada 2024.

Anies Baswedan punya potensi besar untuk maju ke palagan besar itu. Genderang perang sudah ditabuh meskipun perang masih tiga tahun lagi. Pembela Anies dan pembenci Anies sudah terlibat dalam banyak pertempuran siber setiap hari.

Isu pembentukan tim siber oleh MUI DKI itu makin memanaskan persaingan antara kedua kubu. Perang siber pada 2024 diperkirakan akan lebih besar dibanding dua perang sebelumnya. Isu perang digital akan menjadi masalah krusial dalam perhelatan demokrasi 2024.

Penggunaan teknologi internet dan platform media sosial sekarang ini bisa menimbulkan masalah serius bagi tatanan demokrasi sebuah negara bila salah dalam penggunaannya. Namun, di sisi lain, media sosial juga bisa memiliki dampak positif jika digunakan secara produktif.

Perang siber, atau dalam terminologi teknologi komunikasi disebut sebagai ‘’propaganda komputasional’’, telah menjadi sebuah fenomena global. Propaganda yang membenarkan muslihat, manipulasi, dan penyebaran kebencian itu telah terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Penggunaan internet yang sudah meluas di kalangan masyarakat Indonesia akan membuat tarung propaganda itu makin masif. Semua sisi kehidupan masyarakat Indonesia sekarang sudah dimasuki oleh teknologi informasi dan menghasilkan fenomena ‘’the internet of things’’.

Internet sudah menjadi hajat hidup yang meliputi semua kebutuhan masyarakat.

Penggunaan internet of things yang begitu masif sebenarnya belum bisa dimaksimalkan seluruhnya oleh masyarakat. Pengetahuan masyarakat terhadap fungsi internet masih pada taraf kulit luar dari keseluruhan operasional internet.

Mayoritas pengguna internet hanya memakai layanan umum seperti browsing dan berkomunikasi, hanya beberapa persen saja yang bisa mengakses deep web, dan lebih sedikit lagi yang bisa mengakses dan memanfaatkan dark web.

Pada dua ranah operasi inilah internet bisa dipakai alat yang efektif untuk melakukan doxing dan phising untuk melakukan teror dan pelanggaran data pribadi seseorang yang bisa sangat merugikan reputasi orang tersebut. Internet of things yang semestinya membawa pemahaman masyarakat terhadap internet, malah menjadikan masyarakat ‘’know nothing about internet’’, tidak tahu apa-apa mengenai internet.

Perang tentara siber yang keras dalam politik terjadi dalam pilpres Amerika Serikat pada 2016 yang mempertemukan Donald Trump versus Hillary Clinton. Pada pertempuran politik itu Donald Trump diduga menggunakan jaringan propaganda dari Rusia yang secara khusus melakukan penetrasi terhadap khalayak pemilih Amerika Serikat.

Federal Bureau of Investigation (FBI) berhasil membongkar keberadaan lembaga riset Rusia yang disebut sebagai International Research Agency (IRA) yang mempunyai hubungan langsung dengan pusat kekuasaan di Kremlin.

Hubungan yang mesra antara Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi indikasi kuat bahwa Putin telah mempergunakan pengaruh politik dan kekuatan teknologi komputasionalnya untuk memenangkan Trump.

Tidak banyak yang menyadari bahwa media sosial yang sangat menjanjikan dalam mempromosikan demokrasi dan deliberasi, justru akan menjadi sarana operasi politik yang kotor dan merusak.

Tidak ada yang menduga bahwa Amerika Serikat yang selama ini menjadi tempat kelahiran dan sekaligus kampiun jagat digital, justru telah menjadi korban dari keganasan anak kandungnya sendiri.

Inilah ironi teknologi yang sekarang menjadi dilema besar dalam pelaksanaan demokrasi di Amerika Serikat dan di semua negara demokrasi dunia.

Komite Intelijen Senat Amerika Serikat membentuk lembaga khusus Special Counsel Investigation khusus untuk melakukan kegiatan kontra-intelijen untuk menyelidiki perang siber yang dilakukan Rusia di ranah digital Amerika Serikat dalam pemiliha presiden 2016.

Tim yang dipimpin Direktur FBI Robert Muller mengeluarkan laporan ‘’Muller Investigation’’ yang menyebut ada keterlibatan 13 pihak di Rusia dalam perang siber untuk mendiskreditkan Hillary Clinton.

Dalam menjalankan operasi intelijennya IRA memakai berbagai akun palsu yang dioperasikan oleh ‘’bot’’ atau robot digital yang terotomatisasi untuk menggaungkan pesan-pesan palsu melalui berbagai platform media sosial.

IRA juga memakai pasukan troll untuk mengirim pesan digital dengan tujuan untuk memprovokasi dan membangkitkan tanggapan emosional atau kemarahan dari pengguna lainnya.

Dalam beberapa kasus hal ini hampir menyebabkan pertarungan fisik terbuka antara dua kubu yang berseberangan.

Skandal manipulasi data pengguna internet untuk kepentingan politik terungkap dalam kasus Cambridge Analytica. Lembaga survei ini mengumpulkan informasi pribadi 87 juta pengguna Facebook dan menjualnya untuk kepentingan politik.

Kasus ini terbongkar, dan pendiri Facebook Mark Zuckerberg mengakui telah terjadi pembobolan data itu. Facebook dikecam luas karena skandal ini dan harga sahamnya melorot.

Perang propaganda komputasional oleh Rusia juga dilakukan di banyak negara, seperti Inggris, Brasil, Kanada, Tiongkok, Jerman, Polandia, Taiwan, dan Ukrania.

Perang siber terjadi ketika ada perhelatan politik besar di negara itu. Ketika terjadi referendum Brexit di Inggris pada 2016 pasukan siber Rusia juga melakukan propaganda komputasional mirip dengan yang dilakukan di Amerika Serikat. Akibat provokasi akun-akun palsu Rusia itu masyarakat Inggris terprovokasi untuk memilih keluar dari keanggotaan Uni Eropa.

Perang siber di Indonesia sangat mungkin disusupi oleh propaganda komputasional yang dilakukan oleh kekuatan dari luar. Kecanggihan komputasional yang mereka miliki memungkinkan mereka melakukan berbagai manipulasi untuk mengadu domba dan memecah belah.

Internet punya dua wajah Dewa Janus yang berbeda. Internet membuat hidup makin mudah dan nyaman. Internet memungkinkan penggunanya untuk lebih mudah melakukan partisipasi politik.

Namun, internet juga punya potensi besar menghancurkan kehidupan demokrasi. Indonesia harus waspada. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler